Pelanggaran Prokes Covid-19 di Petamburan: Dapatkah Anies dan Ha-eR-eS Dipidana?



Tampaknya suhu politik dan hukum di negeri ini mulai memanas lagi menyusul reaksi atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam kerangka PSBB di DKI, khususnya terkait dengan aktifitas kepulangan IB Habieb Rizieq Syihab. Setelah pencopotan beberapa Kapolda karena kerumunan massa yang terjadi saat acara Habib Rizieq Syihab, Polri pun langsung mengambil sikap tegas. Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo langsung menerbitkan surat telegram terkait proses hukum kepada seluruh masyarakat yang tidak mematuhi standar protokol kesehatan penanganan Covid-19.

Diketahui bahwa Kapolri menerbitkan surat telegram bernomor ST/3220/XI/KES.7./2020 tanggal 16 November 2020 yang ditandatangani oleh Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo. Polri menyatakan bahwa apabila dalam penegakan Perda/peraturan kepala daerah tentang penerapan protokol kesehatan Covid-19, ditemukan adanya upaya penolakan, ketidakpatuhan atau upaya lain yang menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu stabilitas Kamtibmas, maka akan dilakukan upaya penegakan hukum secara tegas. Tindakan tegas itu sesuai dengan Pasal 65, Pasal 212, Pasal 214 ayat (1) dan (2), Pasal 216, dan Pasal 218 KUHP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 84 dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018.

Jelas sekali ada upaya untuk memburu para pelanggar prokes covid 19 yang akan dilakukan oleh Polisi. Apakah hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum? Apakah polisi akan menggunakan pasal sapujagad untuk menjerat para pelanggar prokes, baik dengan ancaman sanksi pidana denda maupun sanksi pidana penjara? Apakah tidak ada cara lain mendisiplinkan warga agar mematuhi protokol kesehatan? Apakah daerah yang tidak menerapkan PSBB atau tindakan kekarantinaan kesehatan lainnya dapat diterapkan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan? Ikuti penalaran hukumnya dalam artikel ini.

Polisi Memanggil Gubernur DKI dan Para Pihak Terkait Dugaan Pelanggaran Prokes Covid-19: Adakah Unsur Pidananya?

Tribunnews.com 17 Nopember 2020 mewartakan bahwa Polda Metro Jaya telah memanggil sejumlah pihak untuk dimintai klarifikasi terkait acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di kawasan Petamburan Jakarta Pusat yang melanggar protokol kesehatan. Lalu seperti berita yang dilansir Kompas.com, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Argo Yuwono, menyebut sejumlah pihak mulai dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, hingga RT dan RW tempat diselenggarakan acara tersebut. Sebagaimana diketahui, pada hari ini jam 10.00 WIB Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah hadir untuk diperiksa di Polda Metro Jaya.

Polisi sedianya akan meminta klarifikasi untuk mencari tahu apakah ada dugaan pidana, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Direncana akan dilakukan klarifikasi dengan dugaan tindak pidana Pasal 93 UU RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantina Kesehatan.

Berikut isi Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantina Kesehatan :

Pasal 93 :

Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 9 berbunyi:

(1) Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

(2) Setiap Orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Berdasarkan Undang Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB merupakan respons dari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Adapun maksud dari kedaruratan kesehatan tertuang dalam Pasal 1 ayat 2:

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Ada persoalan hukum yang perlu ditanyakan lebih dahulu, yakni tepatkah Anies Baswedan dan beberapa pihak yang terkait diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan?
Dalam menghadapi situasi pendemi covid 19, Indonesia memiliki tiga UU yang dapat digunakan. Tiga UU tersebut yakni UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit, dan UU Kekarantinaan Kesehatan. Kapan seseorang dapat diancam dengan pidana sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan? Hal ini dapat diterapkan ketika Pemerintah menerapkan tindakan kekarantinaan kesehatan, yakni ketika pemerintah menerapkan karantina wilayah atau lock down maupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU KK, tindakan kekarantinaan kesehatan tersebut dilakukan melalui cara-cara berikut ini:

(1) Karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi;

(2) Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB);

(3) Disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang; dan/atau 
(4) Penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.

Pembatasan Sosial Berskala Besar secara rinci diatur dalam Pasal 59 UU KK. Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

(1) Peliburan sekolah dan tempat kerja;
(2) Pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
(3) Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Aturan pelaksanaan PSBB tersebut juga telah diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres (Keputusan Presiden) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Terbitnya aturan pelaksanaan tersebut memberikan landasan kebijakan bagi pemerintah dalam menangani dampak Covid-19. Namun demikian, PP PSBB ini tidak mengatur apa maksud PSBB dengan segala kriteria rincian apa saja yang dilarang, dibatasi dengan kuantitas maupun kualitasnya. PP ini hanya terdiri dari 6 Pasal saja secara umum yang sangat jauh dari cakupan dari UU No. 6 Tahun 2018 itu sendiri. Sudah jelas bahwa tidak ada lagi dasar hukum Lockdown yang ada hanyalah Sosial Distancing Skala Besar.

Adapun Kepres No. 11/2020 dan PP No. 21/2020 ditetapkan sebagai dasar pemberlakuan pembatasan interaksi wilayah yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kepres No. 11/2020 menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarkat, yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepres ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan penyebaran Covid-19 yang luar biasa dengan meningkatnya jumlah kasus dan/atau jumlah kematian serta berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanaan, serta masyarakat di Indonesia.

Semua kebijakan di daerah harus sesuai dengan peraturan serta berada dalam koridor undang-undang dan PP serta Keppres tersebut. Polri juga dapat mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang terukur dan sesuai undang-undang agar PSBB dapat berlaku secara efektif dan mencapai tujuan mencegah meluasnya wabah.

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diajukan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Kesehatan dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dapat menetapkan wilayah tersebut untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga dapat mengusulkan kepada menteri Kesehatan untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu dan apabila usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kesehatan maka kepala daerah wilayah dimaksud wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Selanjutnya, ketentuan tentang PSBB diatur lebih rinci melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kegiatan apa saja yang diperbolehkan dibatasi hingga dikecualikan dalam PSBB diatur dalam KepmenKes ini.

Akibat Hukum Dari PSBB DKI Jakarta Yang Berakhir Tanggal 22 November 2020

Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia --Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi kembali diperpanjang di Jakarta oleh Gubernur Anies Baswedan. Sejumlah alasan jadi pertimbangan Anies memperpanjang PSBB transisi di Jakarta demi mengantisipasi penularan virus corona (Covid-19) di libur panjang akhir Oktober 2020. Anies  memutuskan PSBB Transisi Jakarta diperpanjang terhitung dari 26 Oktober sampai 8 November 2020. Anies mengatakan Pemprov DKI Jakarta dapat menerapkan kembali kebijakan Rem Darurat (Emergency Brake) jika kondisi makin mengkhawatirkan. 

Oleh karena pertimbangan epidemologis, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi mulai tanggal 9 sampai 22 November 2020. Namun, bila kasus terus terkendali, PSBB transisi masih akan tetap dilanjutkan dari 23 November sampai 6 Desember 2020. Hal ini sebagai langkah antisipasi terhadap lonjakan kasus COVID-19. Perpanjangan PSBB Masa Transisi ini berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1100 Tahun 2020 tentang PSBB transisi di DKI.

Berdasar fakta adanya perpanjangan PSBB Transisi di DKI, hal ini berarti pada saat Habib Rizieq Syihab kembali pulang ke Jakarta pada tanggal 10 Nopember 2020, DKI Jakarta sedang menerapkan PSBB. Demikian pula atas pelaksanaan kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pernikahan Putri HRS masih termasuk lagi dalam masa penerapan PSBB perpanjangan. Artinya ketika di suatu wilayah sedang diterapkan PSBB maka dengan segala konsekuensinya Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 dapat diterapkan, atau dengan kata lain Anies dan HRS atau pihak terkait lainnya dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 93 UU KK ini. Pidana itu bisa berupa pidana penjara dan atau pidana denda.

Aparat penegak hukum seperti polisi memang bisa masuk bila pemerintah menjalankan karantina wilayah atau PSBB sebagaimana yang ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Sekali lagi dengan catatan suatu daerah (propinsi, kabupaten, kota) telah dan masih menerapkan kegiatan kekarantinaan kesehatan khususnya karantina wilayah dan PSBB. Jika suatu daerah tidak melakukan kegiatan kekarantinaan kesehatan, maka polisi tidak dapat masuk untuk menerapkan Pasal 93 UU KK. Terhadap adanya pelanggaran prokes pun demikian. Pidana denda atau pun pidana penjara hanya dapat diterapkan ketika suatu daerah tengah diterapkan tindakan kekarantinaan kesehatan dengan dilengkapi telah adanya peraturan pelaksanaannnya, yakni adanya PP, Keppres, Kepmenkes, dan peraturan daerah misalnya Pergub dan Perda. DKI Jakarta telah lengkap memiliki Perda Pelaksanaan PSBB dan Pergub (33/2020) tentang Pelaksanaan PSBB Dalam Penanganan Covid 19 di DKI Jakarta.

Pelanggaran Prokes Masif, Penindakan Permisif

Bicara tentang pelanggaran prokes pandemi covid 19, pada tanggal 17 Nopember 2020 JawaPos.com memberitakan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menindak sedikitnya 398 kegiatan tatap muka atau pertemuan terbatas yang melanggar protokol  kesehatan Covid-19 selama 10 hari kelima  kampanye. Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin mengatakan tindakan itu terdiri dari 381 penerbitan surat peringatan dan 17 pembubaran kegiatan kampanye. Dengan demikian selama 50 hari tahapan kampanye Bawaslu menertibkan 1.1448 kegiatan kampanye tatap muka yang melanggar protokol kesehatan (prokes). Apakah semua akan dipenjarakan dan atau didenda?

Sebelumnya, pasangan bakal cawali dan cawawali Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa  pada saat mendaftar membawa massa dalam jumlah banyak sehingga terjadi kerumunan di kator KPU. Hal itu melanggar aturan protokol kesehatan COVID-19 yang telah ditetapkan pemerintah. (6/9/2020).

Masih di Jawa Tengah, ada berita pula bahwa sebanyak 9.999 anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Banyumas melakukan longmars ditengah guyuran hujan deras dengan membentangkan bendera merah putih sepanjang 1.000 meter atau satu kilometer. Kegiatan itu dilakukan pada Minggu (15/11/2020). Kegiatan bertajuk Parade Merah Putih digelar dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. Dikutip dari law-justice.co - acara Kliwonan Habib Luthfi bin Yahya atau Wantimpres Jokowi di Pekalongan, 16 Oktober 2020 lalu, dihadiri ribuan orang. Tak terlihat jaga jarak dan pakai masker dalam acara itu.

Video ini diunggah di You Tube oleh akun MT Darul Hasyimi Jogja. Video ini berdurasi 2 jam 36 menit. Video ini dibuatkan judul Kliwonan 16 Oktober 2020. Selain peristiwa peristiwa di atas, serangkaian kejadian yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan juga terjadi diberbagai daerah di Indonesia beberapa di antaranya terekam dalam beberapa link pemberitaan. Apakah pelanggaran prokes ini dapat dipidana? Apakah pelanggaran-pelanggaran itu berujung pada pengenaan sanksi pidana denda, pidana penjara hingga pencopotan sesuatu jabatan? Ternyata setelah kita amati, pelanggaran masif itu tidak semua diikuti dengan sanksi rigid, melainkan seolah tindakannya permisif. Mengapa? Karena prokes tidak dijalankan dalam kerangka PSBB sebagaimana diatur oleh UU Kekarantinaan Kesehatan.

Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Policy of non enforcement of Law): Mungkinkah dilakukan?

Betul memang kata Cicero bahwa salus populi suprema lex esto atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, penerapan adagium ini tidak serta merta membolehkan penguasa untuk bertindak sewenang-wenang dengan dalil dan dalih demi keselamatan rakyat. Mindset due process of law harus tetap dipegang agar pelaksanaan tugas dan kewajiban beban penguasa tidak kontraproduktif dengan tujuan utama hukum itu dibentuk dan ditegakkan.

Demikian pula penerapan pasal pidana dalam suatu UU harus pula ditelisik lebih dahulu persyaratan pokok untuk dapat diterapkan. Misalnya UU ini mengatur tentang tindak lanjut pasal tertentu dengan pengaturan lebih lanjut dengan jenis peraturan yang lebih rendah. Misalnya diperlukan PP, Keppres dan Peraturan Menteri terkait. 

Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat diterapkan ketika suatu daerah menjalankan kegiatan kekarantinaan kesehatan, misalnya karantina wilayah atau pun PSBB. Ketentuan PSBB oleh UU diamanatkan untuk diatur dengan Keputusan Menteri yang terkait dengan kesehatan. Untuk ada Kepmen (9/2020), berarti secara logikan hukum harus ada PP (21/2020) dan Keputusan Presiden (Keppres) (11/2020). Lengkap sudah ketentuan pelaksanaan PSBB di Pemda DKI yakni telah disahkan Perda dan Pergub DKI. Dengan demikian secara formal, penerapan Pasal 93 UU KK telah dapat dipertanggungjawabkan.

Kembali ke persoalan utama bahwa penerapan Pasal 93 UU KK tidak dapat dilakukan ketika suatu daerah tidak sedang menerapkan tindakan kekarantinaan kesehatan khususnya karantina wilayah atau PSBB. Sebaliknya, ketika suatu daerah menerapkan tindakan kekarantinaan kesehatan, misalnya berupa PSBB, maka Pasal 93 UU KK dapat diterapkan. Sebagai mana diketahui peristiwa penjemputan HRS (tanggal 10 Nopember) dan pernikahan putrinya serta kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW (tanggal 12 Nopember) dilaksanakan setelah berakhirnya masa PSBB Transisi DKI yakni dari tanggal 28 Oktober hingga 8 Nopember 2020, namun masih tetap dalam masa PSBB karena telah terjadi perpanjangan PSBB oleh Gubernur DKI dari tanggal 9 sampai dengan 22 Nopember 2020. 

Jadi akibat hukumnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat diterapkan untuk Gubernur Anies maupun HRS atau pihak-pihak lain yang terlibat. Untuk kasus HRS, saya kira sudah clear ketika HRS sudah diberikan sanksi pidana berupa denda 50 juta rupiah dan tidak boleh dipersoalkan lagi di depan hukum karena akan terjadi nebis in idem bahkan double punishment dan hal ini berarti berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ada pun untuk kasus Gubernur Anies, perlu penelaahan lebih lanjut karena Anies termasuk Pihak yang bertugas melakukan Pembinaan dan Pengawasan PSBB di DKI Jakarta. Tentu harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Bahkan menurut hemat saya, tidak semua pelanggaran hukum harus dipidana karena adanya dalil hukum: "Policy of non enforcement of law" (Chambliss-Seidman).

Jika Anies dipidana, maka Menkopolhukam pun harus pula mempertanggungjawabkan pernyataannya yang mengizinkan para pendukung HRS untuk menjemput kepulangannya di Bandara Soekarno Hatta sementara Menkopolhukam dipastikan telah mengetahui risiko adanya kerumunan yang berpotensi adanya pelanggaran protokol kesehatan covid 19 padahal DKI sedang menerapkan PSBB.

Penutup

Penegakan hukum biasa sering terbelenggu dengan mantra-mantra sakti positivisme hukum yang mengandalkan rule and logic dengan alasan karena kita mengkiblat pada hukum Eropa Kontinental yang beraroma civil law system. Benarkah? Apakah dengan kultur hukum Pancasila itu kita tidak punya cara tersendiri, cara Indonesia dalam penegakan hukum? Bukankah telah terjadi ingsutan paradigma penegakan hukum dari yang mengutamakan kepastian hukum (rule and logic) kepada kepastian hukum yang adil? Kita lihat UUD 1945 juga UU Kekuasaan Kehakiman dan juga Rancangan KUHP kita yang mengutamakan nilai keadilan di samping nilai kepastian (rule and logic). Ini adalah langkah progresif! Pertanyaannya adalah: Cukupkah di tataran ide dan di atas kertas? Bukan! Harus diimplementasikan. Nah, di sini perlu legal culture baik Internal Legal Culture maupun External Legal Culture. Jadi, polisi pun harus berani menegakkan hukum secara progresif.

Di sisi lain, Gustav Radbruch dengan Triadism (justice, certainty and expediency (utility)) juga mengatakan: "where statutory law is incompatible with justice requairment, statutory law must be disregarded by a judge..". Oleh karena itu hukum mestinya mengutamakan pencarian keadilan bukan terlalu sibuk dengan kepastiannya yang justru dapat menghadirkan ketidakadilan. Hukum yang tidak adil itu bukan hukum (lex injusta non est lex: Thomas Aquinas). Jadi, apakah Pasal 93 UU KK harus diterapkan untuk Anies dan pihak terkait lainnya? Tidak merupakan sebuah keharusan. Lihat konteks, manfaat dan mudharatnya. Itu hukum yang adil. Tabik.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Semarang, Kamis: 19 Nopember 2020

Posting Komentar

0 Komentar