Jejak Khllafah pada Ilmuwan Nusantara



Apakah jejak sebuah peradaban?  Jika kita sepakat bahwa peradaban adalah akumulasi dari nilai-nilai, tradisi, kepercayaan, dan perilaku yang merupakan manifestasi cara hidup masyarakat, maka jejak peradaban muncul dalam bentuk dokumentasi (tulisan di media apapun) dan artefak budaya seperti makanan, pakaian, bangunan, seni, senjata hingga aneka teknologi.

Segala tulisan dalam prasasti, surat, kitab atau lontar kuno adalah jejak peradaban pada masanya.  Demikian juga bentuk makam, tempat ibadah, istana, kendaraan, alat pertanian, hingga aneka senjata.

Candi Prambanan dengan arca Trimurti di dalamnya dapat dipastikan adalah jejak peradaban Hindu sebagaimana Candi Borobudur adalah jejak peradaban Budha.  Istana Merdeka adalah jejak peradaban VOC (kolonial Belanda).  

Adapun ribuan masjid di Nusantara, yang dibangun sebelum Indonesia merdeka, atau bahkan sebelum datangnya kekuasaan kolonial, dapat dipastikan adalah jejak peradaban Islam.  Dan Islam saat itu diemban oleh sebuah negeri bervisi global, yaitu Negara KhiIafah.

Demikian juga makam.  Makam-makam dengan tulisan Arab atau ornamen timur tengah ditemukan di banyak tempat.  Sebagian bahkan amat jelas, semisal makam tentara Utsmani yang pernah diperbantukan di Aceh.

Di atas ini semua, yang perlu diperkenalkan adalah jejak KhiIafah pada ilmuwan Nusantara.  

Islam mengalami masa perkembangan ilmu pengetahuan sekitar abad ke-2 H / 8 M hingga abad ke-6 H / 12 M. Bahkan kejayaan suatu bangsa ditentukan sampai sejauh mana karya ilmiah benar-benar dapat perhatian yang layak. Begitupun di Nusantara, kehadiran islam dan menjadi kekuatan politik mampu melahirkan tradisi ilmiah.

Dari penelusuran literatur, ditemukan 4 jenis keilmuan yang didapatkan di Nusantara dari persentuhannya dengan Negara KhiIafah, yaitu: ilmu agama, sastra, sejarah, dan falak (astronomi).
Sebagian besar dari karya mereka yang masih dapat dijumpai adalah repetisi (upaya untuk menjaga agar ilmu tidak hilang), ikhtisar atau syarah (untuk mempermudah pembaca), dan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab.  Tidak banyak yang merupakan karya yang mengandung hal baru (novelty).

Ilmu Agama

Di Kesultanan Palembang, dikenal Syihabuddin bin Abdullah, Kemas Fakhruddin dan Abdu Shamad al-Palimbani.  Karya dan terjemahan mereka amat banyak.

Di Kesultanan Aceh, muncul Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-Singkili, Syamsuddin al Sumatrani dan lain-lain. Al-Raniri menulis tidak kurang dari 29 karya, sementara Al-Sinkili menulis sekitar 22 karya yang membahas fikih, tafsir, kalam dan tasawuf.

Ilmu Sastra

Di Kesultanan Palembang muncul Sultan Mahmud Badaruddin II yang menulis Syair Sinyor Kosta, Hikayat Martalaya, Sair Nuri, dan Pantun.  Pangeran Panembahan Bupati juga banyak menulis syair.  Sedang Ahmad bin Abdullah menulis Hikayat Andaken Penurat.

Di Kesultanan Riau, Raja Ali Kelana menulis kitab tatabasa yang berjudul Rughyat al'Ani fi Huruf al-Ma'ni.  Dan Raja Abdullah yang menulis dua buah kitab pelajaran bahasa Melayu yang berjudul Pembuka Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah dan Penolong Bagi yang Menuntut Ilmu akan Pengetahuan yang Patut. Semua kitab ini ditulis dalam aksara Arab Melayu.
 
Ilmu Sejarah

Di Palembang, Pangeran Tumenggung Karta Menggala, menulis Cerita Negeri Palembang, Cerita Aturan Raja-raja, dan Hikayat Mahmud Badaruddin.  Kemudian ada Demang Muhyiddin, hakim yang menulis Silsilah Raja-raja Negeri Palembang. 

Di Kesultanan Riau, yang terkenal adalah Raja Ali Haji yang menulis Silsilah Melayu dan Bugis, Bustan al- Ka'tibin, Tuhfat al-Nafis, Gurindam Dua Belas, Syair Siti Syianah, Mukaddimah fi Intizam, dan Tsamarat al- Muhimmah.

Dari semua kitab ini terlihat bahwa sejarah ditulis untuk dijadikan pelajaran, tidak sekedar sebagai cerita belaka.

Ilmu Falak

Ilmu falak dikategorikan sains praktis karena berkaitan erat dengan aspek-aspek ibadah kaum Muslim. Hal itu terlihat terutama dalam permasalahan penentuan arah Kakbah (Mekah), penentuan waktu-waktu salat dan penentuan awal bulan kamariah. 

Ilmu ini sudah berkembang di beberapa pusat peradaban Islam, seperti Damaskus, Bagdad, dan Cordoba, sejak abad 3 H / 9 M. Di Nusantara, ilmu falak mulai berkembang di abad 18 M sejak pelajar dan Nusantara menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di sana.

Para pelajar Nusantara cukup banyak secara kuantitas, tetapi hanya sebagian kecil yang mempelajari dan berkarya dalam bidang falak. 

Ahli Falak Nusantara yang pertama kali dikenal luas adalah Muhammad Arsyad Banjar (w. 1227/1812) yang belajar di Haramain (Mekah-Madinah) selama 35 tahun. Sekembalinya ke Nusantara tahun 1773 M, sebelum ke Banjarmasin, ia singgah di Batavia. Di sini, Arsyad melakukan pembaruan arah kiblat beberapa masjid di Batavia.

Gagasan ini menimbulkan polemik di kalangan pemimpin Muslim ketika itu, dan akhirnya Gubernur Jenderal Belanda memanggil Arsyad untuk menjelaskan masalah itu. Sang Gubernur yang terkesan akan penjelasan dan perhitungan matematis Arsyad lalu memberinya sejumlah hadiah.

Sejauh ini, Arsyad tidak memiliki karya khusus tentang falak. Wawasannya terlihat dalam karyanya, Sabil al-Muhtadin. Betapapun ini bukan karya murni falak, namun uraiannya terkait arah kiblat, waktu salat, dan awal bulan, tampak dia sangat menguasai astronomi. 

Ulama Nusantara pertama yang menulis falak adalah Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1334/ 1916).  Ia lama belajar dan bermukim di Haramain, bahkan pernah menjadi Mufti di Mekah. Ia menghasilkan dua karya yaitu al-Jawahir al-Naqiyyah fi 'Amal al-Jaibiyyah dan Raudhah al-Hussab fi 'Ilm al-Hisab. 

Kitab pertama membahas suatu instrumen bernama Rubu'Mujayyab, yaitu instrumen untuk menentukan arah kiblat dan waktu sholat. Instrumen ini diciptakan oleh al-Khawarizmi yang juga pencetus Aljabar.

Sementara kitab kedua berbicara tentang aritmetika, dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu ini antara lain berguna dalam pembagian waris dan transaksi perdagangan yang marak pada waktu itu.

Ulama lain yang berkontribusi dalam bidang ilmu falak adalah Ahmad Dahlan (w. 1923 M) yang juga pendiri Muhammadiyah. Ia dicatat berupaya merekonstruksi arah kiblat Masjid Kauman, Yogyakarta. Pada mulanya, ia meraih resistensi sangat hebat dari masyarakat, tetapi pada akhirnya gagasannya bisa diterima. []

Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar

Sumber artikel: facebook Fahmi Amhar
Referensi:
Zailani (2018): Tradisi Menulis Ilmuan Muslim Nusantara Sejak Zaman Kerajaan hingga Masa Kontemporer.  Tarbawy, Indonesian Journal of Islamic Education Vol. 5 no 1.

Butar-Butar, A.R.J. (2018): Historiografi Ilmu Falak di Nusantara: Sejarah, Motivasi dan Tokoh Awal.  Journal Of Contemporary Islam and Muslim Societies Vol. 2 no. 2 Juli-Desember 2018.

Posting Komentar

0 Komentar