Golput sebagai Pemenang: Inikah Indikator Kehancuran Demokrasi Sekuler?


Gelaran Pilkada serentak 2020 baru usai. Menariknya, di beberapa daerah pemenangnya adalah golput. Bahkan, salah satu desa di Sulawesi Tenggara, warganya tidak menggunakan hak pilihnya. Dilansir dari kompas.com, sebanyak 250 warga di Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), memutuskan untuk golput atau tak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Serentak 2020. (Kompas.com, 11 Desember 2020)

Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes. Pasalnya, selama 12 tahun mereka merasa tak diperhatikan oleh pemerintah. Sebab, selama belasan tahun itu mereka tidak menerima alokasi dana desa dari pemerintah seperti desa lainnya.

Kemenangan golput di beberapa daerah mengindikasikan bahwa demokrasi semakin tidak dipercaya oleh rakyat. Suara rakyat dibiarkan. Protes rakyat terhadap kebijakan rezim pun tak dihiraukan. Akibatnya, timbul apatis pada penyelenggaraan demokrasi di negeri ini. Di samping itu banyaknya pejabat korup juga menjadi masalah yang tidak bisa dituntaskan dalam demokrasi.

Dalam demokrasi, memilih pemimpin adalah hak bukan kewajiban. Jadi, wajar bila angka golput terus naik. Berbeda dengan Islam. Memilih pemimpin adalah kewajiban. Namun bukan pemimpin yang menerapkan hukum buatan manusia, tapi pemimpin yang menerapkan aturan Allah secara paripurna. 

Dalam Islam, pemimpin melayani seluruh urusan masyarakat berdasarkan syariat Islam. Pemimpin akan sangat takut pada Allah jika ada satu makhluk Allah yang terzalimi. Pemimpin akan sangat takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah jika ada di antara manusia yang masalahnya tidak terpecahkan.


Golput Berjaya Akibat Rakyat Apatis dengan Sistem yang ada

Golongan putih atau yang disingkat golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. 

Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.

Tingginya jumlah warga yang tidak memberikan suara atau dikenal sebagai golput terjadi di Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan Pilkada serentak di 270 daerah. Rinciannya pemilihan gubernur di sembilan dari 34 provinsi, bupati di 224 dari 416 kabupaten, serta pemilihan wali kota di 37 dari 98 kota. Ada sekitar 100,3 juta orang yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada 2020. Dari jumlah tersebut, KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih sebesar 77,5 persen.

Namun dari data sejumlah daerah memperlihatkan jumlah masyarakat yang enggan menggunakan hak pilihnya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bahkan, angka tersebut melebihi suara calon kepala daerah yang mendapat angka tertinggi.

Pemenang Pilkada Surabaya, Depok, Tangerang Selatan, dan Medan bahkan total perolehan suaranya lebih sedikit ketimbang surat suara yang dinyatakan rusak ditambah tidak digunakan karena pemilih tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Beberapa daerah yang disebut dikenal sebagai basis tradisional partai tertentu. Beberapa yang lain diisi calon yang dekat dengan elite politik.

Surabaya merupakan satu dari daerah yang dikenal sebagai basis tradisional PDIP. Kader partai banteng ini memenangkan pilkada tiga periode berturut-turut, dari Tri Rismaharini yang menjabat dua periode hingga Eri Cahyadi yang bakal memimpin lima tahun ke depan. Kendati demikian, jumlah golput dua kali lipat dari perolehan suara Eri Cahyadi dan pasangannya Armuji. Eri-Armuji memperoleh 568.305 suara atau setara 27,2 persen DPT, sementara golput mencapai 52,41 persen.

Kondisi hampir sama terjadi di Kota Depok, salah satu basis PKS dalam dua dekade terakhir. Mohammad Idris-Imam Hartono sebagai pemenang memperoleh 33,73 persen dari DPT sejumlah 1.229.362. Sementara golput mencapai 36,74 persen. Idris merupakan petahana. Dengan kemenangan ini ia akan menjalankan periode kedua. Durasi total Depok dipimpin kader PKS mencapai 20 tahun alias empat periode pilkada.

Selain itu, di Pilkada Kota Tangerang Selatan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin-Pilar meraih suara terbanyak versi alat bantu perhitungan suara KPU Sirekap yang telah 100 persen dari data 2.963 TPS yang masuk. Mereka meraih 40,9 persen atau setara 235.656 suara. Pasangan calon nomor 3 tersebut mendapat suara terbanyak di tiga wilayah kecamatan yaitu Serpong, Pondok Aren, Pamulang dan Setu. Sementara, di posisi kedua ada pasangan calon Wali dan Wakil Wali Kota Tangsel nomor urut 1, Muhamad-Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dengan perolehan suara 35,6 persen atau 204.930 suara. Pada posisi ketiga, pasangan calon Wali dan Wakil Wali Kota Tangsel nomor urut 2 Siti Nurazizah-Ruhamaben. Putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin itu mendapat perolehan suara 23,5 persen atau 135.122 suara.

Berdasarkan hasil tersebut, sekitar 400 ribu lebih orang yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap di Pilkada Tangsel tak melakukan pencoblosan alias Golput. Jumlah itu hampir 50 persen dari total jumlah DPT di Pilkada Kota Tangsel 2020 ini. Sebagaimana diketahui, KPU Tangerang Selatan telah menetapkan DPT sebanyak 976.019 orang.

Di Kota Medan, KPU telah menetapkan pasangan Bobby Nasution-Aulia Rachma sebagai pemenang Pilkada Medan 2020. Sang menantu Presiden Jokowi itu memperoleh 53,45 persen suara dalam pencoblosan 9 Desember lalu. Namun suara yang diperoleh Bobby tidak mampu mengalahkan angka golput. Golput lebih besar ketimbang perolehan suara suami, Kahiyang Ayu tersebut. Hasil rekapitulasi penghitungan suara yang ditetapkan yakni Bobby-Aulia memperoleh 393.327 suara atau 53,45 persen dari suara sah. Sementara pasangan nomor urut 1, Akhyar Nasution-Salman Alfarisi, hanya memperoleh 342.580 suara atau 46,55 persen. Total suara sah dalam Pilkada kali ini mencapai 735.907 suara, sedangkan yang tidak sah 12.915 suara. Dengan begitu, total 748.882 orang menggunakan hak pilihnya. Sementara orang yang tidak memberikan suaranya kembali 'menang' pada Pilkada kali ini. Warga yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 886.964 orang atau 54,22 persen dari 1.635.846 total pemilih.

Banyaknya rakyat yang golput disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

Pertama. Suara Rakyat Tidak Didengar

Golputnya seluruh warga Desa Matabondu, Konsel dalam Pilkada 2020 karena mengaku ‘suara mereka tak pernah didengar’ mengonfirmasi bahwa kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem demokrasi hanyalah omong kosong. Sesungguhnya bukan hanya suara masyarakat desa tersebut saja yang tidak didengar pemerintah namun suara masyarakat desa-desa lain bahkan suara masyarakat perkotaan juga tidak didengar oleh penguasa. 

Jutaan orang turun ke jalan di hampir seluruh kota di Indonesia menolak UU Omnibus Law hanya dianggap angin lalu oleh penguasa. UU tetap ketok palu oleh DPR dan ditandantangani presiden. Penolakan rakyat terhadap berbagai peraturan perundangan lain seperti UU Minerba, UU KPK, serta berbagai kebijakan lain yang tidak berpihak ke masyarakat juga tidak didengar oleh rezim. Di sisi lain keberpihakan kepada para kapitalis terlihat sangat jelas seperti pemberian fasilitas insentif pajak, kemudahan penguasaan SDA milik publik seperti tambang-tambang batubara, hutan dan juga izin ekspor impor yang dipermudah.

Kedua. Apatis Dengan Sistem Demokrasi 

Golputnya separuh lebih warga Surabaya dalam Pilkada kemarin menunjukkan rasa apatis warganya terhadap perubahan melalui Pilkada. Rendahnya angka partisipasi pemilih dalam Pilkada kali ini di daerah lain pun sebagian besarnya karena banyaknya masyarakat yang apatis terhadap adanya perubahan melalui Pilkada.

Pada 2015 masyarakat Surabaya apatis karena salah satu calon yang maju merupakan petahana sehingga dianggap tidak akan terjadi banyak perubahan. Sementara di tahun ini, adanya praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan yang karut marut di banyak daerah, menyebabkan masyarakat menjadi apatis. Karena berpandangan bahwa siapa pun yang terpilih maka tidak akan banyak berpengaruh pada perkembangan Kota Surabaya dan masyarakat menilai siapa pun yang terpilih akan relatif sama saja. 

Ketiga. Banyaknya Pejabat Korup

Banyaknya golput pada Pilkada kemarin diduga kuat karena masyarakat sadar semakin banyak praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) termasuk  korupsi yang menjadi salah satu hal paling disorot oleh masyarakat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga Mei 2020. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif tersebut mencapai 36 persen dari total perkara yang ditangani KPK. 

"Korupsi yang ditangani KPK 36 persen atau 397 perkara, itu adalah melibatkan pejabat politik. Anggota DPR/DPRD 257, wali kota/bupati 119, ini sampai Mei 2020," kata Giri dalam sebuah webinar yang disiarkan akun Youtube Kanal KPK, Rabu (30/9/2020).

Giri mengungkapkan terdapat 21 gubernur yang ditangani dalam kurun waktu tersebut. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch yang menggabungkan jumlah kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Selain itu, data KPK juga menunjukkan bahwa kasus korupsi telah terjadi di 27 dari 34 provinsi se-Indonesia selama 2004-2020. Oleh sebab itulah, banyak rakyat yang golput karena beranggapan buat apa memilih pejabat kalau pada akhirnya mereka korupsi? 

Banyaknya golput pada penyelenggaraan Pilkada kali ini menjadi PR besar bagi sistem demokrasi untuk mengatasinya. Namun tentu itu tidak mudah. Karena selama ini demokrasi dijadikan instrumen para elite untuk mendapatkan berbagai keistimewaan dan kekayaan dengan mengatasnamakan rakyat. Rakyatnya sendiri hidup susah. Sehingga berkembanglah sikap apolitis di tengah-tengah masyarakat. Makin hari mereka makin tidak peduli dengan politik. Politik itu pasti tipu-tipu. Memang begitulah politik dalam demokrasi.


Sistem Demokrasi Gagal Menekan Angka Golput

Golongan putih alias golput selalu muncul menghantui setiap kontestasi politik baik itu di pentas pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Pada Pilkada 2020 ini, golput kembali menguat bahkan merajai di beberapa daerah. Sejauh ini memang belum ada strategi paling ampun untuk menekan angka golput.

Di kancah perpolitikan Indonesia, golput jadi istilah yang populer dikampanyekan pada saat pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Isu golput waktu itu ramai digaungkan oleh gerakan mahasiswa kepada masyarakat untuk tidak terlibat dalam pemilihan politik yang diselenggarakan pemerintahan Orde Baru. Faktor yang membuat golput menguat kala itu karena ketiga partai yang terlibat pemilu saat itu, seperti Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia, merupakan partai boneka dari kepentingan Soeharto sebagai presiden.

Namun, meski semangat untuk golput begitu besar di era Orde Baru, namun angka golput pada masa itu justru lebih rendah jika dibandingkan dengan angka golput di era reformasi. Setelah reformasi jumlah golput makin meningkat. Di Pemilu 1999, angka golput mencapai 10,4 persen. Lalu di Pemilu 2009, golput legislatif mencapai angka 29,01 persen, di Pilpres 2009 angka golput mencapai 27,77 persen, sementara di Pileg 2004, di mana jumlah golput mencapai 15,9 persen dan angka itu malah meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua masing-masing 21,8 persen dan 23,4 persen.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam menekan angka golput, antara lain:

Pertama. Memperbaiki faktor Teknis

Untuk menekan angka golput karena masalah teknis, misalnya tidak terdaftar, waktu pencoblosan sedang ada halangan, misalnya sakit atau lainnya solusinya dengan cara memaksimalkan proses pendaftaran, sehingga tidak ada lagi pemilih yang tidak terdaftar. Lalu, bagi warga yang sakit, penyelenggara harus pro aktif untuk memberikan kesempatan bagi yang sakit untuk mencoblos di hari H.

Kedua. Memperbanyak Informasi

Masalah pengetahuan seperti ketidaktahuan informasi tentang Pilpres, Pileg, atau pemilihan lainnya juga menjadi perhatian penyelenggara dalam mengurangi angka golput. Solusi masalah kurangnya pengetahuan pemilih bisa dilakukan melalui sosialisasi yang intens dan maksimal tentang urgensi partisipasi dalam pemilu. 

Ketiga. Meliburkan Hari Pemilihan

Untuk menekan angka golput dengan alasan ekonomi, penyelenggara membuat kebijakan yaitu meliburkan hari pemungutan suara. Dengan meliburkan hari pemungutan suara, diharapkan pemilih dapat sejenak meninggalkan pekerjaannya untuk pergi ke TPS.

Keempat. Serangan Fajar

Politik uang memang tidak bisa dipisahkan dari sistem demokrasi. Politik uang sering dipakai untuk merangkum seluruh praktik, mulai dari korupsi, jual beli suara sampai kriminal. Praktik politik uang bisa disamakan dengan uang sogok dan suap. Ada banyak strategi dalam menjalankan politik uang dalam pemilu, namun yang paling umum adalah istilah serangan fajar.

Serangan fajar adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bentuk politik uang dalam membeli suara. Serangan fajar bisa dilakukan oleh satu atau beberapa orang dengan tujuan memenangkan calon peserta pemilihan umum. Pada umumnya, serangan fajar sering terjadi menjelang pemilihan umum dan menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah. Serangan fajar sudah dikenal luas oleh para pemilih dan kontestan pemilu di Indonesia. Ia merupakan kunjungan rahasia ke pemilih yang dilakukan pada pagi hari untuk mendistribusikan uang dan kebutuhan sehari-hari sebelum masyarakat menuju tempat pemungutan suara (TPS). Biasanya, para kontestan akan menggunakan pihak ketiga untuk mengunjungi calon pemilih di rumah mereka, tempat nongkrong atau pemilih yang sedang dalam perjalanan ke TPS. Mereka kemudian menawarkan atau memberikan sejumlah uang dengan harapan orang-orang ini akan memberikan suaranya kepada para kontestan. Akan tetapi, serangan fajar juga bisa dilakukan oleh para tim kampanye sebelum masa kampanye, saat masa kampanye, pada masa tenang atau pun malam hari menjelang pencoblosan ke TPS.

Kendati demikian, bagi yang memilih golput karena alasan ideologi, sistem demokrasi tak dapat berbuat banyak. Kekecewaan terhadap penguasa, janji kampanye yang tidak ditepati, kebijakan yang menyengsarakan rakyat, banyaknya pejabat yang korup adalah fakta yang tak terbantahkan dari bobroknya sistem demokrasi.

Bagi masyarakat yang sudah merasakan akibat buruk penerapan demokrasi, semestinya tidak cukup hanya menumpahkan kekecewaan dalam bentuk golput, namun harus ada suatu kesadaran bahwa demokrasi harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan penerapan Islam secara kaffah dalam institusi khilafah.


Sistem Islam Mewajibkan Memilih Pemimpin yang Menerapkan Islam secara Kaffah

Munculnya sikap Golput ini tidak terlepas dari undang-undang negara kita yang  menegaskan bahwa keikutsertaan untuk ikut memilih hanyalah hak bagi warga negara, bukan sebagai kewajiban (Undang-Undang No.10/2008, pasal 19 ayat 1). Jika memilih pemimpin dianggap hanya sebagai hak, bukan sebagai kewajiban, berarti sah-sah saja hak tersebut tidak digunakan. 

Berbeda dengan Islam. Islam mewajibkan umatnya untuk memilih pemimpin. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَ مٰنٰتِ اِلٰۤى اَهْلِهَا ۙ وَاِ ذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّا سِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِا لْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ سَمِيْعًۢا بَصِيْرًا

"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 58)

Ayat ini cukup tegas menunjukkan pandangan Alquran dalam memilih pemimpin. Ayat ini dapat dianggap sebagai referensi untuk menjawab apakah memilih pemimpin merupakan hak atau kewajiban. Sasaran ayat di atas ditujukan kepada orang-orang mukmin agar memberikan amanah kepada orang-orang yang sanggup menjalankannya. 

Dengan demikian, memilih pemimpin secara otomatis include ke dalamnya, karena pemimpin adalah orang-orang yang dianggap cakap dalam menjalankan amanah. Menurut Mahmud al-Nasafi di dalam tafsirnya “Tafsir al-Nasafi” mengatakan bahwa perintah di dalam ayat ini adalah perintah wajib untuk menjalankan amanah Allah yang telah dibebankan kepada manusia, dan termasuk juga kewajiban dalam memilih pemimpin.

Selain ayat di atas, Allah juga berfirman: 

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَ طِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُ ولِى الْاَ مْرِ مِنْكُمْ ۚ فَاِ نْ تَنَا زَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَا لرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ وَا لْيَـوْمِ الْاٰ خِرِ ۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS an-Nisa 4: Ayat 59)

Disitu ada lafadz ulil amri. Oleh karena itu kewajiban taat kepada ulil amri tidak dapat diragukan lagi. Artinya dia adalah sosok yang wajib ditaati. Namun kemudian siapa yang dimaksud dengan ulil amri? Tentu saja yang memegang urusan kaum muslimin dan ulil amri tersebut adalah ulil amri diantara kalian yang beriman kepada Allah, menaati Allah dan menaati RasulNya. 

Jadi, ulil amri adalah penguasa yang memegang urusan kaum muslimin secara keseluruhan yang taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya dan ketika ada persoalan atau sengketa kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Kalau kita kembalikan kepada makna dari ulil amri dalam QS an-Nisa: 59 maka ulil amri yang disebutkan spesifikasinya menurut QS an-Nisa: 59 itu terpenuhi dengan adanya khalifah. Karena ulil amri adalah seseorang yang memegang urusan kaum muslimin kemudian dia taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah. Ketika ada persoalan atau sengketa di tengah masyarakat maka dia kembalikan kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan itulah esensi dari khalifah. 

Khalifah itu dibai'at untuk menjalankan syariat Islam, menjalankan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Dia adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia yang fungsinya adalah menjalankan hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru alam. Jadi Khalifah adalah ulil amri yang sah menurut Islam. Sedangkan Presiden, Gubernur, Bupati tidak dapat disebut sebagai ulil amri karena dia bukan pemimpin yang diangkat untuk menegakkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Dia memegang urusan tetapi tidak termasuk ulil amri yang syari menurut Islam. Bahwa secara bahasa dia adalah ulil amri yakni memegang urusan tetapi secara syari dia adalah bukan ulil amri yang dimaksud oleh syariat Islam.

Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya. Oleh karena itu, orang-orang mukmin tidak akan pernah mengambil sikap Golput karena mengetahui bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban, bukan sekadar hak. Orang-orang mukmin akan memilih pemimpin yang menerapkan aturan Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat.


Penutup

Banyaknya rakyat yang golput disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, suara rakyat tidak didengar, apatis dengan sistem demokrasi dan banyaknya pejabat korup.

Banyaknya golput ini menjadi PR besar bagi sistem demokrasi untuk mengatasinya. Namun, tentu itu tidak mudah. Karena selama ini demokrasi telah dijadikan instrumen para elite untuk mendapatkan berbagai keistimewaan dan kekayaan dengan mengatasnamakan rakyat. 

Berbagai upaya telah dilakukan dalam menekan angka golput, antara lain, dengan cara memaksimalkan proses pendaftaran, memberikan kesempatan bagi yang sakit untuk mencoblos di hari H, melakukan melalui sosialisasi yang intens dan maksimal tentang urgensi partisipasi dalam pemilu, meliburkan hari pemungutan suara dan juga politik uang.

Kendati demikian, bagi yang memilih golput karena alasan ideologi, sistem demokrasi tak dapat berbuat banyak. Kekecewaan terhadap penguasa, janji kampanye yang tidak ditepati, kebijakan yang menyengsarakan rakyat, banyaknya pejabat yang korup adalah fakta yang tak terbantahkan dari bobroknya sistem demokrasi. Tentu tidak cukup hanya menumpahkan kekecewaan dalam bentuk golput, namun harus ada suatu kesadaran bahwa demokrasi harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan penerapan Islam secara kaffah dalam institusi khilafah.

Dalam Islam, memilih pemimpin bukan sekedar hak tapi kewajiban. Pemimpin atau Khalifah yang memegang urusan kaum muslimin secara keseluruhan yang taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya dan ketika ada persoalan atau sengketa kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Khalifah yang dibai'at untuk menjalankan syariat Islam, menjalankan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Dia adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia yang fungsinya adalah menjalankan hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru alam. Jadi Khalifah adalah ulil amri yang sah menurut Islam. Sedangkan Presiden, Gubernur, Bupati tidak dapat disebut sebagai ulil amri karena dia bukan pemimpin yang diangkat untuk menegakkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya.[]

Oleh: Achmad Mu'it, Analis Politik Islam & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Referensi:
1. https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/regional/read/2020/12/11/16403481/warga-satu-desa-golput-kades-percuma-karena-suara-kita-tidak-pernah
2.Ahmad, Nyarwi,"Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif", hlm. 281–305, 2009
3. https://mediaumat.news/seluruh-warga-matabondu-golput-mengonfirmasi-kedaulatan-di-tangan-rakyat-hanya-omong-kosong/
4. https://mediaumat.news/separuh-warga-surabaya-golput-pkad-akibat-rasa-apatis-perubahan-melalui-pilkada/
5. AM Mahmud,"Golput dalam Perspektif Islam, 2017.
6. https://www.tintasiyasi.com/2020/09/khalifah-itu-ulil-amri-yang-sah-menurut.html?m=1

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar