Pengaruh Turki Utsmani Terhadap Perkembangan Islam di Nusantara


Islam dan nusantara ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pengaruh keberadaan daulah Islam terhadap kehidupan politik nusantara sudah terasa sejak awal berdirinya. Keberhasilan Islam dalam penaklukan (futuhat) terhadap kerajaan Persia dan sebagian besar wilayah Romawi Timur (Mesir, Syria, Suriah, Palestina) pada abad ke-17 Masehi, membawa daulah yang berada di bawah pemimpinan Khalifah Umar bin Khatab menjadi superpower dunia.

Khilafah Islamiyah merupakan kepemimpinan umum bagi kaum muslim, yang menerapkan ajaran Islam secara sempurna. Kepala negara (khalifah) pertama adalah rasulullah Saw. di lanjutkan khulafaur rasyidin, di teruskan oleh para khalifah masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah.

Hubungan Kesultanan Islam Nusantara dengan Khilafah Islamiyyah

Thomas Arnold dalam The peaching of Islam menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke nusantara bukan sebagai penakluk untuk menguasai seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol, tetapi dengan jalan damai. Tidak dengan pedang, tidak merebut kekuasaan politik, tetapi benar-benar menunjukan sebagai rahmatan lil alamin. Hal ini menyebabkan Islam mudah diterima oleh masyarakat.

Pengakuan terhadap kebesaran khalifah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya, Sri Indravarman  kepada khalifah  masa Bani Ummayah. Surat pertama dikirimkan kepada Muawiyyah dan surat kedua dikirimkan kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan Abu Ya’yub ats- Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi.
Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceritakan pendahuluan surat sebagai berikut  “Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah…”

Surat kedua dikutip oleh Ibnu Tighribirdi dalam karyanya Nujum azh-Zhahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah, “Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya saudara anda dalam Islam.”  Namun demikian belum ada indikasi bahwa Sang Maharaja sudah mualaf karena sumber dari China menyebutnya Shih-li-t-o-pa-mo (non muslim). Surat yang dikirimkan Srimaharaja bertujuan untuk memohon dikirimkan dai yang bisa mengajarkan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian beliau masuk Islam, Sriwijaya akhirnya di kenal dengan nama Sribuza Islam ( Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 2005,  hal 6).

Islam semakin mengokohkan diri menjadi institusi politik. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kesultanan Islam pertama di Peurlak, disusul dengan Tidore, Bacan, Gowa dan Tallo, Demak, dan lain sebagainya. Setelah Islam berkembang menjadi institusi di nusantara, maka hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini tampak dalam bidang peradilan, dimana hukum adat digantikan dengan hukum Islam yang ditetapkan sebagai hukum negara, di kerajaan aceh tekenal dengan istilah “Kitab Adat Mahkota Alam.”
Dalam bidang ekonomi,  Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan tentang keharaman riba. Deureuham (dirham) merupakan mata uang Aceh yang pertama.

Kehadiran Islam di nusantara ternyata juga membawa spirit terhadap masyarakat di nusantara agar terbebas dari penghambaan kepada selain Allah.  Di sisi lain, Islam juga  membangkitkan spirit masyarakat di nusantara untuk melawan penjajahan Asing (Portugis dan Spanyol). Daulah Utsmani mengirimkan armada ke Malaka untuk mengusir bangsa Portugis yang menduduki wilayah itu.

Spirit ini terbawa hingga menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ruh Islam tetap bergolak, mereka terus berupaya untuk menerapkan Islam dalam sebuah institusi. Namun ternyata harus mengalah ketika tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapuskan dengan alasan untuk menjaga perasaan non muslim yang ikut berjuang supaya tidak melepaskan diri.

Jejak penerapan syariah Islam di nusantara  semakin membuktikan bahwa Islam sebagai sistem hidup yang paripurna pernah diterapkan secara nyata dan tercatat dalam sejarah. Umat Islam di nusantara tidak bisa dipisahkan dengan umat Islam dibelahan dunia lain, karena mereka disatukan oleh satu institusi yang mampu menaungi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam bish shawwab.[]

Oleh: Nasira Mumtaza

Posting Komentar

0 Komentar