Sengkarut POP Mendikbud: Cermin Kebijakan Pendidikan Kapitalis dan Tidak Populis



Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tengah menjadi sorotan lantaran polemik pelaksanaan Program Organisasi Penggerak (POP).  POP merupakan program pemberdayaan masyarakat secara masif melalui dukungan pemerintah untuk peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.

POP Kemendikbud ini diketahui memakan biaya APBN senilai Rp 595 miliar. Ormas yang lolos seleksi akan diberi dana yang besarnya dibagi kategori. Kategori Gajah diberi dana hingga Rp 20 miliar, Kategori Macan dengan dana hingga Rp 5 miliar dan Kategori Kijang dengan dana hingga Rp 1 miliar. 

Polemik memuncak saat Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), memutuskan keluar dari POP. Muhammadiyah dan NU mundur karena tolok ukur seleksi penerima hibah tidak jelas. Sedangkan PGRI mundur dengan alasan Kemendibud harusnya lebih memperhatikan ormas berbasis pendiidikan.

Terlebih lagi, Kemendikbud justru mengalokasikan anggaran pendidikannya dengan kategori Gajah kepada Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation. Dua entitas ini masuk dalam kategori besar dari 156 ormas yang lolos POP. Padahal dua lembaga itu masuk dalam kategori tanggung jawab sosial perusahaan atau dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Sampoerna Foundation adalah lembaga CSR yang bernaung di bawah perusahaan raksasa Sampoerna milik Putra Sampoerna, yang tercatat sebagai orang terkaya ke-13 di Indonesia.

Sedangkan Tanoto Foundation adalah lembaga filantropi yang bernaung di bawah perusahaan raksasa Royal Golden Eagle yang memiliki bisnis sawit, energi dan kertas. Royal Golden Eagle dikuasai konglomerat Sukanto Tanoto yang juga termasuk jajaran orang terkaya di Indonesia. DPR bahkan mempertanyakan maksud pemerintah mengikutsertakan kedua lembaga dari perusahaan raksasa tersebut dalam menerima anggaran negara.

Dilansir oleh Kompas.com, Selasa (28/7/2020), Nadiem meminta maaf kepada tiga organisasi tersebut dan mengajak kembali bergabung ke dalam POP. Ia pun berjanji akan melakukan evaluasi. Namun demikian, ketiganya kekeuh tidak bersedia untuk kembali bergabung. 

Meskipun Nadiem juga menyatakan bahwa Putera Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation dipastikan akan menggunakan skema pembiayaan mandiri untuk mendukung POP, namun kebijakan ini telah menjadi preseden buruk bagi pengelolaan pendidikan di negeri ini. Aroma keberpihakan pada korporat menyengat. Sejatinya, arah pendidikan di negeri ini berpihak ke siapa, masyarakat atau konglomerat?


Sengkarut Kebijakan POP, Tak Bijak dan Tak Populis

POP dibuat oleh Mendikbud, salah satunya, merujuk hasil survei global yang menyebut skor pelajar Indonesia di bidang literasi dan sains di bawah rata-rata negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Dalam penelitian bertajuk Programme for International Student Assesment tahun 2019, pelajar Indonesia menempati peringkat ke-74 dari total 79 negara yang dikaji.

Namun, kritik terhadap POP datang dari berbagai kalangan. Pengamat sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai sengkarut POP menambah daftar kekacauan kebijakan Kemendikbud yang digawangi Nadiem Makarim. Ubedillah mengkritisi bahwa organisasi CSR perusahaan besar mestinya membantu negara membenahi dunia pendidikan dengan biaya mandiri bukan menggunakan uang negara. 

Beliau menilai kekacauan kebijakan Nadiem tak hanya dalam POP, juga terjadi di program Merdeka Belajar. Menurutnya, slogan itu hanya gagah di istilah tetapi keropos di substansi, sehingga berdampak pada gangguan di sekolah sampai perguruan tinggi. Mulai dari kebijakan turunan yang sangat instrumental dan teknis yaitu soal konsep ujian kompetensi dan karakter, penyederhanaan RPP, hingga soal zonasi sekolah.

Terkait POP, kritik sangat tajam berasal dari Prof. Din Syamsudin. Menurut beliau, POP adalah kebijakan yang tidak bijak dan tidak populis (merakyat). Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan kemudian PGRI dari program tersebut menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar. Hal ini menunjukkan bahwa Mendikbud tidak memiliki pengetahuan memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia dan peran ormas khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional.

Din menegaskan, Muhammadiyah dan NU, khususnya, adalah pelopor pendidikan di Indonesia. Mereka bersama yang lain adalah stakeholders sejati pendidikan nasional. Sementara  foundation seperti Sampurna atau Tanoto hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa (dibandingkan dengan keuntungan yang mereka raup) dari tanah dan air Indonesia. Jadi kalau mereka yang dimenangkan atau dilibatkan dalam POP sungguh merupakan ironi sekaligus tragedi.

Atas berbagai tudingan itu, Kemendikbud menyatakan telah menggelar seleksi penerima dana hibah secara transparan. Dalam proses penyaringan, penyeleksi diklaim tak bisa melihat organisasi yang membuat proposal. Juru bicara Kemendikbud, Evy Mulyani, menyebut bahwa program ini dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas dan independensi yang fokus kepada substansi proposal organisasi masyarakat.

Mendikbud juga telah meminta maaf dan mengajak Muhammadiyah, NU dan PGRI untuk kembali bergabung sembari memastikan bahwa Putera Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation akan menggunakan skema pembiayaan mandiri untuk mendukung POP. Meskipun ketiganya mengapresiasi pernyataan maaf tersebut, namun mereka menolak kembali. 

Ketua LP Ma’arif NU menegaskan lembaganya tidak akan kembali bergabung dalam POP dengan dua alasan. Pertama, Nadiem belum menghapus nama Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation dalam program tersebut. Kedua, NU tidak dimasukkan dalam daftar penerima. Beliau mempertanyakan mengapa ormas semacam Muslimat Nu, Aisyiyah, Pergunu dan FGIM tidak dimasukkan daftar padahal menjalankan program penggerak dengan dana sendiri.

Adapun wakil ketua Bidang Kerjasama Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah mengatakan Muhammadiyah tetap berkomitmen untuk tidak ikut. Beliau meragukan pernyataan Nadiem bahwa bagi organisasi penggerak yang sudah diputuskan, dinyatakan lulus dalam pemberitahuan hasil evaluasi proposal. 

Ketua Pengurus Besar PGRI juga memastikan telah berkomitmen tak akan bergabung dalam POP di 2020. Alasannya, POP tidak sense of crisis dan waktunya kurang tepat. Menurut beliau kita sedang susah. Orang tua susah mendapatkan pulsa, alat jaringan untuk belajar siswa, tetapi tiba-tiba kementerian ada kebijakan yang spektakuler (POP).

Sehingga andai tak ada pelibatan foundation milik korporasi dalam POP sekalipun, program ini sebaiknya dihentikan. Lebih baik Kemendikbud memprioritaskan dan bekerja keras nan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa akibat pandemi Covid-19 yang menurut seorang pakar pendidikan, menimbulkan the potential loss bahkan generation loss (hilangnya potensi dan hilangnya generasi).

Sebagaimana di masa sebelum pandemi, di tengah derita Covid-19 ini pun pemerintah tidak terasa hadir melindungi dan melayani rakyat. Pemerintah tidak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan. Pemerintah tidak pernah berpikir, umpamanya, membebaskan kuota internet sehingga anak-anak bangsa bisa belajar dalam jaringan atau jarak jauh. Pemerintah juga sampai hari ini masih berencana memotong tunjangan guru yang akan dialihkan untuk dana penanganan Covid-19.

Anggaran yang diklaim untuk penanggulangan Covid-19 tidak dialokasikan untuk membantu anak-anak rakyat yang terpaksa belajar dari rumah dalam keterbatasan dan kekurangan. Kemendikbud "memaksakan" belajar daring atau jarak jauh tapi tidak menyiapkan infrastruktur untuk itu.

Ya, secara insitutisional, dunia pendidikan Indonesia masih membutuhkan banyak pengembangan sarana dan prasarana; seperti renovasi sekolah, penyediaan peralatan penunjang kegiatan belajar mengajar seperti alat peraga, komputer, jaringan internet, dsb. Bahkan Indonesia masih kekurangan tenaga pengajar dan tidak merata. Menurut PGRI, masih dibutuhkan 1,1 juta guru di seluruh Indonesia. Di sisi lain, guru honorer pun masih menanti pengangkatan dan perlu disejahterakan.

Jadi, sejatinya arah pendidikan di negeri ini berpihak pada siapa? Dunia pendidikan dan masyarakat, atau konglomerat?


Wajah Politik Pendidikan Bernuansa Kapitalis

Ketidakhadiran dan ketidakefektifan para pengelola negara bekerja serius dengan sense of crisis dalam situasi krisis, khususnya dalam bidang pendidikan, tak bisa dilepaskan dari pembahasan perpolitikan yang terjadi di negara ini. Sebab, arah politik negeri akan memberikan pengaruh besar pada semua bidang kehidupan. Maka, di sinilah letak permasalahan utama yang kiranya luput dari penglihatan mayoritas orang.

Sudah menjadi rahasia umum jika Rezim Jokowi jilid dua kian meneguhkan peran kaum oligark, khususnya para kapitalis, baik korporat maupun investor. Jadilah reinventing government (mewirausahakan pemerintah). Kebijakan demi kebijakan yang dihasilkan pun mencerminkan hal demikian. 

Diangkatnya Nadiem Makarim tentu bukan dalam rangka mencetak generasi sholih, berakhlakul karimah, apalagi insan kamil. Padahal UU No. 20 Tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional di antaranya adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dst. Bak jauh panggang dari api, terjadi kesenjangan antara tujuan dengan kebijakan yang melandasi proses menuju teraihnya.

Dengan latar belakang pengusaha, ia diharapkan mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. “Wajar” apabila berbagai program pendidikan berbau liberalisasi dan arah pendidikan money oriented. Dari program pernikahan massal industri-vokasi, program Merdeka Belajar, hingga POP. Berbagai program disempurnakan dengan menggandeng swasta. Selain untuk mewujudkan penyempurnaan program SDM berkualitas ala korporasi, juga dalam rangka “menyejahterakan” kalangan tertentu. Yakni, lingkaran elite politik penguasa. 

Sebut saja program nikah massal ala Nadiem. Program yang mengawinkan antara SMK-industri dan kampus-industri ini diluncurkan karena dinilai penting agar sekolah/kampus bisa terkoneksi saling memperkuat diri. Kampus bertugas menyiapkan SDM yang dibutuhkan dunia usaha. Dan dunia usaha bertugas menyerap lulusan kampus.

Seolah program ini mulia dan memberdayakan. Namun di balik itu, beberapa pemerhati menganalisis program ini sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan. Tepatnya, sebagai upaya melahirkan pekerja (baca: buruh) terampil dan murah demi memenuhi kebutuhan para korporat dan investor, pemilik bisnis kakap di negeri ini.

Terlepas dari polemik dana hibah yang diperuntukkan kepada dua foundation besar di atas dan peluang penyelewengan anggaran, patut diperhatikan bahwa masalah ini berawal dari program untuk perbaikan kualitas guru dan kepala sekolah. Hal ini ditujukan agar sekolah mampu mencetak peserta didik dengan kualitas unggul. Tentu dibarengi dengan kebijakan Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim. 

Ada beberapa hal yang patut ditelaah demi mengurai sengkarut pendidikan negeri ini, khususnya kebijakan POP, yaitu:

Pertama, kualitas guru. Jika permasalahan di dunia pendidikan terletak pada kualitas guru dan kepala sekolah, bukankah sudah ada program berjalan dari Ikatan Guru Indonesia (IGI) untuk meningkatkan kualitas guru? Ada pula program sertifikasi guru, Uji Kompetensi Guru (UKG), dan program-program lain yang justru menyebabkan guru terbelenggu pada hal-hal yang sifatnya administrasi belaka. Sehingga berpotensi melalaikan tugas utama sebagai pendidik generasi. Dengan demikian, POP bukanlah program wajib demi mencetak generasi berkualitas.

Kedua, pendanaan program. Besarnya dana yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung program Mendikbud ini merupakan langkah kontraproduktif. Selain programnya tak tepat sasaran, dananya pun sangat besar. Apalagi ditambah masuknya yayasan yang merupakan bagian dari korporasi besar. Tentu menambah sengkarut politik pendidikan negeri ini.

Hal ini justru melegitimasi bahwa negara memiliki hubungan yang sangat erat dengan korporasi. Sehingga pemerintah merestui dana hibah yang bernilai besar kepada lingkaran oligarki. Lantas di mana letak peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan guru jika lagi-lagi hanya oligarki yang diuntungkan?

Ketiga, kebijakan bernuansa kapitalis. Sejatinya permasalahan POP bukan sekadar masalah program maupun pendanaan. Tetapi lebih kepada sistem politik pendidikan yang dikendarai oleh korporasi demi keuntungan korporasi. Adanya peluang korupsi pun nyatanya hanya efek sistemik dari sistem yang memang dasarnya rusak dan merusak.

Hal di atas diperparah dengan minimalisasi peran negara dalam pengelolaan urusan rakyat. Bahkan yang terkait pemenuhan hajat hidup orang banyak (termasuk dunia pendidikan), negara lebih mencukupkan dirinya sebagai regulator, bukan operator. Berdalih meningkatkan peran serta masyarakat, banyak implementasi kebijakan yang diserahkan pengelolaannya pada swasta. Sementara swasta tentu tak mau merugi. Apalagi jika dana sudah ditanamkan di sektor tersebut, tentu raihan keuntungan harus dicapai.  

Dengan demikian, arah kebijakan pendidikan di negeri ini tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang melingkupi yaitu kapitalisme sekuler. Dimana kepentingan kaum kapitalis menjadi prioritas. Bukan kepala sekolah, guru, apalagi peserta didik. Inilah pil pahit yang mesti ditelan oleh jelata, kaum yang mestinya dilayani di negeri yang katanya demokrasi menjadi harga mati. Tetapi, kenyataannya?


Strategi Politik Islam Wujudkan Tujuan Pendidikan Unggul dan Bertakwa

Rusaknya arah pendidikan saat ini menjadi bukti penerapan politik pendidikan bernapas kapitalisme sekuler. Sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas umat Islam, alangkah baiknya jika menengok kembali konsep pendidikan ala Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Pun telah diterapkan dalam sistem politik Islam selama lebih dari seribu tahun. Sebuah sistem yang terbukti melahirkan generasi cemerlang pemimpin peradaban. 

Sistem politik Islam (khilafah) sebagai sistem pemerintahan yang sahih akan menjamin pelaksanaan pendidikan sesuai Alquran dan Assunnah. Politik pendidikan dalam khilafah akan dijauhkan dari modus-modus kepentingan korporasi. Landasan politik pendidikan dalam khilafah adalah akidah Islam. 

Berikut ini strategi politik pendidikan dalam sistem Islam, yaitu: 

Pertama, arah pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam diarahkan untuk melahirkan generasi terbaik (Ali ‘Imran:110), saleh (Adz Dzariyat:56, Al A’raf:189), penyenang hati (Al Furqan:74), pemimpin orang-orang bertakwa (Al Furqan:74, Al Baqarah:30), serta cerdas (Ali ‘Imran:190).

Kedua, kurikulum pendidikan berlandaskan akidah Islam. Kurikulum merupakan ruh yang dirancang untuk mewujudkan output pendidikan sesuai yang diinginkan. Ketika yang diharapkan generasi emas, maka menanamkan akidah Islam sebagai dasar pemikiran adalah suatu kewajiban. Dari akidah Islam diharapkan lahir life skill yang mumpuni disertai pemahaman tsaqofah Islam untuk menjalankan misi hidup sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa.

Ketiga, tujuan pendidikan Islam ialah membentuk anak didik berkepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah) dan membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan anak-anak kaum muslimin menjadi ulama-ulama yang ahli di bidangnya, baik ilmu keislaman (ijtihad, fiqih, dan lain-lain) maupun ilmu terapan (kedokteran, teknik, kimia, dan lain-lain).

Keempat, strategi pendidikan Islam merujuk pada pencapaian tujuan pendidikan yaitu lulusan berkepribadian Islam. Seluruh materi pelajaran yang diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Hal ini dilakukan agar tertancap konsekuensi keimanan seorang Muslim. Dimana sebagai seorang muslim, dia memiliki keteguhan memegang identitas kemuslimannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, strategi penyelenggaraan pendidikan Islam mewajibkan negara untuk menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, dalam dua jenjang pendidikan, yaitu jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis.

Keenam, pendanaan pendidikan berkualitas seperti yang diuraikan di atas dijamin bisa dinikmati oleh seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin. Seluruh pembiayaan tersebut diambil dari baitul mal, sehingga warganegara tidak akan mengeluarkan sepeserpun uang untuk mengenyam pendidikan berkualitas.

Hanya saja, strategi di atas hanya bisa diterapkan kala khilafah kembali ditegakkan. Sebab, politik pendidikan Islam takkan pernah hidup di alam kapitalisme sekuler. Dengan demikian, untuk menyelamatkan negeri ini dari kerusakan akibat dominasi kapitalis, tak ada jalan selain mewujudkan kembali khilafah islamiyah 'alaa minhanjin nubuwwah. []


Oleh Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponegoro

PUSTAKA
Kebijakan POP Mendikbud Tidak Bijak dan Tidak Populis, RMOLBANTEN, Rabu (29/7/2020)

POP Membongkar Rusaknya Politik Pendidikan Negeri Ini, Salsabila, Muslimah News ID

Nadiem Makarim, Pemerintah Subsidi Konglomerat, Iwan Januar, FP Muslimah News


Posting Komentar

0 Komentar