Macronisme, Genderang Usang Fobia Islam


“Macron memimpin islamophobia.” Demikian tutur Akramul Haq, seorang pengunjuk rasa saat berdemonstrasi mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron di Dhaka, Bangladesh. Ia mengungkapkan bahwa Macron tidak tahu kekuatan Islam. Dunia muslim tidak akan membiarkan ini sia-sia. Umat akan bangkit dan berdiri dalam solidaritas menentangnya  (bekasi.pikiran-rakyat.com, 31/10/2020).

Pendapat senada datang dari wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia K.H. Muhyiddin Junaidi. Ia menilai, tindakan Macron membuat fobia Islam tumbuh subur.  Ya, pernyataan Macron tidak akan mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Saw. berdalih kebebasan berekspresi adalah wujud fobia Islam. 

Sebagaimana penguasa Amerika Serikat (AS). Macron pun sangat keras menabuh genderang fobia Islam. Sebelumnya, Marcon mengusulkan untuk mereformasi Islam. Ia juga menutup Collective Against Islamophobia in France (CCIF), sebuah LSM yang melacak kejahatan kebencian anti muslim di Prancis. 

Tak hanya kasus ini. Dalam beberapa hari terakhir, fobia Islam telah melonjak di masyarakat Prancis. Dari menteri dalam negeri yang menuduh makanan halal di supermarket mendorong separatisme, penggunaan  istilah yang merendahkan ‘islamo-gauchiste’ (Islamo-kiri) oleh lingkungan tertinggi pengambil kebijakan di Prancis untuk membungkam suara oposisi, hingga penyerang yang menikam dua wanita muslim berkerudung di dekat Menara Eiffel. 

Lantas, mengapa fobia Islam ala Macronisme tumbuh subur di Prancis? 


Fobia Islam, Genderang Perang Usang 

Beberapa pengamat politik menilai, stigmatisasi terhadap minoritas muslim yang dilakukan Macron tak lebih sebagai taktik pengalihan atas kegagalan kepemimpinan Macron. Pemerintah Prancis dinilai buruk dalam menangani pandemi Covid-19, kebijakan ekonomi yang membawa resesi dan goyahnya jaminan sosial Prancis demi agenda neoliberal. Dengan kondisi ini, Macron menjadi presiden yang tidak populer. 

Demi meraih popularitas dan simpati, genderang islamofobia kembali ditabuhnya. Strategi ini terdiri dari memperkuat ad nauseam wacana fobia Islam yang menciptakan kesan bahwa Prancis beresiko kehilangan identitas dan masa depannya karena dugaan kekuatan Islam.

Pembunuhan Samuel Paty, guru sejarah yang mengajar dengan media kartun Nabi Muhammad Saw. memberi Macron kesempatan sempurna menggunakan strategi ini. Ia menyatakan, Samuel dibunuh karena para islamis menginginkan masa depan Prancis. Macron memilih untuk menggandakan wacana anti Islam. 

Ulah Marcon memusuhi Islam tentu tak lepas dari sejarah panjang Prancis yang berurusan dengan umat Islam. Prancis merupakan salah satu negara Eropa imperialis dengan teritori jajahan mayoritas negara muslim. Pada Perang Dunia ke-1, Prancis merupakan bagian blok sekutu (Amerika Serikat, Rusia, Italia, Britania Raya, dll.) yang berhasil memukul mundur blok sentral. 

Blok sentral merupakan imperium besar yang pernah menguasai 2/3 dunia yaitu Kekhalifahan Utsmaniyah yang mulai sakit, dibantu oleh Jerman, Austria, Hungaria, Bulgaria, dll. Kekalahan Utsmani dalam Perang Dunia ke-1 mengakibatkan wilayah Timur Tengah dikuasai oleh dua kekuatan besar  yaitu Britania Raya dan Prancis. 

Tidak diragukan lagi. Eropa termasuk Prancis adalah bagian dari abad renaissance pada abad pertengahan di Eropa. Sebuah masa yang menjadi tonggak kebangkitan Eropa dan peralihan dari abad kelam yang pernah mereka jalani. Pandangan lain mengemukakan bahwa kebangkitan Eropa tak bisa dipisahkan dari adanya jalan tengah yang kemudian dikenal sebagai sekularisme. 

Sekularisme merupakan paham (ide) pemisahan agama dari kehidupan atau negara. Aturan agama tidak boleh digunakan untuk mengatur kehidupan umum di tengah masyarakat. Ia menjadi induk lahirnya ide lain seperti liberalisme. Ide ini tumbuh subur dalam alam demokrasi yang memfasilitasi kebebasan. Tak hanya individu, negara meski menjunjung tinggi kebebasan ini. 

Inilah akar masalah dalam sejarah panjang penistaan terhadap Islam. Termasuk yang dilakukan oleh Majalah Charlie Hebdo di Prancis. Pun bisa dipahami jika Marcon meneruskan jejak pendahulunya dalam memusuhi Islam. Berdalih menjamin kebebasan berekspresi, Marcon sesumbar tak akan mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad Saw. 

Kini, genderang perang pemikiran melalui  Fobia Islam terus ditabuh oleh Prancis, juga negara barat lainnya.  Apa yang harus dilakukan umat Islam dalam menghadapinya?


Setop Fobia Islam

Sebagaimana Fir’aun, kini musuh-musuh Islam menjual ketakutan kepada masyarakat dunia akan bahaya Islam yang mereka sebut sebagai radikalisme Islam. Berbagai strategi direkayasa  untuk menghadang laju kebangkitan umat Islam yang kian kencang. 

Dari sinilah muncul istilah fobia Islam, yakni kelainan psikologi masyarakat dunia terhadap Islam. Mereka mengalami halusinasi, ketakutan yang berlebihan kepada Islam yang sejatinya agama paling damai di dunia. Psikoabnormal fobia Islam adalah kebodohan akut masyarakat modern yang katanya rasional.

Menghadapi permusuhan ini, umat Islam tentu tidak boleh berdiam diri. Terlebih penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw, kekasih Allah Swt. nan mulia dan dimuliakan. Begitu tercelanya perbuatan ini, sehingga ulama bersepakat sanksi bagi penghina Nabi adalah dihukum mati. 

Namun, hal ini tidak bisa dilakukan karena belum ada hukum dan sistem Islam yang menerapkannya.  Inilah mengapa penistaan agama Islam terus berlangsung. Penghinaan terhadap Nabi Saw berulang terjadi. Tersebab tidak ada institusi khilafah islamiyah, sang pelindung umat. Ketiadaannya telah membawa keburukan, juga kehinaan bagi kaum muslimin. 

Oleh karena itu, kaum muslimin tak cukup mengecam, menggelar demo protes, atau memboikot produk mereka. Umat Islam wajib mengembalikan kemuliaan dan kehormatannya dengan berupaya sekuat tenaga mengembalikan penjaga dan pelindungnya, yaitu institusi khilafah islamiyah. 

Bandingkan saat dulu khilafah masih ada. Sultan Abdul Hamid II, penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah pernah marah besar dengan tindakan pemerintah Prancis yang akan menggelar teater menampilkan tikoh utama Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, orang Prancis menghentikan pertunjukan tersebut berkat ultimatum Sultan Hamid II.

Maka, sebuah kesalahan besar jika ada orang yang mengaku cinta Nabi Saw. namun mendiamkan para pelaku pelecehan. Bahkan sembari mengolok-olok muslim lain yang berusaha mewujudkan solusi tuntas yaitu menghadirkan khalifah yang akan menjadi junnah (perisai) bagi umat Islam. 

Khalifah dan khilafah akan menjaga kemuliaan dan kehormatan Al Qur’an, Islam, Rasulullah Saw. dan umat Islam. Semoga khilafah ‘ala minhajin nubuwah tak lama lagi hadir di muka bumi. Dan kita termasuk orang-orang yang istiqomah dalam menolong tegaknya agama Allah Swt.[]


Oleh: Puspita Satyawati* dan Ika Mawarningtyas**
*Analis Politik dan Media, Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo
**Analis Muslimah Voice, Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar