Fornikasi: Legal dalam Hukum Demokrasi, Terlarang dalam Syariat Islam



Fornikasi adalah persetubuhan yang dilakukan atas rasa suka sama suka dan saling membutuhkan tanpa paksaan dan tanpa bayaran antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan.

Pada umumnya, istilah ini berkaitan dengan pandangan moral atau agama yang berkenaan dengan dosa. Pandangan mengenai fornikasi bervariasi tergantung agama, hukum, dan budaya yang dianut oleh suatu individu dalam masyarakat. 

Dalam penggunaan modern, istilah ini sering diganti dengan hubungan seksual di luar nikah atau seks pranikah.

Baru-baru ini publik digemparkan dengan kabar banyaknya anak SMA yang mengajukan dispensasi nikah. Sebanyak 240 siswa SMA di Kabupaten Jepara, berbondong-bondong mengajukan permohonan dispensasi nikah selama periode Januari-Juni 2020. Pasalnya, mereka kedapatan hamil diluar nikah sehingga pernikahan dianggap menjadi jalan satu-satunya untuk menutupi kasus tersebut. 

Fakta itu terkuak tatkala para orang tua siswa menghadiri proses sidang dispensasi nikah di kantor Pengadilan Agama Jepara. Menurut Ketua Panitera, Pengadilan Agama Jepara, Taskiyaturobihah dalam sehari dirinya melayani permohonan dispensasi nikah 14-20 perkara. Dia juga mengatakan bahwa dari Januari sampai bulan Juni 2020, kalau ditotal sudah ada 240 pengajuan dispensasi nikah (idntimes.com, 22 Juli 2020).

Ini hanyalah fenomena gunung es alias hanya sebagian kecil saja kasus hamil di luar nikah yang disebabkan oleh fornikasi. Kasus di luar yang tidak terliput media bisa jadi lebih banyak. Belum lagi ditambah kasus fornikasi yang tanpa kehamilan tentu lebih banyak lagi.

Dalam sistem demokrasi liberal tidak ada hukuman bagi pelaku fornikasi. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dan hanya menyinggung hubungan individu tanpa menyinggung hubungan masyarakat. 

Fornikasi menurut hukum di Indonesia baru dianggap sebagai suatu tindak pidana dan dapat dijatuhkan hukuman ketika hal itu melanggar kehormatan perkawinan.

Hal ini tentu berbeda jika dilihat dari sudut pandang syariah. Fornikasi dinyatakan berdosa dalam konteks hukum Syariah karena hubungan seks hanya diperbolehkan dalam hubungan pernikahan.


Sistem Hukum Demokrasi di Indonesia yang Berdasarkan Pancasila Melegalkan Fornikasi

Berdasarkan hukum di Indonesia, fornikasi merupakan hubungan seksual sukarela atau suka sama suka dimana pelaku tidak perlu dikenakan hukuman. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dan hanya menyinggung hubungan individu tanpa menyinggung hubungan masyarakat. 

Hukum di Indonesia tidak menganggap fornikasi sebagai zina, kecuali jika terjadi pemerkosaan atau pelanggaran kehormatan. Di saat terjadi hal tersebut diancam dalam KUHP dalam bab XIV kejahatan terhadap kesusilaan, Pasal 284-289 KUHP.

Pasal 284 KUHP mengatur tentang 
perzinahan, atau yang biasa disebut mukah (overspel). Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan dimana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Agar bisa dijerat dengan pasal ini, perzinahan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

Ancaman hukuman dalam pasal 284 KUHP adalah sembilan bulan penjara. Jika seseorang dihukum lima bulan, berarti hakim melihat ada unsur yang membuat pelaku tak perlu dihukum maksimal. 

Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini adalah delik aduan yang absolut. Artinya, pelaku tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan. 

Sedangkan pasal 285-288 KUHP mengatur tentang tindak pidana pemerkosaan.

Pasal 285 KUHP berbunyi: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Dari rumusan Pasal 285 KUHP di atas dapat diketahui bahwa perkosaan adalah delik biasa, dan bukan delik aduan. Karena itu, polisi dapat memproses kasus perkosaan tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.

Sedangkan Pasal 286 KUHP mengatur hukuman terhadap pemerkosa wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pasal 286 KUHP berbunyi: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP tentang pemerkosaan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun. Berikut ini isi dari pasal 287 KUHP

1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Orang tua yang memperkosa anaknya dapat dijerat dengan Pasal 294 ayat (1) KUHP atau Pasal 287 KUHP.

Pasal 288 KUHP mengatur tentang pemerkosaan terhadap wanita belum menikah. Isi dari pasal 287 KUHP adalah

1. Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawinkan, bila perbuatan itu mengakibatkan luka luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.

3. Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 289 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul, yang berbunyi: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun".

Berdasarkan penjelasan pasal 284-289 diatas maka ada beberapa kriteria fornikasi yang diperbolehkan jika memenuhi salah satu dari 4 kondisi. 

Pertama, ada izin dari wanita yang disetubuhi. Kedua, Wanita tersebut tidak sedang terikat perkawinan dengan laki-laki lain.

Ketiga, wanita tersebut telah cukup umur secara hukum. Keempat, wanita tersebut dalam keadaan sehat akalnya, tidak pingsan dan mampu membuat keputusan.

Jika hubungan persetubuhan termasuk dalam kriteria di atas, maka fornikasi dinyatakan legal berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Inilah yang menyebabkan perbuatan fornikasi marak di negeri ini. Tidak ada larangan bahkan difasilitasi dengan KUHP. 

Berdasarkan uraian diatas maka perbuatan zina menurut hukum di Indonesia baru dianggap sebagai suatu tindak pidana dan dapat dijatuhkan hukuman ketika hal itu melanggar kehormatan perkawinan.

Pelegalan Fornikasi dalam Sistem Hukum Demokrasi Berakibat pada Maraknya Remaja Hamil di Luar Nikah

Fornikasi menjadi masalah bagi remaja di Indonesia. Sebuah studi terbaru bahkan menemukan masih ada anak muda yang melakukan hubungan seks penetrasi tanpa menggunakan kondom.

Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia pada tahun 2019 terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan bahwa 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. (liputan6.com, 19 Juli 2019).

Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah.

Hasil riset lain dari HonestDocs yang dipublikasikan seputarpapua.com, Kamis (8/8/2019) menyebutkan angka kehamilan remaja Indonesia di luar nikah meningkat lebih dari 500 kasus setiap tahun. 

Di Yogyakarta saja, seperti dilansir republika.co.id, Ahad (1/12/2019), pada 2018 ada sekira 240 kasus remaja hamil di luar nikah dan pada Januari-Juni 2019 kasus serupa mencapai 74 kasus.

Maraknya kasus remaja hamil diluar nikah dalam sistem demokrasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Lemahnya Iman dan Pemahaman Islam

Iman dan Islam sebagai pondasi dalam beragama Islam, keduanya tidak dapat dipisahkan. Iman seseorang menentukan keislaman dan perilaku kehidupan sehari-harinya. Keduanya sebagai pedoman dalam menjalani hidup, sekaligus sebagai pengendali agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama. Jika iman dan Islamnya kuat, maka diharapkan memiliki ketahanan mental serta mampu menghindari segala bentuk pergaulan bebas. 

Begitu pula sebaliknya, lemahnya pemahaman Islam dan iman akan memunculkan terjadinya pelanggaran norma susila dan pergaulan, termasuk dalam pergaulan dengan lawan jenis yang berujung pada fornikasi.

2. Bisikan Setan, Pola Pikir, Rasa Ingin Tahu, dan Ingin Mencoba

Bertindak tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi dan didorong rasa ingin tahu, ingin mencari, dan ingin mencoba adalah semangat bagi remaja yang harus diarahkan. Jika semangat dan sikap itu untuk hal-hal yang baik dan positif, maka tentu sangat bagus hasilnya. 

Namun, jika semangat itu untuk melakukan hal-hal negatif, maka sikap semacam ini harus terus diberikan pengetahuan dan arahan agar sadar, dan dapat menghindari perbuatan negatif. Sehingga remaja tidak terjebak dalam fornikasi yang melanggar ajaran agama.

3. Lemahnya Kontrol Orangtua

Peran dan fungsi keluarga pada saat ini sudah mengalami pergeseran yang karena masing-masing anggota keluarga memiliki kesibukan dengan alasan dan tujuan sendiri. Banyak keluarga yang lebih mementingkan kecukupan kebutuhan materi dan kurang memerhatikan kebutuhan rohani keluarganya. Pada situasi semacam inilah persoalan akan muncul ketika komunikasi dan perhatian orangtua semakin berkurang.

Kunci terciptanya keluarga yang baik adalah kuatnya peran orangtua dalam menanamkan nilai akhlak mulia sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. 

Jika ada remaja yang tumbuh tidak benar, maka keluarga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya perbuatan fornikasi di kalangan remaja.

4. Pengaruh Media Massa

Tidak dapat dipungkiri lagi, internet, media cetak, dan media elektronik lainnya telah mengubah pemikiran manusia di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang dapat menerobos batas dan waktu dengan sangat singkat, sehingga sulit ditepis, ditangkal, atau dibatasi. 

Melalui media-media tersebut apa pun bisa disampaikan. Termasuk berbagai persoalan yang menyangkut film yang tidak layak untuk ditonton serta berbagai menu acara yang dapat memengaruhi konsep berpikir seorang remaja.

Keempat faktor diatas adalah penyebab terjadinya fornikasi. Namun, hal tersebut bisa diminimalisir jika negara mampu menunjukkan perannya dalam melindungi dan mengurusi urusan rakyatnya.

Negara seharusnya mempunyai peran penting dalam mencegah dan memberantas kasus fornikasi. Namun sayangnya, peran itu kurang terlihat. Fakta yang terjadi saat  ini justru pergaulan remaja dibiarkan bebas. Tayangan televisi kurang terkontrol. Situs-situs porno masih banyak yang bertebaran di dunia maya karena banyak yang tidak diblokir. Terlebih lagi ada kepala daerah yang bangga menonton video porno dan  juga dirut televisi nasional yang latar belakangnya suka bokep.

Bagaimana mau memberantas fornikasi, sementara pemimpin yang seharusnya menjadi panutan justru memberi contoh yang tidak baik bagi warganya? Bagaimana mau memberikan tayangan yang mendidik, sementara dirutnya penyuka bokep?

Kegagalan Sistem Demokrasi dalam Mengatasi Fornikasi dan Solusi Syariat Islam dalam Menciptakan Generasi yang Bermartabat dalam Iman dan Taqwa

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah dan memberantas fornikasi. Mulai dari merevisi UU perkawinan hingga menjatuhkan hukuman bagi pelaku fornikasi dengan syarat tertentu.

UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menaikkan usia minimal kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan demikian, usia kawin perempuan dan laki-laki sama-sama 19 tahun.

Sayangnya, upaya menaikkan batas usia minimum ini justru mengekang keinginan remaja untuk segera menikah. Hal ini memberi kesempatan bagi remaja yang seharusnya sudah siap menikah, justru malah menundanya karena terbentur peraturan pemerintah. Akhirnya mereka terjun ke dalam aktivitas pacaran yang berujung pada fornikasi.

Sistem demokrasi memang tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah fornikasi secara tuntas. Sebaliknya, sistem ini melegalkan kejahatan itu seperti yang terjadi di banyak negara penganut sistem tersebut.

Dalam demokrasi, tidak ada larangan untuk berzina jika dilakukan suka sama suka. Berdasarkan hukum yang diterapkan di negeri ini, pelaku zina suka sama suka tidak dikenakan hukuman. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dan hanya menyinggung hubungan individu tanpa menyinggung hubungan masyarakat. 

Dengan demikian, perbuatan zina menurut hukum di Indonesia baru dianggap sebagai suatu tindak pidana dan dapat dijatuhkan hukuman ketika hal itu melanggar kehormatan perkawinan seperti terjadi pemerkosaan atau pelanggaran kehormatan yang lain. Sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan pasal 284-289.

Namun fornikasi diperbolehkan jika memenuhi salah satu dari empat kondisi sebagaimana yang dijelaskan di atas maka fornikasi dinyatakan legal berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Inilah yang menyebabkan perbuatan zina semakin marak di negeri ini. Tidak ada larangan bahkan difasilitasi dengan KUHP. 

Pertanyaannya, apakah demokrasi dan KUHP tersebut sesuai tidak dengan Pancasila? Bila tidak, mengapa ditegakkan? Bila sesuai, mengapa kita mempertahankan sesuatu yang jelas-jelas merusak generasi penerus sebagai sumber dari segala sumber hukum di negeri mayoritas Muslim ini?

Hal ini, tentu sangat berbeda dalam Islam. Dalam Islam fornikasi termasuk zina karena hubungan seksualitas yang dibenarkan dalam Islam hanyalah yang ada dalam ikatan pernikahan yang sah secara syar’i. Allah SWT menjelaskan bahwa tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya.

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَآءً  ۚ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ  ۗ  اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 1)

Dalam Islam, kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah hanya dalam hal-hal yang dikecualikan saja keduanya dapat bertemu dan berinteraksi. Lelaki dan perempuan menutup aurat dengan sempurna. Keduanya diwajibkan memalingkan pandangan bila melihat wajah lawan jenis dengan nafsu. 

Bersunyi-sunyian (khalwat) antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram, bercampur baur (ikhtilath) dan pacaran dilarang keras. Semua dikenai hukuman ta’zir bila dilanggar, mulai dari teguran keras, dipermalukan dan lain sebagainya. Bila sampai berzina akan dikenakan hudud berupa rajam sampai mati bagi pezina yang pernah nikah dan cambuk seratus kali bagi pezina yang masih bujang dan gadis. 

Tentu saja pencegahan dan pemberantasan zina tak bisa dilakukan secara parsial, tapi harus sistemik. Tidak bisa perubahan dilakukan secara individual sebab menyangkut banyak faktor yang saling terkait satu sama lain. 

Di sinilah pentingnya peran negara. Negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya. Yang menjadikan hanya Islam saja sebagai sumber dari segala sumber hukum, bukan yang lain. Sebab, kasus zina tumbuh subur di negeri ini lahir dari ideologi yang memisahkan kehidupan sehari-hari dan bernegara dari aturan Allah SWT, sehingga tidak menganggap khalwat, ikhtilath dan pacaran sebagai kesalahan dan dosa. Bahkan fornikasi atau zina yang jelas-jelas merupakan dosa besar malah dilegalkan selama sesuai dengan hukum peninggalan penjajah kafir Belanda. 

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً   ۗ  وَسَآءَ سَبِيْلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 32)

Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat termasuk kepala negara dan semua jajaran pemerintah. Negara juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.

Melalui sistem pendidikan, baik formal, non formal maupun informal, rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari perbuatan zina. Rakyat juga diedukasi melalui media sehingga mampu menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak. Sehingga tidak ada lagi media massa yang menampilkan tayangan yang mengumbar aurat dan terus merangsang nafsu birahi seperti yang marak sekarang ini terjadi.

Penanaman keimanan dan ketakwaan akan membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis yang hanya mengutamakan kepuasan hawa nafsu. Selain itu, negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Masyarakat akan diajarkan bagaimana menyalurkan gharizah nau’ (naluri melangsungkan jenis) dengan benar.

Penerapan sistem Islam oleh negara akan meminimalkan seminimal mungkin faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya zina. Namun, jika masih ada yang melakukannya, maka sistem uqubat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu, seperti yang sudah di singgung di atas berupa hukuman ta’zir dan hudud. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa (jawazir) dan sebagai penebus dosa (jawabir).

Allah SWT berfirman:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۚ  وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur 24: Ayat 2)

Dengan demikian, zina akan bisa dicegah dan dihentikan hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan syariat Islam tidak akan pernah kaffah kecuali ditegakkan dalam khilafah. Karena khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang wajib ditegakkan.

Di dalam naungan khilafah, umat Islam dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai dengan syariah Islam. Maka, Islam akan tampak aslinya yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin.


Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

Pertama. Sistem hukum demokrasi di Indonesia yang berdasarkan Pancasila Melegalkan Fornikasi. Hukum di Indonesia tidak menganggap fornikasi sebagai zina, kecuali jika terjadi pemerkosaan atau pelanggaran kehormatan. Di saat terjadi hal tersebut diancam dalam KUHP dalam bab XIV kejahatan terhadap kesusilaan, Pasal 284-289 KUHP. 

Namun fornikasi menjadi legal jika memenuhi salah satu dari 4 kondisi yaitu ada izin dari wanita yang disetubuhi, wanita tersebut tidak sedang terikat perkawinan dengan laki-laki lain, wanita tersebut telah cukup umur secara hukum dan wanita tersebut dalam keadaan sehat akalnya, tidak pingsan dan mampu membuat keputusan.

Kedua. Pelegalan fornikasi dalam sistem hukum demokrasi berakibat pada maraknya remaja hamil di luar nikah. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:
a. Lemahnya Iman dan Pemahaman Islam
b. Bisikan Setan, Pola Pikir, Rasa Ingin Tahu, dan Ingin Mencoba
c. Lemahnya Kontrol Orangtua
d. Pengaruh Media Massa

Ketiga. Sistem demokrasi tidak pernah bisa menyelesaikan masalah fornikasi secara tuntas. Sebaliknya, sistem ini melegalkan kejahatan itu seperti yang terjadi di banyak negara penganut sistem tersebut. Berbeda dengan Islam, fornikasi termasuk zina karena hubungan seksualitas yang dibenarkan dalam Islam hanyalah yang ada dalam ikatan pernikahan yang sah secara syar’i. 

Solusi Islam dalam mencegah dan memberantas fornikasi antara lain menjaga martabat manusia dengan pernikahan, mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, menanamkan aqidah dan membangun ketakwaan, menerapkan sistem pendidikan Islam, menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar. Dan semua solusi itu membutuhkan Khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah.


Oleh: Achmad Mu'it
Analis Politik Islam
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo


Referensi

1. Eppi Permana Sari, "Waspadalah, Ini Faktor Anak Berbuat Zina", 2017

2. Achmad Mu'it dan Joko Prasetyo, "
Apa Solusi Pancasila Atas Maraknya Zina?", 2020.

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgaints

Posting Komentar

0 Komentar