Memasung Nalar Kritis Pemuda Pejuang Dengan Iming-Iming Jabatan: Mungkinkah?



Khittah.co, Makassar tanggal 29/12/2020 mewartakan bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menyayangkan, kurangnya keberanian dan sikap kritis gerakan mahasiswa. Hal itu ia sampaikan saat mengisi dialog akhir tahun bertema “Wajah Demokrasi, Hukum dan HAM” pada Selasa (29/12/2020). Bahkan ia menyebutkan bahwa hanya karena jabatan komisaris, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kehilangan nalar kritis. Demikian dikatakan Busyro pada ratusan peserta dialog yang diselenggarakan oleh PK IMM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tersebut. 

Sebagaimana diketahui, pada saat ini Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Najih Prastiyo, tercatat sebagai salah satu komisaris Anak Perusahaan BUMN, PT Angkasa Pura Hotel. Belum selesai kisah penganugerahan jabatan kepada Ketua DPP IMM Najih Prasetiyo, kini bertambah lagi anugerah tersebut kepada Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto sebagai Komisaris Utama BUMN. Sunanto diangkat Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Komisaris Utama PT Istaka Karya (Persero), sekaligus merangkap sebagai komisaris independen di BUMN tersebut. 

Dari realitas di atas membuat penulis tergelitik untuk mencoba bertanya, mengapa nalar kritis seseorang atau kelompok bisa lenyap oleh karena imbalan berupa kedudukan atau jabatan? Bagaimana nasib dan kondisi negeri ini ke depan ketika nalar kritis bisa hilang hanya karena sebuah ambisi dan kepentingan?


Penyebab Hilangnya Daya atau Nalar Kritis Seseorang atau Keorganisasian yang Tampak Terjadi Saat Ini

Adalah fenomena yang tak langka lagi saat ini ketika masyarakat umum atau sekaligus orang-orang yang berada di lingkungan pemerintahan, mengalami krisis daya kritis terhadap pemerintahan atau dinamika sosial kehidupan yang sedang berjalan. Ya, padahal betapa pentingnya daya kritis seseorang apalagi yang berada dalam lingkungan pemerintahan, terutama bagi kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah apakah sesuai dan relevankah terhadap masa depan masyarakat dan negara yang diurusnya.

Nalar kritis adalah cara berpikir seseorang yang secara sistematis, logis, dan objektif dalam menilai sesuatu atau dalam membuat keputusan. Dalam rangka memperbaiki hal-hal yang dinilai tidak sejalan dengan kebaikan terhadap suatu tujuan, bukan sebagai alasan yang sengaja dimunculkan untuk tujuan mencari-cari kelemahan atau kesalahan atas sesuatu yang diputuskan.

Namun, dalam kehidupan bernegara kita hari ini, sikap atau kuatnya nalar kritis seseorang justru menjadi masalah tersendiri. Yang pada realitasnya tidak jarang menjadikan pihak-pihak yang kritis dan berseberangan pola pikir atau pandangan politiknya dengan pemerintahan yang berjalan, malah terancam dipidanakan. Penangkapan aktivis KAMI, kriminalisasi para dai dan ulama yang aktif melakukan amar makruf nahi mungkar, atau pembunuhan enam orang aktivis FPI, hingga penangkapan ketua ormas yang baru saja dibubarkan pemerintah itu, adalah serangkaian data teraktual sebagai bukti betapa nalar kritis masyarakat justru menjadi sesuatu yang terlarang di dalam kehidupan bernegara bangsa ini.

Ironisnya, fenomena penangkapan dan persekusian terhadap sejumlah aktivis tersebut bukannya menjadikan para pemuda atau pun orang-orang yang berada dalam lingkungan pemerintahan bangkit dan mengangkatnya menjadi permasalahan yang serius, akan tetapi justru membuat sebagian besar dari mereka malah mengamini dan mengikuti instrumen pemerintah, yang sejatinya menyalahi prinsip-prinsip dalam bernegara demokrasi yang tengah mereka jalankan. Seperti apa yang tampak dalam fakta pada pengantar.

Penulis mencoba meraba-raba gerangan apa yang sedang berlangsung dalam pengantar, adalah Cak Nanto dipilih atau dianugerahi jabatan mentereng sebagai Komisaris Utama sebuah BUMN. Apakah hal tersebut merupakan "buah" dari bentuk sikap lunaknya dalam menanggapi pernyataan pelarangan dan pembubaran ormas FPI yang terjadi di pekan kemarin? 

Terkait dengan pelarangan dan pembubaran FPI, melalui Pimpinannya tersebut Pemuda Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan sikap. Berikut pernyataan lengkap Pemuda Muhammadiyah (detikNews.com 30/12/20): 

1. Bahwa Organisasi Kemasyarakatan dibentuk sesungguhnya sebagai wadah berkumpul demi mencapai suatu tujuan bersama anggotanya, sebagai pengejewantahan dari kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. 

2. Bahwa kebebasan berkumpul tersebut tentunya tetap harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertujuan untuk merusak tatanan bangsa apalagi khendak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dan tindakan terorisme. 

3. Bahwa terkait langkah Pemerintah yang membubarkan beberapa ormas, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menghimbau agar langkah tersebut tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

4. Bahwa Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah memandang bahwa pembubaran ormas oleh Pemerintah merupakan kewenangan Pemerintah karena merupakan bagian dari kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Ormas.

Sepintas kalau kita baca, pernyataan sikap Pemuda Muhammadiyah itu memang baik-baik saja dan tampak normatif. Namun sebenarnya terkesan ambigu atau bahkan terkesan meng-"iya"-kan tindakan pemerintah "melarang" dan "membubarkan" Ormas FPI. Hal ini dapat kita telisik dari pernyataan: "Bahwa Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah memandang bahwa pembubaran ormas oleh Pemerintah merupakan kewenangan Pemerintah karena merupakan bagian dari kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Ormas". Sementara status FPI sebagai ormas yang tidak berbadan hukum dan ber-SKT harus dianggap legal sebagaimana amanat Putusan MK No. 82/PUU-XI/ Tahun 2013. Apalagi ditengarai bahwa pelarangan dan pembubaran FPI tidak sesuai prosedur yang telah dibuat sendiri oleh Pemerintah melalui Pasal 62 Perppu Ormas yang kemudian disetujui sebagai UU Ormas No. 16 Tahun 2017. Jika fakta ini benar, lalu di mana nalar kritis Pemuda Muhammadiyah? 

Pemuda Muhammadiyah juga terkesan mengamini bahwa pelarangan FPI oleh Pemerintah lantaran dugaan FPI telah merusak kehidupan berbangsa dan bahkan terkait dengan terorisme. Hal ini dapat ditelisik dari pernyataan: "Bahwa kebebasan berkumpul tersebut tentunya tetap harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertujuan untuk merusak tatanan bangsa apalagi khendak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dan tindakan terorisme". Sementara belum ada bukti bahwa FPI telah melakukan tindakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dan tindakan terorisme yang mengatasnamakan Ormas FPI. 

Jika bicara oknum pun, hal itu harus ditelusuri secara tuntas latar belakangnya. Taruhlah ada banyak koruptor yang berlatar belakang sebagai anggota dan atau pengurus organisasi politik tertentu. Apakah serta merta kita boleh menilai bahwa organisasi politik tersebut salah SARANG KORUPTOR dan oleh karenanya harus dilarang kegiatannya dan dibubarkan? Jika fakta ini benar, apakah Pemuda Muhammadiyah sudah tidak memiliki nalar kritis dalam hal itu? 

Patut disayangkan, tampaknya tengah berlangsung semacam upaya melemahkan nalar kritis pemuda pejuang dengan iming-iming jabatan yang empuk. Ya, secara sederhana bisa kita perkirakan mampukah Pemuda Muhammadiyah dan IMM untuk berpikir, berpendapat dan bertindak kritis terhadap kebijakan publik Pemerintah pasca pimpinannya menduduki jabatan empuk di pemerintahan? Belum lagi sebelumnya juga sudah kita saksikan bersama bahwa Ketua organisasi lain yakni Pemuda Anshor Yaqult juga telah memperoleh anugerah jabatan sebagai Menteri Agama menggantikan Fachrurozi. 

Dengan itu, maka pertanyaan yang sama ingin kami lontarkan, mampukah Pemuda Anshor bernalar kritis terhadap kebijakan publik pemerintah setelah ketuanya menjadi pejabat di Kementerian Agama? Terus terang, penulis meragukan kemampuan bernalar kritis tersebut bahkan dapat prediksikan akan terpasung hingga terbungkam. Dan yang lebih memprihatinkan jika justru kedua organisasi pemuda yang sama-sama memiliki "pasukan" militan yaitu KOKAM dan BANSER akan menjadi tameng atau setidaknya menjadi alat "legitimasi" segala kebijakan Pemerintah demi kelangsungan status quonya. 

Dugaan Agenda di Balik Diangkatnya Para Pemuda yang Aktif Secara Keorganisasian Pada Sebuah Jabatan Strategis dalam Pemerintahan

Jika ditelisik lebih lanjut, sejatinya ada yang lebih dikhawatirkan dengan masuknya kedua pentolan organisasi Pemuda Islam ke dalam jajaran Pemerintah, yakni dugaan akan semakin merepresi umat Islam atas tuduhan terpapar RADIKALISME sebagaimana telah menjadi "core" program Kabinet Jokowi baik periode pertama maupun kedua ini. Mengapa? Karena seperti yang sering tampak selama ini, radikalisme kerap dikaitkan dengan organisasi-organisasi yang banyak diikuti oleh pemuda-pemuda yang aktif dalam dakwah dan syi'ar Islam. Walaupun pada realitasnya isu radikalisme arahnya lebih cenderung pada nomenklatur politis dibandingkan hukum. 

Dengan didapuknya sejumlah ketua kepemudaan organisasi Islam pada sebuah jabatan strategis yang dalam kendali otoritas Pemerintah, maka akan mempermudah agenda untuk membungkam peran pemuda Indonesia khususnya organisasi kepemudaan Islam dalam mengontrol kebijakan Pemerintah, dengan menggunakan isu terpapar radikalisme yang tentu saja bermakna negatif dalam pandangan masyarakat. Adapun dalam pengamatan penulis, istilah radikalisme tidak dikenal dalam nomenklatur hukum bahkan tidak ada definisi bakunya. Radikalisme lebih terkesan lebih menampakkan diri sebagai alat politik yang diterapkan untuk menghakimi lawan politik dengan tudingan sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas. 

Di sisi lain, isu radikalisme tersebut adalah bagian dari agenda war on terorrism yang selalu menjadi agenda tahunan yang selalu bias diangkat. Hal tersebut diperkuat oleh adanya perubahan isi UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan UU terorisme, yang hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan : deradikalisasi dan kontra Radikalisasi. (Pasal 43A ayat 3). Dan secara hukum berarti istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara jelas dan lengkap. Keadaan yang berbeda kita bandingkan dengan istilah terorisme yang telah memiliki definisi baku. Di dalam ketentuan pasal 1 ayat (2) UU No. 5 tahun 2018 dijelaskan bahwa : 

"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan". 

Ketika definisi secara hukum masih kabur (obscure), maka nomenklatur radikalisme menjadi sangat seksi untuk dimanfaatkan sebagai alat rekayasa penyelamatan kepentingan atau kekuasaan (as a tool of interest engineering) dan cenderung sebagai alat gebuk untuk pihak-pihak yg berseberangan dengan penguasa itu. Diam saja bisa dianggap terpapar radikalisme apalagi bangkit dengan anggit nalar dan perilaku kritis. Istilah "terpapar" juga istilah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Istilah ini lentur bak amoeba yang bentuknya mengikuti selera wadahnya. Ngaret, lentur bahkan cair tapi mematikan. Lalu di mana prinsip kepastisn hukum (lex scripta, lex certa dan lex stricta) yang diagung-agung para pengkaji dan penerap hukum itu. Cukup memprihatinkan keadaan seperti ini. 

Di tengah ketidakpastian itu muncul definisi dan indikasi terhadap orang atau kelompok orang yg terpapar radikalisme. BNPT tahun 2016---kalau tidak salah---mendefinisikan RADIKALISME sebagai berikut: 

"Sikap yang menginginkan perubahan total dan revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui KEKERASAN (violence) dan AKSI yang EKSTRIM ". Dua persyaratan TINDAKAN yang mengikuti SIKAP itu harus kita perhatikan dari sisi hukum. Sikap saja tidak bisa dilabeli radikalisme ketika tidak diikuti oleh tindakan kekerasan dan aksi ekstrim. Ini yang kita sebut definisi nominal dan hukum dari nomenklatur radikalisme itu. Bila nomenklatur radikalisme itu dimaknai sesuai dengan selera lokal institusi, maka yg terjadi adalah persekusi terhadap para anggota komunitas lokal itu dengan dalil kewenangan mengeksekusi keputusan sepihak, mulai dari penjatuhan sanksi ringan hingga sanksi berat. Bila anggota tidak terima atas keputusan itu, pejabat penguasa ini biasanya mempersilahkan menggugat di PTUN. Ini yang penulis sebut vandalisme, antem dulu urusan belakangan! 

Lalu mungkinkah kedua ormas besar pemuda Islam itu akan membabibuta mendukung semua tindakan pemerintah tanpa reserve, karena kedua pimpinannya telah dianugerahi jabatan empuk di jajaran pemerintahan sekaligus sebagai tameng kebijakan publik pemerintah? Jika demikian, lalu kepada siapa lagi tumpuan perjuangan kebenaran dan keadilan ini mesti dijangkarkan, jika para pemuda telah terpasung nalar kritisnya demi remah dunia yang tidak pernah mengenyangkan? 

Masih ada harapan tentunya, yakni kontrol warga umat Islam dan khususnya PB NU dan PP Muhammadiyah agar para pemuda tetap bernalar kritis sebagaimana ciri dari umat Islam yang wajib memegang prinsip amar makruf nahi mungkar. Atau apakah akan membiarkan para pemudanya "tenggelam" dalam kolam yang mungkin keruh menghijau lumut atau tetap mengontrolnya dengan bekal nalar kritis sehingga kolam yang keruh menjadi lebih bening? Mungkinkah?

Cara Islam dalam Memelihara Nalar Kritis Umatnya Ketika Mengemban Amanat Sebuah Jabatan Negara

Hilangnya nalar kritis yang menjangkiti umat maupun jajaran pejabat pemerintahan saat ini, sejatinya berakar dari pola pikir sekularisme yang ditanamkan dalam sistem demokrasi. Yang mempunyai orientasi hidup pada materialisme atau standar hidup yang mengagungkan materi. Sehingga menjadikan pelakunya memilih posisi aman ketimbang harus berbicara kebenaran, apalagi jika posisi itu dapat mendatangkan keuntungkan bagi kehidupan dunianya, seperti uang ataupun posisi suatu jabatan, sekalipun hal tersebut malah dapat merugikan orang lain. Maka tidak heran jika sikap dan nalar kritis itu sirna di dalam dirinya, berbagai kedzaliman yang terjadi di hadapan matanya, justru dianggap sesuatu yang baik dalam pandangannya.

Sungguh berbeda di dalam Islam, sikap atau nalar kritis merupakan hal yang sangat penting dan dipandang baik, karena itu merupakan ciri-ciri dari manusia yang dianugerahi akal. Akal berfungsi dalam menimbang atau membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam tatanan pemerintahannya tentu para pemimpin ataupun jajaran pejabatnya, haruslah memiliki nalar kritis guna meluruskan atau mengkoreksi apabila terdapat kesalahan dalam kebijakan dan jalannya pemerintahan khilafah. 

Kritisnya para pengemban amanah jabatan negara akan menghindarkan pemimpin atau mereka sendiri dari kelalaian atau kedzaliman yang bisa dilakukan dalam melaksanakan amanah rakyat yang dipercayakan kepada mereka. Maka adalah kewajiban bagi para jajaran pengemban jabatan negara, untuk mengkoreksi dan mengingkari setiap kebijakan pemimpin yang terkategori mendzalimi umat/rakyat.

Dari Tamim al-Dari ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Agama itu adalah nasihat’. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi Saw. bersabda: ‘Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)

Itulah potret keagungan Islam, sikap kritis dan muhasabah atas kepemimpinan yang dzalim sangat dianjurkan di dalamnya. Bahkan Rasulullah Saw memuliakan sikap kritis kepada pemimpin yang dzalim setara dengan amalan berjihad, beliau bersabda “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dan al-Thabrani).

Dalam riwayat kepemimpinan khilafah Islam, ada bentuk keteladanan kepemimpinan berupa nasihat dari Khalifah Umar Ra. Ketika itu Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”. 

Selain mengingatkan para pejabat dan rakyatnya untuk berperilaku kritis atas kepemimpinannya, Khalifah Umar juga menasihati jajaran pejabatnya. Ketika Khalifah Umar bin Khattab menulis surat kepada salah seorang gubernurnya yang bernama Abu Musa al-Asyari. Beliau mengirim surat karena sang gubernur dilaporkan bergaya hidup mewah, sedangkan rakyatnya tak begitu hidup dalam kemewahan.

Berikut ini isi suratnya: “Amma ba'du. Saya menerima laporan bahwa engkau dan keluargamu berpakaian, makan, dan berkendaraan yang mewah. Sementara itu, rakyatmu tidak begitu. Waspadalah wahai Abdullah! Jangan sekali-sekali engkau seperti binatang yang berdiam di suatu lembah yang banyak pepohonan, kayu, dan ranting. Binatang yang berdiam di sana tidak bisa menikmati rasa kenyangnya, tetapi mati karena kegemukan. Ketahuilah! Sesungguhnya pejabat mempertanggungjawabkan amanahnya di hadapan Allah SWT. Jika perangainya menyimpang, rakyatnya juga akan menyimpang. Pejabat yang paling celaka adalah yang rakyatnya buruk dan sengsara."

Dari sejumlah riwayat di atas maka dapat difahami bahwa betapa Islam sangat memelihara nalar kritis bagi umatnya, ketika mengemban amanat sebuah jabatan negara. Agar tidak terjadi berbagai kedzaliman yang dapat dilakukan oleh mereka yang diamanahi tugas untuk mengurus urusan masyarakat. Niscaya antara haq dan bathil akan tampak jelas. Negara akan terlindungi dari sifat para pemimpin dzalim, yang sekehendak hatinya dalam memperlakukan rakyatnya, yang bisa menghukum atau mempersekusi rakyat yang dia anggap salah dengan hawa nafsunya, yang seringkali justru menyalahi aturan hukum yang mereka buat sendiri. Terlebih-lebih jika menggunakan hukum tanpa memakai hukum yang diturunkan Allah, sungguh tidak akan ada.


Dari uraian di atas maka dapat kami ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Patut disayangkan, tampaknya saat ini tengah berlangsung semacam upaya melemahkan nalar kritis pemuda pejuang dengan iming-iming jabatan yang empuk. Ya, secara sederhana bisa kita perkirakan mampukah para pemuda dalam keorganisasian untuk berpikir, berpendapat dan bertindak kritis terhadap kebijakan publik Pemerintah pasca pimpinannya menduduki jabatan empuk di pemerintahan? Ataukah justru mereka akan kian terpasung hingga terbungkam, menjadi tameng atau setidaknya menjadi alat "legitimasi" segala kebijakan Pemerintah demi kelangsungan status quonya.

Jika ditelisik lebih lanjut, sejatinya ada yang lebih dikhawatirkan dengan masuknya kedua pentolan organisasi Pemuda Islam ke dalam jajaran Pemerintah, yakni dugaan akan semakin merepresi umat Islam atas tuduhan terpapar radikalisme sebagaimana telah menjadi "core" program Kabinet Jokowi baik periode pertama maupun kedua ini. Isu radikalisme yang kerap dikaitkan dengan organisasi-organisasi yang banyak diikuti oleh pemuda-pemuda yang aktif dalam dakwah dan syi'ar Islam. Untuk membungkam peran pemuda Indonesia khususnya organisasi kepemudaan Islam dalam mengontrol kebijakan Pemerintah, dengan menggunakan isu terpapar radikalisme yang tentu saja bermakna negatif dalam pandangan masyarakat. 

Di dalam Islam, sikap atau nalar kritis merupakan hal yang sangat penting dan dipandang baik, karena itu merupakan ciri-ciri dari manusia yang dianugerahi akal. Akal berfungsi dalam menimbang atau membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam tatanan pemerintahannya tentu para pemimpin ataupun jajaran pejabatnya, haruslah memiliki nalar kritis guna meluruskan atau mengkoreksi apabila terdapat kesalahan dalam kebijakan dan jalannya pemerintahan khilafah. Kritisnya para pengemban amanah jabatan negara akan menghindarkan pemimpin atau mereka sendiri dari kelalaian atau kedzaliman yang bisa dilakukan dalam melaksanakan amanah rakyat yang dipercayakan kepada mereka. Maka adalah kewajiban bagi para jajaran pengemban jabatan negara, untuk mengkoreksi dan mengingkari setiap kebijakan pemimpin yang terkategori mendzalimi umat/rakyat. Tabik...!



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)

Posting Komentar

0 Komentar