Pilkada Langsung di Tengah Pandemi Covid-19: Layakkah Mati demi Pesta Demokrasi?




“Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi.” Pernyataan ini berasal dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva saat menyampaikan keprihatinannya terhadap banyaknya kasus positif Covid-19 dalam tahapan Pilkada sebelum pemungutan suara 9 Desember 2020. Diwartakan dari Bisnis.com, Sabtu (28/11/2020), sebanyak 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang di antaranya meninggal dunia dan 100 penyelenggara termasuk Ketua KPU RI terkena virus ini.

Banyaknya korban sejatinya telah diprediksi sejak awal hingga muncul desakan menunda Pilkada dari berbagai elemen masyarakat. Desakan ini bukan tanpa dasar. Solopos.com, Selasa (22/9/2020), mendata 19,8 juta OTG berpotensi ikut dalam kampanye (Indo Barometer), 60 calon kepala daerah terinfeksi Covid-19 (per 14 September 2020), 243 kasus pelanggaran protokol kesehatan calon dan parpol, 30 kasus dari klaster Kantor KPU Pusat, 2 kasus dari klaster Kantor Bawaslu Pusat, 96 anggota panitia pengawas Pemilu positif Covid-19 (7 September 2020) dan 103 kasus dari klaster Bawaslu Boyolali (per 12 September 2020).

Sejumlah epidemiolog pun bersuara. Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman memeringatkan bahwa Pilkada 2020 berpotensi menjadi bom waktu. Tersebab banyaknya pelanggaran protokol kesehatan selama pendaftaran Pilkada, serta aturan yang masih memiliki celah kegiatan kerumunan massa (kompas.com, 21/9/2020).

Namun, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Sebagaimana dalam fragmen tuntutan rakyat yang lain, pemerintah terkesan keras kepala memaksakan kehendaknya. Sungguh ironis. Berdalih menggelar pesta demokrasi demi menunaikan hak konstitusional rakyat, namun mempertaruhkan nyawa rakyat itu sendiri. 

Terlebih, demokrasi secara esensi telah berganti wajah menjadi oligarki. Namun baik demokrasi dan oligarki tak mencerminkan model pemerintahan ala ajaran ilahi. Maka, mati dalam menjaga eksistensi demokrasi, layak dipertanyakan. Akankah menjadi kemuliaan atau justru kesia-siaan.


Pilkada Bertaruh Nyawa, demi Kursi Kuasa

Diwartakan oleh detik.com, Selasa (22/9), presiden tetap memutuskan Pilkada digelar 9 Desember 2020 dengan beberapa alasan. Pertama, untuk menjamin hak konstitusional rakyat, memilih dan dipilih. Kedua, tidak ada kepastian kapan Covid-19 berakhir. Ketiga, pemerintah tidak ingin kepemimpinan di daerah dilaksanakan oleh pelaksana tugas (plt) yang tidak berwenang mengambil kebijakan strategis. 

Meski begitu, “ngototnya” pemerintah melaksanakan Pilkada di tengah mengganasnya penularan virus Covid-19 dan banyaknya desakan penundaan oleh berbagai elemen rakyat, kian menunjukkan wajah asli pengelolaan negeri ini. Sejak awal pandemi, kiblat penguasa menyelesaikan berbagai persoalan adalah untung rugi. Bukan keselamatan jiwa rakyat. 

Rekomendasi ahli medis dan epidemiolog nyaris tak didengar. Tertutup riuhnya tuntutan para kapital dan korporat demi berputarnya roda ekonomi. Jadilah era normal baru setengah hati. Hasilnya, angka positif Covid-19 melonjak tiap hari. Sebelum pembukaan normal baru, angka harian positif Covid-19 di bawah seribu. Setelahnya, setiap hari kasus positif lebih dari seribu. Bahkan Sabtu (5/12/2020) terjadi 6.000 kasus harian sehingga total angka positif mencapai 569.707 orang.

Tak dipungkiri. Dari berbagai tahapan Pilkada yang telah berlangsung, turut menyumbang peningkatan angka penularan Covid-19. Menurut Prof. Suteki, pakar hukum dan masyarakat, setidaknya ada tujuh "bahaya" Pilkada digelar di tengah pandemi, yaitu: 

Pertama, kualitas penyelenggaraan pilkada terdegradasi, buruk. Prinsip yang dapat menjaga marwah Pilkada tidak lain berupa asas-asas pilkada khususnya jujur dan adil. Di tengah pandemi Corona itu yang akan dianut adalah aliran pragmatisme, dan apalagi karena kemiskinan warga pemilih dan calon membutuhkan suara itu sering terlibat dalam transaksi ekonomi. 

Kedua, keselamatan dan kesehatan warga negara terancam. Masa puncak pandemi Corona hingga sekarang belum pasti. Angka infeksi penyakit masih pasang surut meskipun para warga telah menjalankan program PSBB. 

Ketiga, partisipasi pengguna hak pilih rendah karena pertimbangan pandemi yang belum mereda. Salah satu kerawanan ialah tingkat partisipasi rendah lantaran tren wabah korona yang saat ini masih meningkat dan masyarakat menghindari aktivitas berkerumun. Meskipun Juru Bicara Gugus Petugas Percepatan Covid diganti, tren kejadian Covid-19 beberapa hari ini ada 1.000-an orang lebih yang dinyatakan positif Covid-19. Sementara itu, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pada saat situasi normal tidak lebih dari 60 s/d 70 persen, apalagi di saat pandemi Corona. Diperkirakan partisipasi rakyat dalam pilkada akan menurun drastis. 

Keempat, transaksi jual-beli suara sangat potensial menguat. Politik transaksional pada pilkada di tengah pandemi bakal menguat lantaran kebutuhan ekonomi warga yang meningkat dan pragmatisme kandidat kepala daerah. Kandidat mungkin merasa ruang geraknya sudah semakin susah karena protokol kesehatan yang harus mereka patuhi, maka pendekatan pragmatis akan dipilih dengan akan melakukan jual-beli suara. 

Kelima, politisasi program penanganan Covid-19. Khususnya para calon incumbent akan memanfaatkan kesempatan penanganan covid sekaligus untuk curi start kampanya terselubung. Misalnya, melalui pembagian bantuan negara sembako, namun diklaim sebagai bantuan pribadi, bungkusnya ada foto diri dan narasi pribadi. 

Keenam, politik bumi hangus setelah jadi kepala daerah. Kesulitan-kesulitan suksesnya memenangkan calon di pilkada dapat makin mendorong pasangan pemenang dan tim suksesnya segera setelah pelantikan merapatkan barisan untuk melakukan pergantian gerbong “kabinet”. Pejabat yang mendukung akan dipertahankan atau dipromosikan. Sebaliknya, yang dianggap lawan akan dicopot atau di-nonjobkan. 

Ketujuh, pebisnis democrazy berpotensi marak terjadi. Meskipun pilkada serentak ini membuat para bandar politik (pebisnis democrazy) kurang bisa lagi bermain di setiap daerah yang melaksanakan pilkada, namun diprediksikan masih tetap akan terjadi. Para bandar politik ini biasanya menjadi penyandang dana untuk para kontestan dengan janji imbalan proyek-proyek infrastruktur, konsesi tambang, HPH dan segala macam potensi yang bisa dikeruk dari daerah itu. 

Jadi, demokrasi melalui Pilkada ini ternyata melahirkan pebisnis-pebisnis demokrasi yg tidak hanya berbisnis barang dan jasa, tanpa melihat lagi halal atau haram, tetapi lebih jauh lagi, mereka juga membisniskan demokrasi itu sendiri. Bisnis demokrasi lengkap dengan layanan purna jual dalam bentuk korupsi, manipulasi, kolusi dan saudara-saudaranya.

Namun, rezim seolah tutup mata dengan berbagai dampak negatif yang bakal menimpa. Sangat memungkinkan jika dalam Pilkada tahun ini juga telah ada deal-deal politik antara sang calon kepala daerah dengan para korporat pemodalnya. Terlebih dalam perhelatan Pilkada tahun ini, ada nama-nama kandidat yang dekat dengan pihak istana dan partai politik berkuasa. Kian menambah dugaan berbagai pihak mengapa rezim ini enggan menunda pelaksanaan Pilkada. 

Oleh karena itu, Pilkada demi menunaikan hak konstitusional rakyat hanyalah “politik abang-abang lambe” atau lip service untuk meningkatkan jumlah partisipasi rakyat. Agar sang kandidat mendapatkan legitimasi politik demi meraih kursi kuasa yang didamba. 

Faktanya, setelah mereka bertahta, kebijakan dibuat untuk pihak pengusaha. Rakyat ditinggalkan di belakangnya. Tetap menjadi kaum jelata. Tak mendapatkan apa-apa. Hidupnya begitu-begitu saja. Inilah realitas penerapan demokrasi yang kini bermetamorfosis menjadi oligarki korporatokrasi.


Tak Layak Berkorban demi Menjaga Eksistensi Demokrasi

Ungkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva tentang pelaku Pilkada yang mati dan terpapar Covid-19 sebagai wujud pengorbanan untuk demokrasi, menarik untuk dicermati. Pasalnya, demokrasi itu sendiri bukanlah ajaran suci yang layak diagungkan dan dijaga eksistensinya hingga bertaruh nyawa. Termasuk dalam pemilihan pemimpin (daerah) sebagai salah satu sarana melanggengkan sistem ini. 

Sayangnya, banyak dari kalangan umat Islam yang memandang realitas buruk demokrasi “hanya” sebagai bentuk penyimpangan penerapan. Mereka beranggapan, pada dasarnya sistem demokrasi baik dan ideal. Pelakunyalah yang membuat demokrasi menjadi nampak buruk dan mengerikan. Yang salah orangnya, bukan sistemnya. Begitu katanya.

Inilah yang membuat mereka tetap berharap demokrasi layak dipertahankan. Sehingga proses perubahan yang mereka perjuangkan, hanya bermuara pada tuntutan perubahan rezim atau kepemimpinan personal, bukan perubahan sistemik.

Berikut ini beberapa argumen pembela demokrasi yang mengatakan demokrasi baik dan tidak bertentangan dengan Islam:

Pertama, demokrasi netral dan hanya sebagai alat. Karena dianggap netral, demokrasi bisa dimanfaatkan sesuai kepentingan. Karena dianggap hanya alat, maka baik buruknya tergantung siapa penggunanya. Seperti telepon genggam, bisa dipergunakan untuk kebaikan atau keburukan. 

Kedua, demokrasi itu islami atau demokrasi memiliki kesamaan dengan Islam. Di antara kesamaan tersebut antara lain: kebebasan memilih pemimpin, keadilan, persamaan di depan hukum, hak koreksi, dst.

Ketiga, suara mayoritas demokrasi sesuai Islam. Demokrasi menjunjung tinggi suara mayoritas. Berbagai peraturan perundang-undangan ditetapkan melalui suara mayoritas. Dipahami hal ini sejalan dengan Islam, terbukti dalam berbagai kesempatan Rasulullah Saw mengikuti suara mayoritas. 

Keempat, demokrasi memberi peluang menegakkan syariat secara bertahap. Melalui demokrasi diharapkan satu persatu UU atau Perda syariat disahkan, sampai syariah kafah sepenuhnya bisa ditegakkan.

Kelima, pembenaran demokrasi mencontoh Nabi Yusuf. Mereka menyebut Nabi Yusuf sebagai pejabat di sistem pemerintahan tidak islami (Kerajaan Mesir). Dan menjadikan kisah ini sebagai dalil bolehnya berkiprah dalam sistem demokrasi.

Padahal, andai kaum muslimin memahami hakikat demokrasi, mereka tentu akan menolaknya. Prinsip utama demokrasi adalah kedaulatan rakyat di mana rakyat diberi hak membuat undang-undang serta memilih pemimpin untuk menjalankan undang-undang tersebut. Untuk mewujudkan hal ini, dibuatlah mekanisme Pemilu. Melalui Pemilu, rakyat memilih anggota legislatif yang akan duduk di lembaga legislatif yang bertugas menetapkan hukum dan perundang-undangan.

Sejatinya, perkara mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan hukum berada di tangan manusia, bukan Allah Swt, Tuhan Semesta Alam. Hakikatnya, demokrasi hendak menjauhkan umat Islam dari ketundukan terhadap syariat Allah. Padahal Allah telah berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah.” (TQS. Yusuf: 40).

Demokrasi bukan sekadar bicara tentang pemilihan penguasa sebagaimana dipahami oleh kebanyakan umat Islam. Pemahaman ini akibat dari gambaran menyesatkan yang digulirkan oleh negara kafir penjajah dan pendukungnya saat menjajakan ide demokrasi. Demi menyembunyikan bagian mendasar demokrasi itu sendiri, yaitu hak membuat hukum dan menetapkan halal-haram berada di tangan manusia, bukan Tuhannya manusia. 

Bagi penganutnya, ketika demokrasi menyerahkan kewenangan membuat hukum sesuai kehendak manusia berdasarkan suara mayoritas, berhak menghalalkan dan mengharamkan, bebas menetapkan status terpuji-tercela, maka mereka bebas berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Bebas meminum khamr, berzina, murtad, mencela hal-hal yang disucikan dalam agama, dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual. 

Terlebih, demokrasi juga menetapkan kebebasan berperilaku yang menjadikan lelaki dan perempuan bebas bergaul tanpa peduli halal-haram, berpakaian tanpa menutup aurat berdalih tubuhku otoritasku. Demokrasi juga menjamin kebebasan beragama, di antaranya bebas murtad dan berpindah-pindah agama, bahkan bebas untuk tidak beragama. Pun melegalisasi kebebasan pemilikan yang menjadikan pihak kuat mengeksploitasi yang lemah. 

Demokrasi juga mengagungkan kebebasan berpendapat, bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq. Justru memfasilitasi kebebasan dalam menentang berbagai kesucian yang ada di tengah umat Islam. Bahkan mereka menganggap orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai pahlawan.

Tak hanya substansi ajaran dan penerapannya yang bertentangan dengan Islam. Jika kita telusuri asas pembentuk dan sejarah kelahirannya, jelas demokrasi tidak berasal dari Islam. Sebagaimana kapitalisme dalam bidang ekonomi dan liberalisme dalam aspek sosial budaya, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lahir dari rahim sekularisme. Sebuah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. “Wajar” jika demokrasi tak mengizinkan “suara Allah Swt” hadir di ruang sidang parlemen dan istana para penguasa pemujanya. Karena “suara rakyat (minoritas)” adalah “suara Tuhan” itu sendiri.

Inilah hakikat demokrasi. Lantas, bagaimana bisa seorang muslim yang mengimani Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh, demokrasi itu sesuai, bahkan berasal dari Islam? Jelas, demokrasi hanya menawarkan kebebasan semu. Dan yang terpenting, ia tidak pernah didesain sebagai jalan perubahan bagi tegaknya syariat Islam. Mati dan bentuk pengorbanan lainnya demi demokrasi bukanlah kemuliaan, namun kesia-siaan.


Strategi Islam dalam Mengangkat Kepala Daerah

Meroketnya angka positif Covid-19 di Indonesia seharusnya membuka mata hati penguasa, agar lebih bersungguh-sungguh menjalankan fungsinya. Terlebih proses Pilkada yang melibatkan banyak manusia. Meskipun kewajiban mematuhi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 telah diatur dalam Peraturan KPU, namun praktiknya terjadi banyak pelanggaran. Pun, sejumlah aturan belum disertai penegakan sanksi hukum tegas sehingga membuka peluang penyebaran virus Covid-19 secara masif.  

Tak hanya berhitung keberlangsungan kekuasaan. Penguasa mesti memprioritaskan keberlangsungan kehidupan. Pandemi Covid-19 merupakan ancaman bersifat eksistensial. Dampaknya tak hanya menghancurkan ekonomi. Namun juga mengancam keberlangsungan hidup manusia. 

Hal ini tentu membutuhkan pendekatan spesifik. DPR, pemerintah dan penyelenggara Pilkada jangan semata-mata menggunakan politik kekuasaan. Namun pendekatan yang lebih komprehensif dengan memerhatikan aspek keselamatan dan perlindungan jiwa warganegara. Di mana sering disebutkan saat ini pendapat Marcus Tullius Cicero, "salus populi suprema lex esto," artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.  

Dalam Islam, seorang imam (pemimpin, penguasa) adalah raa’in (pengurus rakyat) berfungsi mengelola urusan rakyat dan memenuhi kebutuhan pokokya. Pun, ia adalah junnah (perisai), tempat berlindung rakyat dari serangan musuh dan keadaan buruk lainnya. 

Pengangkatan pemimpin, baik pusat maupun daerah dilakukan dalam rangka merealisasikan fungsi ini. Sebagai kepala negara, Rasul Saw telah mencontohkan pengangkatan pemimpin daerah. Hal yang sama dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan telah menjadi ijma’ Sahabat. Berdasarkan dua dalil ini, wali (gubernur) dan ‘amil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Jadi, kepala daerah tidak dipilih baik langsung oleh rakyat atau oleh wakil mereka.

Perlu diingat, hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud. 

Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah (hlm. 3) menyatakan, “Sungguh Allah Yang Maha Tinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mendelegasikan kepada dirinya as-siyâsah (pemeliharaan urusan umat) agar pengaturan itu bersumber dari agama yang masyru’, dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu imamah (khilafah) adalah pokok yang menjadi pondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”

Sebagaimana kepala daerah diangkat oleh kepala negara, maka pemberhentian mereka juga dilakukan oleh kepala negara. Para wali dan ‘amil bisa diberhentikan baik karena ada sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lainnya. Bisa juga mereka diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul saw. pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali Yaman tanpa sebab. Khalifah Umar ra. juga pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.

Dengan itu masyarakat dan pejabat akan paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa dan pemangku jabatan bisa diberhentikan kapan saja. Sehingga jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan dan orang pun tidak akan berlomba-lomba mengejar jabatan tersebut.

Penduduk wilayah (propinsi) atau ‘umalah (kabupaten/kota) atau para wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat boleh menampakkan ketidakridhaan atau mengajukan syakwa (aduan) atas kepala daerah mereka. Semata-mata adanya ketidakridhaan atau syakwa itu, khalifah harus memberhentikan mereka. Khalifah Umar bin Khathab ra. pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash semata-mata karena masyarakat mengadukan dirinya. Khalifah Umar berkata tentang itu, “Saya tidak memberhentikan dia karena tidak mampu atau karena pengkhianatan.”

Dari sini diambil ketentuan, jika kebanyakan rakyat atau wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat menampakkan ketidakridhaan atas wali atau ‘amil di daerahnya, maka kepala negara/khalifah wajib memberhentikan dirinya dan mengangkat kepala daerah baru.

Karena kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara, maka keuntungannya antara lain: 

Pertama, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah efektif dan efisien, berbiaya murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem politik biaya tinggi—sebagaimana dalam sistem demokrasi—dengan berbagai dampaknya tidak akan terjadi. Triliunan uang rakyat tidak akan tersedot untuk pemilihan kepala daerah dan bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, akuntabilitas pemimpin daerah akan terjamin. Pemimpin daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman, bahkan tanpa kesalahan sekalipun, termasuk demi penyegaran dan peningkatan kinerja. Program pemerintah akan berjalan efektif. Keterpaduan dan keharmonisan pemerintah pusat dan daerah bisa terwujud.

Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap pemimpin daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan. Kepala negara (khalifah) akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu. Pasalnya, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas pemimpin daerah, khalifah harus memberhentikannya. Partisipasi rakyat dalam mengontrol kepala daerah akan bangkit.

Demikianlah pengangkatan kepala daerah dalam Islam. Namun aktivitas ini hanya mampu diterapkan dalam kerangka sistem pemerintahan Islam yakni khilafah ‘ala minhajin nubuwah. Dengannya, in syaa Allah kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpelihara, cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran akan terwujud, serta keberkahan akan dikaruniakan oleh Allah SWT dari langit dan bumi atas penduduk negeri. []

Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Pustaka

Prof. Suteki, Pilkada di Masa Corona: Masihkah mengutamakan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi?

Ajhizah ad Daulah al Khilafah, Edisi Indonesia, HTI-Press, Cetakan I, Juni 2006

Pedyanto, Yudha, Buanglah Demokrasi pada Tempatnya: Menyingkap Kejahatan Demokrasi dan Bagaimana Mencegahnya, Irtikaz

Buletin Kaffah no. 24, 2 Jumadil Awal 1439 H – 19 Januari 2018 M

Posting Komentar

0 Komentar