Aktivasi Polisi Siber 2021: Inikah Ancaman Baru Kebebasan Berekspresi di Era Otoritarianisme Digital?



“Jangan menjadi algojo demokrasi dan genderuwo menakut-nakuti rakyat.” Demikian pesan Partai Demokrat melalui Waketumnya saat menanggapi soal polisi siber. Sebagaimana Diwartakan oleh kompas.com, Sabtu (26/12/2020), Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan pemerintah akan mengaktifkan polisi siber pada 2021. Menurutnya, polisi siber akan diaktifkan secara sungguh-sungguh karena menjadi rezim yang terlalu toleran (pada hinaan dan kritik) juga relatif berbahaya. 

Rencana ini sontak menuai pro kontra sejumlah kalangan. Komisi III DPR mempersilakan pemerintah mengaktifkan polisi siber jika tujuannya untuk pelayanan dan perlindungan masyarakat. Sementara PAN berpesan jika benar-benar ingin mengaktifkannya, sarana dan prasarana agar dipersiapkan matang. Adapun PKB tidak berkeberatan, namun memberikan catatan selama tidak memberangus kelompok kritis dan demi penegakan hukum bagi pelanggar siber.

Gerindra sepakat jika polisi siber dimaksimalkan demi penegakan hukum berkeadilan dan tidak berkesan kriminalisasi kebebasan berpendapat. Sementara PKS mengingatkan tugas utama lainnya dari polisi siber seharusnya ditingkatkan pada penanganan kasus penipuan online. Adapun PPP menyarankan pemerintah memperkuat Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipifsiber) Bareskrim Polri daripada gembar-gembor soal wacana polisi siber (detik.com, 31/12/2020).

Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa polisi siber akan memberangus kebebasan berpendapat warganegara merupakan hal wajar. Mengingat begitu sensitifnya penguasa terhadap nada-nada kritis. Terlebih datang dari individu atau kelompok yang berseberangan pendapat dan kepentingan dengan rezim berkuasa. 

Penahanan aktivis dan ulama serta pembubaran ormas misalnya. Ini menjadi cara rezim merespon “suara-suara sumbang” yang ditujukan padanya. Ya, dalam sistem pemerintahan represif, kritikan dimaknai sebagai penolakan bahkan perlawanan terhadap kekuasaan. Satu hal yang tak disadari oleh penguasa akan kian menyeret negeri ini pada resesi demokrasi. Pun berpotensi mengantar demokrasi pada kematiannya.


Polisi Siber, Wujud Kepanikan dan Perangkat Rezim Memperkuat Kekuasaan

Menkopolhukam Mahfud MD mendorong pengaktifan polisi siber karena penting dalam menghadapi disinformasi di publik. Menurutnya, polisi siber merupakan penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran siber. Misalnya, ada orang seenaknya memotong berita dan membuat judul yang substansinya salah total. Atau ada kutipan yang sudah muncul empat tahun lalu dan diubah menjadi kutipan hari ini. Dalam pandangannya, “Itu membuat gaduh.”

Urgensi polisi siber kian kuat karena muncul ancaman-ancaman seperti berusaha mengancam memotong leher presiden maupun polisi. Hal tersebut harus ditindak agar tidak menyulitkan di masa depan. Mahfud menyontohkan cara kerja polisi siber. Polisi siber mendapat info dari pihak tertentu melalui nomor telepon genggam. Lalu akan bergerak dua jam kemudian. Misalnya ada ancaman jam delapan pagi, jam sepuluh pelaku sudah ditangkap (tirto.id, 28/12/2020).

Pengamat politik Rocky Gerung menilai, dimasifkannya polisi siber ini menandakan akan ada banyak isu yang dibuat pemerintah pada 2021. Menurut Rocky, polisi siber bekerja berdasarkan isu yang ada. Jadi istana akan sengaja membuat isu macam-macam agar rakyat terpancing, dan polisi siber menangkapi rakyat. 

Selain itu, ia menilai wacana ini mengindikasikan adanya kepanikan dari sang Menkopolhukam. Di mana Menkopolhukam memproyeksikan bakal ada banyak kejahatan di siber. Akan ada kekerasan, macam-macam penghinaan dalam siber, sehingga polisi siber akan diperketat. Ia menuturkan, seharusnya Mahfud MD mendukung terjadinya perdamaian di antara rakyat Indonesia, bukan justru menggencarkan polisi siber (depok.pikiran-rakyat.com, 26/12/2020).

Adapun koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti mengkhawatirkan, pengaktifan polisi siber akan mengancam kebebasan sipil, khususnya di bidang kebebasan berekspresi yang telah dilindungi konstitusi. Pun ia takut polisi siber akan membawa Indonesia menuju budaya otoritarianisme (tribunnews.com, 29/12/2020).

Prediksi di atas rasanya tak berlebihan. Anda ingat? Pertengahan tahun 2017, CNN Indonesia pernah merilis artikel bertajuk Gejala Antikritik Rezim Jokowi. Saat itu marak terjadi penangkapan aktivis, baik dengan tudingan makar maupun penghinaan terhadap presiden melalui jejaring media sosial yang dipandang melanggar UU ITE.

Menengok apa yang terjadi pada tahun 2020, sikap antikritik tak lagi sebatas gejala. Penguasa nampak terang benderang menampakkan diri sebagai rezim antikritik seraya melekatkannya dengan narasi perang melawan radikalisme dan ujaran kebencian alias hate speech. 

Tak ada definisi baku yang disebut pendapat, masukan, kritikan, protes, nyinyiran dan hujatan. Rezim hanya punya satu sudut pandang dalam menilainya. Selama yang dinarasikan berkonten berseberangan dengan kepentingannya maka berpotensi sebagai ujaran kebencian. 

Berbagai perangkat pun dibuat. UU ITE menjadi alat kebiri suara kritis masyarakat terhadap berbagai kebijakan penguasa. Khusus ASN, ada satgas pengawas dan pembina ASN yang siap menerapkan sanksi tegas bagi yang terbukti mengkritisi pemerintah dan dipandang radikal. Juga pembentukan kabinet jilid dua yang meletakkan isu radikalisme sebagai core of the core. Kini, wacana polisi siber akan menjadi perangkat baru yang menghantui kebebasan berpendapat rakyat.

Diakui atau tidak. Dampak kebijakan zalim yang terus diproduksi penguasa telah memutus urat takut sebagian rakyat. Ada kecenderungan nekat meski tahu resikonya bakal dibawa ke penjara atau pulang tinggal nama. Mengapa penguasa seolah bergeming atas semua kritik rakyatnya, bahkan tak khawatir dengan cap represif yang dilekatkan kepadanya?

Inilah harga yang harus dibayar penguasa, saat memilih konsisten menerapkan sistem demokrasi kapitalis neoliberal yang prokepentingan kapitalis. Pada praktiknya, sistem seperti ini pasti akan menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan dan maslahat rakyat banyak.

Jangan pernah menaruh asa terhadap pembelaan hak-hak asasi manusia, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan bagi seluruh rakyat dan hal-hal normatif lainnya akan menjadi tolok ukur pembangunan atau pengambilan keputusan. Kalaupun isu ini diangkat, hanya ada dalam konsep dan wacana di ruang-ruang sidang.

Harga kebutuhan pokok yang gagal ditekan meski kran impor dibuka lebar, melangitnya tarif layanan publik, merangseknya pekerja asing di tengah gunungan pengangguran, kriminalitas dan dekadensi moral yang kian mengancam tapi terkesan tak serius diselesaikan, terlebih di tengah lara pandemi saat ini, jelas menyakiti hati rakyat dan membuat mereka merasa hidup tanpa perlindungan dan pengurusan penguasa. Lantas, rakyat mesti mengadu kemana?

Ini diperparah dengan perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Pun tingkah laku pejabat yang cenderung pro asing dan rela menjadi makelar proyek penyejahteraan negara-negara asing. Sementara di saat sama, banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi dan berujung pelemahan fungsi lembaga antirasuah selevel KPK. Padahal, yang terkena kasus adalah orang-orang yang kerap lantang berteriak “Saya Pancasila dan NKRI Harga Mati” serta julid terhadap mereka yang dianggap oposisi.

Fakta-fakta inilah yang terus memupuk kekecewaan masyarakat. Wajar jika negeri ini tak steril dari protes dan keriuhan. Kalaulah tak terjun di aksi massa, rakyat tanpa tabu mengungkap keluh kesahnya di ruang-ruang publik sebebas media sosial. Jagat maya begitu ramai membincang realitas hidup yang kian sulit. Menyurhat tentang penguasa yang minus hati nurani. Mengisah tentang asing yang kian memenuhi sudut negeri.

Hingga di satu titik, tentu kondisi ini akan dianggap membahayakan. Bagaimanapun, penguasa tetap butuh legitimasi alias dukungan dari rakyat. Meski legitimasi itu harus diperoleh dengan cara paksa (curang). Sebagai pemegang kendali atas sumber-sumber kekuatan, rezim akan mudah melakukan semuanya. Media mainstream, kekuatan militer, polisi, bahkan ormas, semua digerakkan untuk membangun dukungan. Dan di saat sama, digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi di tengah masyarakat yang berpotensi melakukan penolakan.

Oleh karena itu, wacana pengaktifan polisi siber pada tahun 2021 diduga tak lebih sebagai salah satu perangkat untuk membungkam “suara sumbang” rakyat terhadap berbagai kebijakan yang tak berpihak padanya. Jika demikian, bukankah polisi siber hanya akan menjadi alat yang memperkuat otoritarianisme digital? 


Polisi Siber, Otoritarianisme Digital di Tengah Resesi Demokrasi

Tak dipungkiri, kini Indonesia berada di tengah resesi demokrasi. Dalam buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. duo profesor ilmu pemerintahan Universitas Harvard memaparkan bahwa kematian demokrasi tak disadari terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi. Maka, demokrasi berpotensi dibunuh oleh pemimpin yang dilahirkan oleh sistem demokrasi itu sendiri.

Senada dengan pendapat di atas, Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai bahwa garda depan kemerosotan demokrasi saat ini adalah politisi populis yang mendapat dukungan luas dari rakyatnya. Resesi demokrasi ini terlihat dari berbagai tindakan pemerintah, di antaranya:

Pertama, menindas partai oposisi melalui hegemoni atau pemaksaan (Mietzner, 2016; Power, 2018; Mietzner, 2019; Aminudin, 2020).

Kedua, menggunakan kriminalisasi untuk menekan kelompok populis Islam (Mietzner, 2018; Power, 2018; Aspinal dan Mietzner, 2019a; Warburton & Aspinall, 2019; David MacRae dkk, 2019; Aspinal, Fossati et al; 2020).

Ketiga, terfokus pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang timbul sebagai akibat pembangunan (Warburton, 2016).

Keempat, memberikan ruang kepada ideologi atau kelompok anti-demokrasi (Bourchier, 2019; Aspinal & Warburton, 2018; Hadiz, 2017; Mietzner, 2019).

Kelima, membajak institusi negara untuk tujuan kekuasaan (Power, 2018; Mietzner, 2019).

Begitu pula dengan berbagai peristiwa yang terjadi di tahun 2020. Saat pemberlakuan regulasi UU Cipta Kerja misainya, terjadi serangan digital terhadap kelompok kritis,yaitu aktivis, buruh dan mahasiswa. Dibandingkan enam bulan sebelumnya, jumlah serangan selama Oktober 2020 naik dua kali lipat. Sebelumnya SAFEnet mencatat pada periode April-September 2020 terjadi serangan sebanyak 49 kali. Artinya, rerata terjadi 8 kali serangan perbulan.

Penindasan teknologi dengan tujuan untuk mengalahkan kelompok kritis yang menolak kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan hak sipil. Bentuk serangan digital antara lain peretasan, doksing, percobaan masuk, dll. Serangan terjadi hampir pada semua platform yaitu WhatsApp, Instagram, Twitter dan Facebook.  

Di tengah meningkatnya penggunaan media sosial sebagai alat represi, wacana polisi siber tentu mengundang kekhawatiran. Berikut dampak negatif yang mungkin terjadi saat kebijakan ini diberlakukan: 

Pertama, timbulnya 'killing effect', yakni masyarakat takut mengkritik pemerintah, bahkan sekadar menyampaikan pendapat di media sosial. Fenomena ini sudah tampak bahkan sebelum polisi siber dikerahkan. 

Berdasarkan survei Indikator Politik pada Oktober 2020, sebanyak 69,6 persen responden menyatakan 'setuju dan sangat setuju' bahwa warga semakin takut berpendapat. Sebanyak 73,8 persen responden juga 'setuju atau sangat setuju' bahwa warga makin sulit berdemonstrasi atau protes. Kemudian, 64,9 persen responden 'setuju atau sangat setuju' aparat makin semena-mena menangkap warga yang orientasi politiknya bukan penguasa saat ini.

Kedua, kebebasan berpendapat terancam. Rakyat enggan mengkritik pemerintah lagi di media sosial jika sedikit-sedikit diancam akan dibui atau dipanggil. Terlebih mengkritisi negara kerap kali dituduh melawan negara atau distigma menjadi kelompok tertentu.

Ketiga, berpotensi membuat aparat keamanan menjadi lebih represif, khususnya di dunia maya. Padahal ukuran penilaian yang digunakan polisi siber bakal sarat subjektivitas. Sangat memungkinkan standar penilaian berdasar kepentingan dan keuntungan rezim.

Keempat, terjadi kegaduhan dan potensi konflik antarkalangan masyarakat. Jika standar penilaian tidak jelas, tak terukur justru akan menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat. Pun memicu terjadinya pro kontra yang melibatkan akar rumput. 

Kelima, semakin mengeksiskan rezim otoriter dan sistem hidup sekularisme kapitalis liberal. Jika kebebasan berpendapat terbungkam, penguasa akan lebih leluasa membuat kebijakan sesuai syahwat politiknya.Tak ada lagi kontrol dan kritik terhadap penguasa saat ia tak memenuhi hak rakyat atau ketika penguasa tak menjalankan aturan Allah dalam mengelola urusan rakyat. Selanjutnya, sistem sekuler nan zalim pun tetap eksis sebagai panduan rezim mengatur negara. 

Keenam, kezaliman terus berlangsung, kerusakan kian meluas. Inilah bahaya terbesar saat amar ma’ruf nahi mungkar tidak berjalan. 

Demikianlah, pengaktifan polisi siber akan menjadi alat represi di dunia maya dan nyata. Alih-alih memberikan perlindungan dan rasa nyaman bagi pengguna media sosial, kehadirannya justru berpotensi menambah otoritarianisme digital yang dilakukan penguasa. 


Strategi Negara Menjamin Kebebasan Berpendapat Rakyat di Era Digital

Menurut Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar, pemerintah selama ini terlalu fokus menangani misinformasi di sisi hilir melalui pemidanaan, padahal peraturan pemidanaan terkait masih belum lengkap. Akibatnya, sering kali penyebar hoaks dipidana padahal itu dilakukan karena ketidaktahuan atau orang itu juga merupakan korban misinformasi. Selain itu, pasal yang dikenakan pun kerap kali berbelok menjadi ujaran kebencian atau pencemaran nama baik.

Pendekatan pemidanaan juga dinilai bertentangan dengan hak atas privasi karena itu mendorong negara mengerahkan intelijen di media sosial untuk patroli. Di sisi lain, mulai Pemilu 2014, Pilkada 2017, hingga hari ini, penyebaran misinformasi semakin tidak terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pemidanaan yang ditekankan, belum mampu mengerem penyebaran disinformasi (tirto.id, 31/12/2020).

Terkait dengan masalah ini, ada beberapa hal yang mestinya dilakukan oleh penguasa, yaitu:

Pertama, penguasa memiliki paradigma sebagai khadimul ummah yang berfungsi sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Menjadikan rakyat sebagai subjek yang dilayani. Bukan objek yang senantiasa diminta pengorbanan bahkan menjadi korban penderitaan. 

Juga menjadikan rakyat sebagai mitra dalam membangun sinergi kebaikan, bukan diposisikan sebagai lawan. Penguasa tidak boleh menggunakan jargon bahwa negara tidak boleh kalah (dari rakyat). Hal ini akan menjadi legalisasi bertindak sewenang-wenang.

Kedua, penguasa menyadari sebagai manusia tak terlepas dari khilaf dan kesalahan. Pun dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, akan membuka ruang bagi rakyat menyampaikan masukan, nasihat, pendapat demi mencapai tujuan kebaikan bersama. 

Ketiga, pemerintah mengubah paradigma dalam menangani hoaks dengan beralih ke hulu, salah satunya dengan cara memasifkan literasi digital dan menumbuhkan pemikiran kritis terhadap hoaks kepada masyarakat.  

Aktivitas ini sudah dilakukan tetapi sifatnya masih selebrasi dan belum sistematik. Literasi digital bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan.

Keempat, menggandeng pengelola platform media sosial dalam menangkal hoaks. Pengelola media sosial mampu menyusun algoritma agar unggahan yang dinilai tidak autentik tenggelam dan tidak terbaca oleh pengguna lain.

Kelima, perlu ada kajian matang untuk membuat indikator mengenai pernyataan yang salah atau benar di media sosial demi menjamin keadilan serta hak asasi warga dalam berpendapat.

 Keenam, pemerintah semestinya juga memberikan perhatian dan langkah serius pada jenis kejahatan siber lain, misalnya penipuan dan kasus pembobolan dana pribadi. Hingga kini, setidaknya ada 13.520 aduan penipuan dengan total kerugian mencapai Rp1,17 trilliun. 

Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding laporan penyebaran konten provokatif sebanyak 6.745 kasus. Indonesia berada dalam daftar 10 negara yang rentan kejahatan teknologi informasi. Menurut laporan Financial Service information sharing and Analysis Center (FS-ISAC), Indonesia termasuk dalam daftar 10 negara di dunia yang rentan akibat kejahatan teknologi informasi.

Ketujuh, aktivasi patroli siber perlu dikaji ulang. Jika patroli siber tetap diaktifkan, maka harus bekerja secara terukur, jelas dan tegas, ada legalitasnya, ada proporsionalitas. Tidak bertindak semata-mata demi membela dan mempertahankan kekuasaan rezim.

Demikian strategi penjaminan kebebasan berpendapat masyarakat yang bisa dilakukan pemerintah di Era digital. Namun, strategi sebagus apapun, hanya akan menjadi wacana saat kehendak penguasa tidak berdasar pada “ruh” melayani rakyat. Pun, kala penguasa tidak memahami fungsinya sebagaimana arahan Islam yang menjadikan penguasa sebagai: ra’in (pengatur urusan dan pemenuh kebutuhan dasar umat) dan junnah (pelindung umat dari musuh, marabahaya dan keburukan lainnya).

Terlebih dalam kungkungan sistem demokrasi kapitalisme sekuler saat ini, hakikatnya penguasa justru menjadi “perpanjangan tangan” kaum kapitalis (oligark) demi kepentingan invasi aktivitas ekonomi mereka. Kepada kaum elit inilah, penguasa mengabdi. Bukan kepada rakyat sebagai “tuan” sejati. 

Jika ingin mendapati sosok negarawan yang peduli dan mengutamakan kepentingan rakyat (termasuk optimal dalam menjamin kebebasan berpendapat warga), yang bersungguh-sungguh dalam mengatur segenap urusan umat, maka hal itu tak akan kita dapati kecuali dalam penerapan sistem Islam. Sebuah sistem yang bersumber dari wahyu ilahi yang tak hanya menerapkan aturan Islam nan mulia, sekaligus menjaga sang penerap hukum (penguasa) untuk tetap berjalan sesuai koridor-Nya.  

Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media, Dosen Online Uniol 4.0. Diponorogo

Pustaka
Bahaya Polisi Siber ala Mahfud MD, tirto.id, 31 Desember 2020
Resesi Demokrasi dan Wajah Otoritarianisme Digital di Indonesia, Damar Juniarto, kompas.com, 23 Desember 2020

Posting Komentar

0 Komentar