Menelusuri Jejak Khilafah di Nusantara (bagian keenam)

Potret Sultan Thaha Syaifuddin dari Djambi beserta rombongannya (1904)



Sultan Thaha Syaifuddin

Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Ia adalah sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M. Fachrudin dengan gelar sultan Kramat. 

Nama asli Sultan Thaha adalah Sultan Raden Toha Jayadiningrat. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.

Sultan Thaha Syaifuddin

Meskipun ia terlahir dari kalangan bangsawan, ia memiliki sikap yang rendah hati, senang bergaul dengan masyarakat dan sangat membenci Belanda. Aktivitas melawan Belanda makin gencar sejak ia naik tahta menjadi Raja Jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan Belanda dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan bekerjasama dengan raja Sisingamangaraja. 

Untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin, Belanda melakukan politik adu domba dengan mengangkat salah seorang putera sultan yang masih berusia tiga tahun menjadi Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota yang masih muda itu diangkat dua orang wali yang memihak kepada Belanda. Namun, usaha untuk mengadu domba itu tidak berhasil karena kerabat istana dan rakyat tetap bersikap melawan Belanda.

Hanya satu jalan bagi Belanda untuk menghadapi sultan yaitu dengan berperang secara ksatria. Untuk itu, Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Untuk menumpas perlawanan dari suatu daerah, Belanda selalu mendatangkan pasukan dari daerah lain mengingat serdadu yang berkebangsaan Belanda sangat sedikit. Cara itu terbukti efektif untuk menindas perlawanan rakyat di berbagai wilayah Nusantara.

Pada tanggal 31 Juli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman. Mereka dapat menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha tetapi tidak berhasil menemukan pemimpinnya.

Peperangan di Kerinci Jambi

Hubungan Kesultanan Jambi dengan Khilafah Utsmaniyyah

Pada 1903, Sultan Thaha Jambi yang sudah setengah abad berperang melawan Belanda di negerinya mengirim utusan ke Singapura untuk bertemu dengan konsul Utsmani di sana, Ahmet Attaullah Effendi, agar ia menyambung pesannya kepada Khalifah kaum Muslimin, Sultan Abdülhamid II, untuk menolong Jambi dari rongrongan orang-orang kafir. 

Surat Sultan Thaha Jambi diterima oleh Sultan Abdülhamid II pada 1904, dan dengan segera ia memanggil konsul Belanda di Konstantinopel agar menghadapnya di Istana Yildiz. Khalifah menyampaikan bahwa ia mendapat surat dari seorang pemimpin yang “tidak jauh dari Singapura” yang mengaku bahwa masjid-masjid telah dihancurkan dan kaum Muslim telah ditindas. 

Kembali ke Jambi, Sultan Thaha makin terdesak tatkala para pembantunya dapat ditundukkan Belanda, sampai akhirnya beliau syahid ditikam pedang kafir Belanda dalam pertempuran di Batung Dara ketika usianya mencapai 88 tahun.

Namun hanya lima bulan kemudian, pada September 1904, kaum bangsawan Jambi dikobarkan kembali semangat jihadnya oleh Abdullah Yusuf, tentara dari Khilafah Utsmaniyyah berkebangsaan Hungaria yang dulunya bernama Karl Hirsch. 

Ia menegaskan bahwa ia memiliki tugas khusus dari Khalifah untuk membantu pertahanan Jambi. Yusuf beserta 19 pemimpin pemberontakan lain segera tertangkap oleh kekuatan Belanda dan dibuang dalam pengasingan.

*Surat Enthong Maliki kepada Konsul Khilafah Utsmaniyyah*

Konsul Khilafah Utsmaniyyah di Batavia senantiasa menjadi tempat mengadu rakyat yang terus mengalami penindasan oleh penjajah Belanda. Konsul Utsmani di Batavia berikutnya, Rafet Bey, pada 25 Maret 1916 mendapat pengaduan dari pemuka warga Condet, Enthong Maliki, Enthong Gendut, dan Enthong Modin, untuk menghadapi kesewenang-wenangan Pemerintah Belanda kepada kaum Muslim di Batavia. 

Surat Enthong Maliki kepada Rafet Bey,

Djikaoe toean besar tiada toeloeng sama orang Moeslim, lebi baik sekalian orang Muslim, minta mati saja. Soesah sekali orang Moeslim poenja penghidoepan. Sekalian roemahnja orang Moeslim habis di bakar. Jang datang beka dan bakar itoe roma kira kira lebi dari 100 orang Toean Tanah Tjondet Oost (Condet Timur) peonja. Dan ada lagi orang Kampong toeloeng pekerdjaan sama toean tanah soedah di hoekoem, sesoedahnja di hoekoem toean Tanah minta bayaran. Djikaloe tida di bayar sama orang Kampong toean tanah lelang apa jang ada Dale roemanja dan di ambil roemahnja orangnja di pesisir. Kessian sekali orang Moeslim di ini Negri. Hamba harep padoeka toean besar poenja pertoeloengan. Djikaloe toean besar tiada toeloeng lebi baik orang Moeslim minta mati saja. Sebab jang datang merembak (menembak) dan bakar itoe remah ada Wedana, Mantri Politik (Polisi), Opas Djoeragan, Mandor dan laen laen orang Kompanian. Begitoe padoeka toean besar Konsol jang hamba mengadoe hal di Kampong Tjondet adanja.

(Dikutip oleh Frial Ramadhan Supratman, Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia During The First World War 1911-1924, (Studia Islamika, Vol. 24, no. 1, 2017), hal. 62)

Surat ini mengindikasikan bahwa Rafet Bey dalam posisinya sebagai konsul Khilafah Utsmaniyyah menjadi tempat bagi warga setempat untuk meminta bantuan dan mengharap pertolongan untuk kaum Muslimin. 

Harus diakui, posisi para konsul Khilafah Utsmaniyyah di Timur Jauh, baik itu di Singapura maupun Batavia, tidak bertindak sebagai pemberi pengayoman dalam bentuk bantuan militer menghadapi agresi Belanda, melainkan lebih ke penyebaran semangat keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk pendidikan dan modernisasi.

Hal ini terlihat dengan peran mereka yang lebih condong kepada pemberian kitab-kitab agama kepada kaum Muslim setempat dan pengiriman murid-murid Jawi untuk bersekolah di Konstantinopel. 

Kasus Jambi dimana beberapa tentara Khilafah, seperti Abdullah Yusuf (Karl Hirsch) yang memimpin langsung perlawanan terhadap pasukan Belanda pasca-wafatnya Sultan Thaha Jambi menjadi pengecualian dari tugas mainstream utusan resmi Khalifah lainnya. 

Ihwal eksistensi Abdullah Yusuf di Jambi pun tidak sepenuhnya direstui oleh beberapa pejabat Khilafah, terutama Musurus Pasha yang menginginkan hubungan Khilafah dengan Belanda agar tetap akur, walaupun Abdullah Yusuf sendiri dikirim langsung oleh Sultan Abdülhamid II.[]

Oleh: Achmad Mu'it
Referensi dari Berbagai Sumber

Posting Komentar

0 Komentar