Pangeran Samudra Sultan Banjar Pertama

Foto: idntimes.com


Jika Anda berwisata religi ke Banjarmasin, jangan lewatkan untuk mengunjungi Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah. Bangunan yang didominasi warna hijau berusia 492 tahun ini dibangun dengan gaya arsitektur khas Banjar dengan konstruksi rumah panggung. 


Secara keseluruhan bangunan masjid ini masih berbahan kayu ulin. Kayu ulinnya masih tampak kokoh, bersih dan terawat. Bentuknya menggunakan bangunan berundak, bertingkat empat. Kubah masjidnya berbentuk kerucut. Di bagian atasnya ada semacam tongkat berukir. Bagian atapnya tumpang tiga yang penuh ukiran khas Banjar dengan hiasan mustaka pada bagian atap.

Masjid yang berlokasi di pinggir Sungai Kuin terlihat sangat indah ketika dilihat dari seberang sungai. Bagian dalamnya tak kalah eksotik juga. Mimbarnya yang terbuat dari kayu dihiasi kaligrafi Arab. Di bawah tempat duduk mimbar terdapat undak-undak berjumlah sembilan yang dihiasi dengan ukiran berupa sulur-suluran, kelopak bunga dan arabes yang distilir. Di bagian mihrab, atap terpisah dengan bangunan induk. Pada daun pintu sebelah barat dan timur terdapat inskripsi Arab berbahasa Melayu yang ditulis dalam sebuah bidang berukuran 0, 5 x 0,5 meter.

Soal arsitekturnya, masjid ini ada pengaruh besar dari masjid di Demak, Jawa Tengah. Karena berdasarkan fakta sejarahnya, penyebaran Islam di Kalimantan Selatan memang berasal dari Demak.

Masjid yang berdiri diarea lahan 30 x 25 meter dengan ukuran panjang 15,50 meter, lebar 15,70 meter dan tinggi 10 meter tersebut beralamat di Jalan Alalak Utara RT 5, Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Masjid ini dinamai Masjid Sultan Suriansyah karena dibangun atas prakarsa dan di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550 M), sultan pertama Kesultanan Banjar. 

Suriansyah adalah seorang mualaf, sebelum memeluk agama Islam, ia bernama  Samudra. Samudra adalah seorang pangeran, tepatnya cucu dari Maharaja Sukarama, raja keempat Kerajaan Hindu Nagara Daha. 


foto: dalunawisata.com


Berdirinya Kesultanan Banjar

Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Masuknya Islam berlangsung dengan damai di kawasan ini melalui tangan pedagang dan para ulama. Salah satunya adalah Sunan Giri (sultan pertama Kesultanan Kedaton Gresik). Putra Syaikh Maulana Ishaq tersebut melakukan transaksi perdagangan dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barangnya kepada penduduk yang fakir.

Sunan Giri sendiri mempunyai hubungan dengan raja ketiga Nagara Daha yaitu Sari Kaburungan. Meski belum sampai merubah kerajaan setempat menjadi kesultanan, Sunan Giri berhasil membuat Pangeran Sekar Sungsang masuk Islam sekaligus menjadi menantunya. Melalui jalur inilah Pangeran Samudra mengenal Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak.

Penting diketahui, Kesultanan Demak berdiri pada 1479 ditandai dengan dikukuhkannya Raden Patah, sebagai Sultan Demak pertama yang bergelar Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa yang diangkat oleh Sultan Muhammad al-Fatih (1451-1481). 

Ketika berusia 10 tahun, Pangeran Samudra terlibat konflik perebutan kekuasaan dengan pamannya yakni Pangerang Tumenggung.  Pangeran Tumenggung yang haus akan kekuasaan sangat memusuhi Pangeran Samudra, karena menurut wasiat Maharaja Sukarama, Pangeran Samudralah yang berhak mewarisi tahta Nagara Daha. Untuk menghindari ancaman Tumenggung, Patih Aria Trenggana memberikan nasehat agar Pangeran Samudra meninggalkan istana untuk sementara.

Setelah Pangeran Samudra meninggalkan istana, ia menyamar sebagai nelayan di pesisir pantai Serapat, Belandian, Kuin, Balitung dan Banjar. Ketika pangeran Samudra dewasa, dia bertemu dengan Patih Masih penguasa daerah tersebut.  Kemudian, setelah berunding dengan Patih Balit, Patih Balitung dan Patih Kuin mereka sepakat melepaskan diri dari Nagara Daha dan mendirikan kerajaan baru yang bernama Banjar serta mengangkat Pangeran Samudra menjadi Raja Banjar.  

Pada tahun 1526, Pangeran Tumenggung yang mendengar kabar berdirinya sebuah kerajaan di Pantai Kalimantan Selatan, tidak tinggal diam. Ia segera menyusun rencana dan mengirimkan armadanya ke Sungai Bariot dan di Hujung Pulau Allak. Sadar kekuatan pasukannya belum cukup untuk mengalahkan Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudra memutuskan meminta bantuan kepada Sultan Trenggana (sultan ketiga Demak). Dengan senang hati, orang nomor satu di Kesultanan Demak tersebut bersedia membantu Pangeran Samudra.

Sultan Trenggana mengirim 1000 pasukan bersenjata di bawah pimpinan seorang panglima. Bantuan dari Demak menambah kekuatan 40.000 pengikut Pangeran Samudra. Dengan bantuan tentara Demak, Kerajaan Nagara Daha dapat dikalahkan dan Pangeran Tumenggung mengakui Pangeran Samudra sebagai raja. 

Kemudian Pangeran Samudra pun masuk Islam dan meleburkan Kerajaan Hindu Nagara Daha dengan Kerajaan Hindu Banjar menjadi Kesultanan Islam pada Rabu, 24 September 1526. Samudra mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing Khatib Dayyan, utusan Kesultanan Demak. Sejak saat itulah Kesultanan Banjar berdiri dan daerah sekitarnya tunduk kepada Banjar.

Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

foto: republika.co.id


Menerapkan Syariat

Pasca berdirinya Kesultanan Banjar, Islam pun berkembang pesat di tengah-tengah rakyat Banjar. Di sini pula lahirlah Syaikh Muhammad Arsyad al­Banjari (1710-1812), ulama yang berkontribusi besar dalam penyebaran dan perkembangan dakwah. Jasanya tidak saja dirasakan oleh rakyat Kalimantan Selatan, melainkan juga Nusantara bahkan dunia Islam secara umum. Salah satu karyanya yang diakui dunia adalah kitab fikih Sabîlul-Muhtadîn fît-Tafaqquh bi Amrid-Dîn (1781). Karya monumental yang dibuat atas perintah Sultan Tahmidullah (sultan ke-11/1700-1717) tersebut diabadikan menjadi nama Masjid Raya Banjarmasin Sabilal Muhtadin (1981).

Penerapan hukum yang hanya berlandaskan kepada Islam terekam pula dari peninggalan masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah (sultan ke-18/1825-1857) berupa undang-undang yang bersumber dari ajaran Islam hingga kini masih dikenal dengan UU Sultan Adam.

Pada Mukadimah Undang-Undang Sultan Adam, dapat diketahui bahwa maksud dari dikeluarkannya undang­undang tersebut adalah untuk mendorong ketaatan segenap rakyatnya atas agama Islam, mengatasi perbedaan dan kemudahan memutuskan perkara. Undang-undang ini berisikan 38 pasal dengan komposisi untuk mengatur agama dan peribadatan, tata pemerintahan, perkawinan, hukum peradilan, tanah dan peralihan.

Maka ketika penjajah Belanda mulai mengusik tatanan Islam, Pangeran Antasari pada 25 April 1859 menjadi panglima perang melawan kafir Belanda. Ia terus berjihad hingga syahid ketika dirinya menjadi sultan ke-21 (1862) yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. []


Oleh: Joko Prasetyo | dari berbagai sumber

Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 2019 (Awal Mei 2018)

Posting Komentar

0 Komentar