Negara Tidak Boleh Kalah:Inikah Slogan Yang Memburamkan "Potret Hukum" 2020?



Riuh rendah berita yang memilukan penduduk negeri yang konon mendeklarasikan dirinya sebagai religious nation state. Kepedihan terasa lantaran Pemerintah "mengandangkan" ulama, imam besar yang amat dicintai oleh umat Islam Indonesia. Negeri ini dihuni oleh 87,19% penduduk yang mengaku beragama Islam namun ironis, umat Islam terkesan terpojok, terhina dan terpuruk padahal secara historis pada santri dan ulamalah yang dahulu merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Jasa umat Islam tidak diragukan lagi dalam kelestarian negeri ini. Namun, era belakangan ini kekuasaan tampaknya dijalankan secara represif nir etika kehidupan berbangsa yang sudah kita tuangkan dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001. 

Pasca pembunuhan terhadap 6 laskar EfPiAi yang ditengarai kuat adanya dugaan telah terjadi pelanggaran HAM, yakni extrajudicial killing, kemarin pada 12 12 2020 sebagian umat Islam didera kepedihan karena Imam Besar Harisy ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana penghasutan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP. Banyak sudah para ahli menyatakan pendapat bahwa sesuai dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, delik Pasal 160 adalah delik materiil, yang hanya dapat disangkakan jika telah ada bukti adanya tindak pidana sebagaimana hasutannya tersebut. Pendapat para ahli hukum itu tampaknya tidak dihiraukan oleh Pemerintah--yang sering mrngatasnamakan negara, c.q. penyidik kepolisian. Inikah penerapan slogan "negara tidak boleh kalah" itu? 

Betapa sering kita mendengar pernyataan dari para pejabat negeri ini yang menyatakan prinsip "negara tidak boleh kalah", namun di lain kesempatan pejabat itu juga mengutip adagium dari Cicero yang berbunyi: "salus populi suprema lex esto". Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Anda mungkin masih ingat pernyataan Presiden Joko Widodo (17 November 2020) yang menginstruksikan TNI-Polri beserta Satuan Tugas Penanganan Covid-19 untuk menindak tegas siapa pun yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. Presiden menekankan, keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi yang harus jadi pedoman. Sehari sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD menyoroti pihak-pihak yang melanggar protokol kesehatan hingga perusak fasilitas umum di tengah pandemi COVID-19. Mahfud meminta negara tidak boleh kalah terhadap para pelanggar aturan tersebut. Pernyataan itu saya duga untuk merespons kepulangan Harisy yang menimbulkan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang berbuntut panjang hingga terbunuhnya 6 anggota FPI. Apakah prinsip bahwa negara tidak boleh kalah itu juga akan membenarkan meskipun aparatur pemerintah negara bertindak apa pun bahkan ketika salah sekali pun tindakan itu? 

Penggunaan prinsip negara tidak boleh kalah "yang keliru" sebenarnya menunjukkan bahwa sistem pemerintahan negara yang sedang dijalankan adalah sistem otoriter represif yang menghadap- hadapkan rakyat dan aparat negara, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH). Di Pemerintahan yang otoriter maka APH akan digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan status quo yang di-back up oleh hukum sebagai alat legitimasi tindakan jahat pemerintah. Akhirnya, potret wajah bening hukum yang awalnya harus memberikan guidance bagaimana pemerintah negara menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya menjadi potret wajah buram tercemar oleh kerakusan penguasa negara yang tidak mau kalah dengan rakyatnya. 

Perlu diketahui bahwa  hukum, demokrasi dan HAM memiliki hubungan piramidal. Tidak mungkin terwujud demokrasi kalau hukum diacak-acak dan ditegakkan secara ugal-ugalan plus otoriter. Tidak mungkin HAM di-protect jika demokrasi telah mati. Jadi, matinya demokrasi dapat terjadi karena penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara telah bergeser ke arah otoritarianisme. This is a reason for a statement: how democracies die. Jadi, berdasar hubungan yang erat antara negara hukum dan demokrasi itu dapat dikatakan bahwa hidup matinya demokrasi sangat ditentukan bagaimana hukum ditegak ataukah tidak. 

Pertanyaannya: "Mengapa otoritarianisme justru menyeruak ke dalam sistem demokrasi?" Sebab di dalam sistem demokrasi telah bercokol para elit yang menjelma menjadi oligark yang sejatinya mengendalikan negara termasuk hukum. Peraturan hukum cenderung dipakai untuk melegitimasi dan mempertahankan status quonya bukan sebagai sarana untuk mewujudkan social welfare. Orientasi pembentukan hukum dan penegakannya pada dalil untung rugi dan mengabaikan persoalan keadilan dan kebenaran. Penegakan hukum macam itu dapat disebut sebagai industri hukum. 

Mahfudz MD menyebut ( ILC, 11 Pebruari 2020) bahwa masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya.  Mungkinkah dalam industri hukum kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah: trial without justice? 

Kita coba untuk menganalisis penggunaan secara keliru prinsip negara tidak boleh kalah. Kita ambil contoh penegakan hukum oleh kepolisian. Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng sangat mungkin dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya: 

1. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
2. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
3. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda). 

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama serta berprinsip negara tidak boleh kalah, maka langkah menyingkirkan kebenaran dan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai.  Praktik buruk  pekerjaan polisi yang berprinsip negara tidak boleh kalah itu misalnya:
(1) Standar Tidak Jelas: Suka Suka Kami (SSK). 

Di sisi lain, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar yang jelas. Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka bahkan baru sekedar terduga. Berapa banyak kasus penyiksaan hingga extrajudicial killing (Siyono (2016), Qidam Alfarizki (2020), M. Jihad Ikhsan (2020), 6 laskar FPI (2020). Berapa banyak perlakuan yang suka-suka terhadap hak tersangka meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin. 

Jika semua pihak, termasuk polisi bertindak sesuka hati, maka hal itu sama saja menghilangkan fungsi negara. Sebab, negara hadir untuk memberi batasan-batasan agar setiap hak warga negara terpenuhi. 

(2) Diskresi Cenderung Diskriminatif.
APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya: 

1. Penegakan hukum tebang pilih (kasus kerumunan (HaRiSy (DKI: agama) vs Gibran (Solo: Pilkada)).
2. Kriminalisasi Ulama (Heru, Gus Nur, Harisy) dan aktivis Kritis (Syahganda Nainggolan dkk, KAMI) vs pembiaran para buzzer pendukung rezim (Abu Janda dkk).
3. Abuse of power Pencabutan baliho FPI oleh TNI, Tidak sesuai dengan Tupoksi TNI, dugaan abuse of power polisi menguntit hingga membunuh 6 laskar FPI.
4. Penangguhan penahanan (kasus Pembakaran Gedung Kejagung vs Gus Nur) 

Dua hal tersebut saja sudah mampu membuat tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini  yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, sebenarnya industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri. 

Penggunaan prinsip negara tidak boleh kalah membuat saya khawatir jika negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilangnya karakter diri sebagai negara benevolen, negara pemurah. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara PRODUSEN OLIGARK dan KONSUMEN. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan dan penyelenggaraan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. 

Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum tidak boleh menjadi agen industri hukum karena jika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state yang melumpuhkan prinsip-prinsip negara hukum. 

Penggunaan secara keliru prinsip negara tidak boleh kalah cenderung membuat negara bertindak "brutal" dan "bar-bar" terhadap rakyatnya. Kasus terbunuhnya secara keji bahkan ada yang menyebut  dilakukan secara "brutal" dan "bar-bar" atas 6 laskar FPI patut diduga karena penggunaan secara keliru prinsip negara tidak boleh kalah ini. 

Hal ini bertentangan dengan amanat Tap MPR No. VI Tahun 2001, yang menegaskan bahwa pejabat negara lain harus bertindak sesuai dengan etika kehidupan berbangsa. Bahkan Tap MPR No. VI Tahun 2001 Tentang etika kehidupan berbangsa menyatakan bahwa setiap pejabat dan elit politik untuk SIAP MUNDUR dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.  Pejabat harus memiliki sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. 

Penggunaan keliru prinsip negara tidak boleh kalah juga bertentangan dengan Etika Penegakan Hukum Berkeadilan  yang meniscayakan APH harus berbuat secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.  

Adakah penyelenggaraan pemerintahan  kini mencerminkan etika kehidupan berbangsa itu? Penggunaan keliru prinsip negara tidak boleh kalah hanya akan memperkuat dugaan kuat adanya extrajudical killings, abuse of power, mal administrasi, Suka-Suka Kami (SSK), tindakan non promoter, diskresi yang diskriminatif dll. Hal ini mengkonfirmasi dan telah menujukkan lumpuhnya hukum, matinya demokrasi sekaligus adanya pelanggaran HAM. 

Berdasar POTRET BURAM hukum di tahun pertama periode kedua Kabinet Kerja Jokowi ini, yakinkah Anda bahwa tahun depan (2021) potret hukum kita lebih bening? Saya tidak yakin, bahkan dapat diproyeksikan kekuasaan rezim semakin otoriter dan oleh karenanya represif. Prediksi saya, memang benar bentuk negara kita memang masih republik demokrasi tetapi sebenarnya kita sudah meninggalkan sistem itu menuju okhlokrasi yakni ketika negara dikendalikan oleh kelompok perusak yang sebenarnya tidak mengerti bagaimana cara menyelenggarakan kekuasaan negara untuk membahagiakan rakyatnya (benevolen). Dalam hal ini, negara boleh kalah/mengalah dengan rakyatnya demi perwujudan pelindungan dan kebahagiaan bersama. Jadi, haruskah negara tidak boleh kalah dengan rakyatnya? 

Di sisi lain, kita tahu bahwa di negara demokrasi, kedaulatan itu di tangan rakyat. Jika kita konsisten dengan prinsip demokrasi ini, kita juga boleh memiliki slogan: rakyat tidak boleh kalah dengan kaum perusak negeri, para penjahat sebenarnya. Selanjutnya, jika terbukti bahwa extrajudicial killing itu sebuah kejahatan dan korbannya jelas ada 6 laskar FPI maka tentu ada pelakunya, yaitu penjahatnya. Haruskan penjahat itu dihukum? Siapa yang harus menghukum? Dalam hal ini Rakyat juga tidak boleh kalah dengan penjahat itu karena sebenarnya rakyatlah yang berdaulat. Jika rakyat tidak lagi berdaulat, maka demokrasi itu sebenarnya sudah mati dan seharusnya dikubur bersama "syahidnya" 6 laskar FPI. Terkait dengan dugaan kuat adanya extrajudicial killing atas 6 laskar FPI, TGPF salah satu bukti slogan Rakyat Tidak Boleh Kalah! Kapan mau dibentuk? 

Tabik...!!!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Semarang,  Ahad: 13 Desember 2020
#HARI (NON) SIAL SEDUNIA

Posting Komentar

0 Komentar