Ilusi Pelarangan Minol Melalui Legislasi Demokrasi




Rancangan Undang-undang atau RUU Larangan Minuman Beralkohol tengah menuai sorotan. Sebab, beleid ini tak hanya melarang orang memproduksi dan menjual, tapi juga minum minuman beralkohol. Bagi yang melanggar, akan dikenai hukuman pidana penjara atau denda.

Anggota Komisi X DPR Illiza Sa'aduddin Djamal menyebutkan RUU ini adalah usulan dari 18 anggota PPP, 2 dari PKS dan 1 dari Gerindra. Tujuan beleid ini untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif dari para peminum minuman beralkohol.

"Menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol,” kata politikus PPP yang jadi salah satu pengusul ini dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR, Selasa, 10 November 2020.(tempo.co 13/11/2020)
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonnesia (PGI) Gomar Gultom angkat suara berkaitan dengan wacana 
Pendekatan undang-undang ini menurut Gultom sangat infantil alias segala sesuatu dilarang. Padahal, kata dia, negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol untuk dikonsumsi dan beredar luas di masyarakat.

"Saya melihat pendekatan dalam RUU LMB (RUU Minol) ini sangat infantil, apa-apa dan sedikit-sedikit dilarang. Kapan kita mau dewasa dan bertanggung-jawab?" kata Gultom melalui pesan singkat. (Cnnindonesia.com 13/11/2020)
Di sisi lain, data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp7,3 triliun tahun lalu.

Asosiasi importir minuman beralkohol mengatakan khawatir jika disahkan, aturan itu akan membunuh sektor pariwisata.(bbc.com 13/11/2020)

RUU larangan minol menuai kontroversi. Tidak semua pihak menyetujuinya . Pada pihak yang mengusulkan RUU pelarangan minol bermaksud melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul karena minuman beralkohol. Banyak tindakan kriminal dilatarbelakangi minuman beralkohol. 

Di sisi lain, para penentang RUU ini berargumen sebaliknya. Menurut mereka, tidak ada korelasi minuman beralkohol dengan tindak kriminal. RUU ini juga dianggap mengancam sejumlah sektor yang berhubungan dengan sejumlah kepentingan bisnis seperti industri minuman keras, pariwisata dan perhotelan.

Ini menunjukkan standarisasi yang berbeda-beda dalam proses legislasi akibat sistem demokrasi yang berasas pada kebebasan dan pemisahan agama dari kehidupan yang dianut negeri ini. 
Standart proses legislasi hukum dalam sistem demokrasipun menjelaskan kemustahilan lahirnya aturan berdasar syariat, sebab dalam demokrasi standart perbuatan manusia dalam penyusunan undang-undang bukan halal haram tetapi untung dan rugi. Tak ayal usulan legislasi pelarangan minol mendapat tentangan berbagai pihak dan dianggap menyalahi prinsip dasar legislasi ala demokrasi. 
Berbeda dengan islam, proses legislasi pembuat aturan hukum dalam islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber yang pasti kebenarannya yang berasal dari Allah SWT. Sehingga konflik dan polemik berkepanjangan tanpa akhir mustahil muncul dari sistem yang mulia ini. 

Apalagi dalam hal yang sudah jelas dalil dan hukumnya, termasuk dalam perkara minuman beralkohol. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari salat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). (TQS. Al-Maidah [5]: 91).

Larangan meminum khamr dan setiap yang memabukkan juga terdapat dalam hadis, “Dan setiap khamr haram dan setiap yang memabukkan adalah haram.” (HR. Muslim).

Syariah Islam juga mengharamkan sepuluh aktivitas yang berkaitan dengan khamr. Rasulullah saw. telah melaknat tentang khamr sepuluh golongan: 1. pemerasnya; 2. yang minta diperaskan; 3. peminumnya; 4. pengantarnya, 5. yang minta diantarkan khamr; 6. penuangnya; 7. penjualnya; 8.yang menikmati harganya; 9. pembelinya; 10. yang minta dibelikan (HR at-Tirmidzi).

Pengharaman khamr dan segala jenisnya adalah bagian dari kemuliaan syariah islam yang memberikan perlindungan pada akal dan mencegah berbagai tindak kejahatan . Buah manis dari diterapkannya aturan islam.

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita menjadikan halal haram sebagai standart perbuatan dalam pembuatan hukum bukan mempertimbangkan untung dan rugi.

Sungguh ironis jika hukum Allah SWT yang semestinya diterima dengan penuh keimanan malah ditimbang dengan hawa nafsu manusia. Diperhitungkan apakah akan merugikan ataukah tidak. Padahal Allah SWT telah berjanji akan menolong hamba-hambaNya yang senantiasa taat berpegang pada syariat islam. 

Hanya dalam naungan Islam dalam bingkai khilafah seluruh aturan berdasarkan syariat bisa diterapkan secara kafah tanpa terkecuali sehingga membawa rahmat bagi seluruh alam. “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian.” (TQS. Al-Isra [17]: 82). Wallahu’alam.[]

Oleh: Nurul Afifah

Posting Komentar

0 Komentar