Aparat Dilindungi Hukum: Inikah Dalil Pembenaran "Segala Tindakan" Aparat?



Jagad medsos "diramaikan" dengan pernyataan Pak Presiden terkait dengan peristiwa hukum akhir-akhir ini. Dimulai dari kasus terorisme di Sigi, pelanggaran prokes covid-19, Pembunuhan 6 laskar FPI hingga proses penahanan IB HRS. Quote yang viral di medsos adalah: "Aparat Dilindungi Hukum, rakyat tidak boleh semena-mena". Apa maksud Pak Presiden? Apakah ini kelanjutan slogan "negara tidak boleh kalah" plus mengamini pernyataan Kapolda Metro bahwa penegakan hukum maju terus, tidak mengenal gigi mundur? Menurut saya, pernyataan-pernyataan itu dapat dimaknai sebagai pernyataan yang terindikasi adanya sebuah "arogansi kekuasaan" yang pada akhirnya dapat mendorong tindakan otoriter dan penggunaan hukum secara represif. Tentu hal ini tidak kita harapkan terjadi di negara demokrasi. 

Pada negara yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara "demokrasi" atau kerakyatan mestinya yang diutamakan adalah keselamatan rakyatnya tanpa pandang bulu, sekalipun rakyat itu sedang dinilai melakukan kejahatan. Hak-hak mereka harus tetap dilindungi hingga pengadilan memutuskan untuk memidana pelaku kejahatan. Itu pun mesti dilaksanakan dengan tetap memerhatikan aspek kemanusiaannya. Apalagi terhadap warga negara yang status hukumnya masih "terduga", "tersangka" bahkan "terdakwa" sekalipun harus mendapatkan perlakuan yang manusiawi bahkan mestinya tetap diposisikan sebagai warga negara yang tidak bersalah (presumption of innocence), bukan sebaliknya malah dilakukan penyiksaan di luar batas kemanusiaan hingga extrajudicial killing. 

Katanya Indonesia itu negara hukum. Jika berprinsip negara hukum, seharusnya hukum dipakai sebagai alat untuk membatasi penggunaan kekuasaan, tugas, fungsi dan kewenangan baik pemerintah negara maupun rakyatnya. Dengan prinsip ini justru rakyatlah yang harus dilindungi dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum atau pejabat negara lainnya karena posisi rakyat itu biasanya lemah jika berhadapan dengan penguasa. Dengan segala kewenangan yang menempel pada aparat penegak hukum, merekalah yang berpotensi berbuat menindas rakyat atas nama hukum. Bahkan, pejabat-pejabat itu juga diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi yang luas. Mereka termasuk golongan "the haves", bukan? Ingat kata-kata Marc Galanter: "The haves always come out ahead". Jadi, tidak perlu pernyataan bahwa aparat dilindungi hukum, mereka sudah dengan sendirinya melindungi diri mereka dengan regulasi, segala atribut, tameng, godam, pentungan hingga rompi antipeluru. Di mana-mana pelindungan itu pasti ditujukan untuk pihak yang "vulnerable", pihak yang rentan dan lemah bukan pelindungan aparat yang nota benenya sudah autoprotected

Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional, tidak mungkin berlepas diri dari regulasi internasional, misalnya tentang Resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Baik secara etis maupun yuridis kita terikat dengan resolusi itu karena kita adalah salah satu anggota PBB. Mari bersama kita cermati sebuah Resolusi PBB Tahun 1979 tentang Aturan Perilaku Bagi Aparat Penegak Hukum pada saat menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam penegakan hukum. 

Aturan Perilaku bagi Aparat Penegak Hukum 

(Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979). 

Pasal 1
Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh hukum kepada mereka, yaitu dengan melayani masyarakat dan melindungi semua orang dari tindakan yang tidak sah, sesuai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi sebagaimana diharuskan oleh profesi mereka. 

Pasal 2
Dalam melaksanakan kewajiban mereka, aparat penegak hukum menghormati dan melindungi martabat kemanusiaan serta memelihara dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) semua orang. 

Pasal 3
Aparat penegak hukum boleh mengunakan tindakan keras (force) hanya bilamana benar-benar diperlukan dan hanya sejauh yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban mereka. 

Pasal 4
Hal-hal bersifat rahasia (konfidensial) yang diketahui oleh aparat penegak hukum dijaga kerahasiaannya, kecuali jika dengan sangat diharuskan lain demi pelaksanaan kewajibannya atau demi kebutuhan pengadilan. 

Pasal 5
Aparat penegak hukum sama sekali tidak boleh melakukan, menganjurkan, atau membiarkan setiap bentuk penyiksaan ataupun setiap bentuk perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan derajat. Demikian pula, aparat penegak hukum sama sekali tidak boleh menggunakan perintah atasan atau keadaan luar biasa, misalnya keadaan perang atau ancaman perang, ancaman keamanan nasional, ketidak-stabilan politik dalam negeri, atau keadaan darurat umum lainnya, sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan atau memberikan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat. 

Pasal 6
Aparat penegak hukum menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang mereka tahan dan, terutama, bertindak dengan segera untuk menyediakan perhatian medis kapan saja diperlukan. 

Pasal 7
Aparat penegak hukum tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Aparat penegak hukum secara bersungguh-sungguh menentang dan memerangi segala bentuk perbuatan korupsi. 

Pasal 8
Aparat penegak hukum menghormati hukum yang berlaku maupun Aturan Perilaku ini. Mereka juga berusaha sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan mereka untuk mencegah dan untuk secara bersungguh-sungguh menentang setiap pelanggaran terhadap hukum maupun Aturan Perilaku ini. Aparat penegak hukum yang mempunyai alasan untuk meyakini bahwa telah terjadi ataupun akan terjadi sebuah pelanggaran terhadap Aturan Perilaku ini melaporkan hal tersebut kepada atasannya dan, di mana perlu, kepada pihak berwenang yang semestinya ataupun kepada organ-organ yang mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan atau tindakan perbaikan. 

Ada ulasan yang menarik oleh ELSAM terkait dengan Pasal 5 Resolusi PBB ini. Dinyatakan bahwa Larangan pada Pasal 5 tersebut diturunkan dari Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Derajat (the Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah diadopsi oleh Sidang Umum. Menurut deklarasi tersebut: "[Tindakan semacam itu] adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan dan dikecam sebagai penyangkalan terhadap tujuan Piagam PBB maupun sebagai pelanggaran terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental sebagaimana yang diproklamirkan dalam Deklarasi Universal tentang HAM [dan instumen-instrumen hukum internasional lainnya tentang HAM]." 

Kemudian ditegaskan pula bahwa Deklarasi tersebut mendefinisikan penyiksaan sebagai berikut: "... penyiksaan ialah setiap tindakan yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik ataupun mental, yang amat sangat yang dengan sengaja dilakukan oleh, atau atas anjuran dari, seorang pejabat publik terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari dia atau dari pihak ketiga, untuk menghukum dia atas perbuatan yang telah dia lakukan atau yang diduga telah dia lakukan, atau untuk mengintimidasi dia atau orang-orang lain. Tidak termasuk dalam penyiksaan ialah rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, atau sebagai akibat yang inheren dari, atau 
sebagai hasil ikutan dari, sanksi yang sah dan yang besarnya sesuai dengan Aturan Minimum Standar tentang Perlakuan Tahanan." Tentang istilah "perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan derajat" memang belum didefinisikan oleh Sidang Umum tetapi perlu ditafsirkan sebagai hal yang memberikan perlindungan seluas mungkin dari perlakuan semena-mena, baik fisik ataupun mental. (Sumber: Pusat Dokumentasi ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) 

Berdasarkan Resolusi PBB 1979 Tentang Aturan Perilaku Bagi Aparat Penegak Hukum dapat diambil kesimpulan bahwa rakyatlah yang seharusnya diutamakan untuk memperoleh pelindungan hukum dari negara, yang salah satu fungsinya dijalankan oleh aparat penegak hukum. Beberapa kali Presiden, Pejabat Menteri hingga Kapolda mengutip pernyataan Cicero bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto). Jika adagium ini diterapkan secara keliru oleh penguasa jahat, maka penguasa itu akan memperalat hukum sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaannya atas dalih "keselamatan rakyat". Hukum akan dibuat sedemikian rupa untuk mempertahankan status quo dengan cara rspresif dan diktator (constitutional dictatorship). Kita berharap, pernyataan Pak Presiden bahwa aparat penegak hukum dilindungi oleh hukum bukan kelanjutan dari penerapan secara keliru slogan negara tidak boleh kalah dan oleh karenanya "membenarkan" tindakan extrajudicial killing atas 6 laskar EfPiAi tanggal 7 Desember 2020 yang lalu. 

Kita tahu bahwa di negara demokrasi, kedaulatan itu di tangan rakyat. Jika kita konsisten dengan prinsip demokrasi ini, kita juga boleh memiliki slogan: rakyat tidak boleh kalah dengan kaum perusak negeri, para penjahat sebenarnya. Selanjutnya, jika terbukti bahwa extrajudicial killing itu sebuah kejahatan dan korbannya jelas ada 6 laskar FPI maka tentu ada pelakunya, yaitu penjahatnya. Haruskan penjahat itu dihukum? Siapa yang harus menghukum? Dalam hal ini Rakyat juga tidak boleh kalah dengan penjahat itu karena sebenarnya rakyatlah yang berdaulat. Jika rakyat tidak lagi berdaulat, maka demokrasi itu sebenarnya sudah mati dan seharusnya dikubur bersama "syahidnya" 6 laskar FPI. Terkait dengan dugaan kuat adanya extrajudicial killing atas 6 laskar FPI, TGPF salah satu bukti slogan Rakyat Tidak Boleh Kalah! Kapan mau dibentuk? Akhirnya perlu disadari bahwa dalam keadaan apapun, rakyat harus mendapat keadilan secara layak. Rakyat tidak boleh kalah dengan penjahat, sekalipun mereka adalah pejabat yang sedang berkuasa. Tabik...!!!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Semarang, Senin: 14 Desember 2020

Posting Komentar

0 Komentar