Chaliphate False Flag: Mampukah Propaganda Jahat Membendung Dakwah Islam Kaffah dan Khilafah?



Opini khilafah semakin lama semakin viral. Viralnya gagasan khilafah tidak hanya karena lisan para pengembannya, melainkan juga diviralkan oleh kaum munafik maupun kafir yang membenci dakwah Islam. Karena, mereka bergegas menggembosi dakwah Islam kaffah dan khilafah.

Sebenarnya jika ditelisik lebih dalam mengapa dakwah khilafah banyak yang menentang? Bahkan, mendapatkan penentangan secara internasional oleh gembong pengemban ideologi kapitalisme sekuler yaitu Amerika dan seukutunya?

Dikarenakan para pelaku kezaliman takut kepentingannya terusik di kala khilafah tegak kembali.

Oleh karena itu, wajar jika kembalinya khilafah banyak yang ketakuan dan berusaha menghalanginya. Sejatinya mereka tak mampu menunda tegaknya khilafah jika Allah SWT telah mengembalikannya. Yang bisa mereka lakukan adalah berusaha memperlambat tegaknya khilafah. Dari situ mereka gunakan kaki tangannya untuk menghambat dakwah khilafah dengan berbagai cara.

Anehnya di negeri Indonesia yang ber- Ketuhanan yang Maha Esa tak lepas dari stigma negatif yang menimpa khilafah ajaran Islam. Awalnya, khilafah sempat mendapat stigma negatif teroris karena ISIS mengklaim kelompok mereka menegakkan khilafah dengan cara kekerasan. Tapi hal tersebut telah terbantahkan. Karena Islam telah mengajarkan bahwa dakwah tidak boleh menggunakan kekerasan sebagaimana yang dilakukan ISIS.

Selanjutnya, khilafah ajaran Islam mendapatkan stigma negatif radikal dan anti Pancasila. Hingga atas nama radikalisme, khilafah ajaran Islam hendak dijadikan "common enemy" oleh para punggawa penguasa negeri ini. Seolah radikalisme penyebab karut-marutnya tatanan negeri ini.

Padahal, masih banyak yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Kesejahteraan masih belum terwujud, ekonomi terancam krisis, krisis moral yang menyebabkan banyak kejahatan di berbagai lini, kemiskinan, pengangguran masih menjadi masalah utama di negeri ini. Tapi, anehnya mengapa fokus penguasa hanya pada radikalisme yang menyasar pada Islam?

foto: alwaie.co.id


Propaganda Jahat yang Menjadikan Gagasan Khilafah Ajaran Islam sebagai False Flag di Negeri Ini


Di tengah ancaman krisis ekonomi, pengangguran dan kemiskinan meningkat, serta utang luar negeri yang kian bertambah tak menyurutkan penguasa untuk terus menggoreng dan membidik gagasan Islam seperti khilafah sebagai "false flag".

Sebagaimana yang dikabarkan kompas.com (4/8/2020), beberapa ekonom memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2020 bakal minus lebih dari 4 persen. Bahkan, kontraksi diperkirakan masih berlanjut hingga kuartal III-2020.

Sementara itu Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga akhir Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan mencapai lebih dari 3,5 juta.

Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tercatat sebesar US$ 404,7 miliar atau setara dengan Rp 5.982 triliun (kurs tengah Bank Indonesia 17 Juli 2020 Rp 14.780/US$) per Mei 2020. Angka ini meningkat 1,02% dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 400,6 miliar, sedangkan dibandingkan Mei 2019 meningkat 4,86%.(katadata.co.id 14/7/2020)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persentase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 persen.

“Karena Covid-19 jumlah penduduk miskin naik. Persentase penduduk miskin naik," ucap Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Rabu (tirto.id 15/7/2020).

Apabila menelisik fakta di atas, sungguh negeri ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Segala karut-marut dan amburadul tata kelola negara ini sebenarnya sudah diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem inilah yang mencipta kemiskinan sistemis hingga perbudakan kepada utang ribawi yang menyebabkan sebuah negara terjerambab ke dalam pusaran hagemoni kapitalis asing. Adanya pandemi Covid-19 semakin memperparah keadaan dan menunjukkan bahwa kapitalisme sekuler gagal mengatasinya. 

Wajar jika ada sebagian umat Islam di negeri ini, menawarkan solusi penerapan sistem Islam dalam naungan khilafah untuk mengakhiri permasalahan sistemis yang terjadi. Karena hanya dengan sistem Islam, negeri ini mampu diselamatkan dari neokolonialisme dan neoimperilisme asing yang mencengkeram melalui sistem kapitalisme sekuler. 

Tapi, anehnya mengapa fokus opini perlawanan yang ada di negeri ini, seolah mengajak memerangi radikalisme yang masih belum jelas dan masih "obscure". Sehingga atas nama radikalisme menjadikan dakwah Islam kaffah dan khilafah sebagai "false flag"?

Prof. Suteki mengatakan bahwa radikalisme lebih cenderung masuk kepada nomenklatur politik dan bisa dijadikan alat gebuk bagi siapa yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Termasuk beberapa umat Islam yang selama ini memperjuangkan khilafah sebagai solusi permasalahan negeri ini juga mendapatkan stigma radikal.

Beberapa stigma negatif yang dialamatkan pada dakwah khilafah sebagai berikut,

Pertama. Awalnya dakwah khilafah sempat mendapatkan tudingan serius karena ada kelompok Islam yang melakukan dakwah secara kekerasan dan teror, serta mengusung konsep daulah Islam yaitu ISIS.

Tapi, hal tersebut terbantahkan. Karena konsep daulah yang ISIS perjuangkan berbeda dengan khilafah ajaran Islam yang selama ini nabi Muhammad Saw contohkan. Sehingga stigma negatif tersebut lambat laun menguap dengan sendirinya.

Kedua. Menjadikan isu radikalisme sebagai "common enemy" dengan menganggap dakwah Islam kaffah dalam naungan khilafah sebagai sesuatu yang radikal.

Kembali lagi, bahwa amburadulnya negeri ini bukan karena radikalisme, melainkan karena penerapan sistem kapitalisme sekuler. Aneh, jika yang dimusuhi adalah radikalisme. Radikalisme pun selalu menyasar pada dakwah Islam dan khilafah. 

Wajar jika umat menganggap bahwa, ketika pemerintah memerangi radikalisme seolah memerangi dakwah Islam kaffah dan khilafah. Karena juga tak sedikit yang mengalami persekusi hingga kriminalisasi di kala mendakwahkan khilafah ajaran Islam.

Ketiga. Narasi anti Pancasila yang dialamatkan kepada dakwah Islam kaffah dan khilafah. Sebagai negara yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, seharusnya tidak asal "njeplak" menuduh dakwah khilafah sebagai anti Pancasila. Karena khilafah adalah ajaran Islam.

Islam adalah salah satu agama yang legal dan dilindungi di negeri ini. Bagaimana mana bisa, ajarannya dicap anti Pancasila, hanya karena apa yang didakwahkan tidak seirama dengan kepentingan penguasa?

Seharusnya pemerintah membiarkan dakwah khilafah dan tak perlu menuding anti Pancasila. Karena faktanya memang khilafah ajaran Islam. Mendakwahkannya adalah sebuah mahkota kewajiban (tajul furudh). Maka, pemerintah seharusnya justru melindungi dakwah ini bukan malah mempersekusi hingga mengkriminalisasi dakwah ini.

Keempat. Narasi bahwa khilafah anti kebhinekaan dan memecah-belah. Apabila dicermati lebih dalam yang membuat terpecah-belahnya persatuan dalam sebuah bangsa dan negara adalah ashobiyah. Ashobiyah adalah mengunggulkan dan merasa bahwa kelompoknya, golongannya, sukunya, dan lain-lain, lebih tinggi, lebih benar dan merasa lebih-lebih lainnya. 

Justru dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai khilafah mampu menyatukan keberagaman baik dari suku, ras, budaya, dan agama. Hal itu telah terbukti, bahwa dulu khilafah mampu menguasai 2/3 dunia. Tentunya warga negara khilafah tersebut terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama pula.

Ini adalah bukti konkrit bahwa khilafah menyatukan bukan memecah-belah. Tuduhan bahwa khilafah memecah-belah dan anti kebhinekaan telah terbantahkan.

Kelima. Khilafah ajaran Islam sempat dituding sebagai sebuah paham yang disejajarkan dengan paham terlarang di negeri ini yaitu komunisme.

Sekali lagi, bahwa khilafah bukanlah paham. Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Apalagi mensejajarkan dengan paham terlarang komunisme warisan Karl Max, ini jelas penyesatan opini. Khilafah ajaran Islam bukan paham terlarang. Literasinya lengkap dalam khazanah ke-Islaman, mengapa dicap sebagai paham terlarang?

Oleh sebab itu, cukup sudah menjadikan dakwah khilafah sebagai "false flag" atau kambing hitam atas permasalahan di negeri ini. Karena itu adalah tindakan melawan dan menghalangi tegaknya mahkota kewajiban di bumi ini. 

Dakwah khilafah adalah seruan yang diperintahkan Allah SWT. Mendakwahkan khafah adalah mahkota kewajiban, karena dengan ditegaknya institusi khilafah, seluruh syariat Islam mampu diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Tak beradab jika manusia yang lemah memusuhi dakwah ini. 

Alih-alih berhasil, justru mereka yang menabuh permusuhan dengan dakwah Khilafah harus siap-siap tersungkur oleh kesombongan dan kedurjanaanya yang mereka pelihara karena menuruti syahwatnya. Karena mereka secara tidak langsung sedang berhadapan dengan Penguasa Alam Raya yaitu Allah SWT. Mana mungkin rencana busuk pencitra-burukkan dakwah Khilafah akan menuai keberhasilan jika yang mereka hadapi adalah Allah SWT?



Dampak Propaganda Jahat terhadap Dakwah Islam kaffah dan Khilafah

False flag terhadap Khilafah tujuannya tampak jelas, yaitu untuk menakuti-nakuti masyarakat secara umum, termasuk umat Islam secara khusus. Bagi masyarakat umum, dibuat seakan kata khilafah sebuah hal yang menakutkan sehingga merasa layak dan harus dijauhi bahkan dilawan. Bagi umat Islam, istilah ini akan menyebabkan mereka semakin menjauhi ajaran agamanya yang paripurna. Akibatnya, persatuan umat Islam akan semakin lemah.

Propaganda terhadap khilafah juga akan melemahkan ghirah perjuangan umat Islam dalam memperjuangkan ajaran agamanya, khususnya perjuangan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi khilafah. Inilah tujuan utama dari propaganda tersebut.

Propaganda-propaganda jahat untuk mengkriminalisasi Khilafah ajaran Islam menimbulkan banyak permasalahan di tengah masyarakat. Diantara dampak yang ditimbulkan antara lain:

Pertama, adanya upaya pengawasan terhadap kajian-kajian Islam.

Sebagaimana yang pernah diwartakan cnnindonesia, Sabtu 30/11/2019, Menteri Agama Fachrul Razi menerbitkan aturan baru yang mengharuskan majelis taklim mendaftarkan diri, baik pengurus, ustaz, jemaah, tempat serta materi ajar. Aturan baru itu tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 13 November 2019.

Menag Fachrul beralasan hal itu dilakukan agar mudah membina dan memberi bantuan dana kegiatan pada majelis taklim. Namun, niat baik tersebut tetap tidak bisa menutupi tujuan sesungguhnya, yang notabene jelas terbaca oleh masyarakat, yakni untuk mengontrol dan mengawasi umat Islam dalam berkumpul dan belajar. Padahal UU memberi jaminan bagi warga negaranya untuk berserikat dan berkumpul.

Pemerintah seolah mencurigai umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini dan berupaya membangun “framing” bahwa ada dari ajaran Islam yang mengancam negeri ini. Hal ini jelas menyakitkan. Sebab, persoalan di negeri ini yang begitu banyak menzalimi rakyat, nyata-nyata bukan karena diterapkannya ajaran Islam.

Kedua, muncul banyaknya kejadian pembubaran terhadap kajian-kajian Islam.

Beberapa pengajian ustadz-ustadz yang viral di dunia maya diantaranya pembubaran pengajian ustadz Hanan Attaki, ustadz Firanda, ustadz Hilmi, ustadz Felix Siauw, ustadz Bactiar Nasir dan juga ustadz sejuta umat ustadz Abdul Somad.

Mereka adalah ustadz-ustadz yang terus berjuang mengajak umat untuk kembali kepada Islam, berusaha mengembalikan umat untuk taat terhadap syariat Islam. Perlakuan oknum yang membubarkan pengajian mereka, sebagai bentuk penolakan pengajian di beberapa wilayah itu lantaran ustaz-ustaz tersebut pernah berpendapat tentang Khilafah. Dan memberikan label pada mereka sebagai ustadz yang radikal dan anti-Pancasila.

Ketiga, ASN ditakuti dengan pemecatan bila terbukti pro Khilafah.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Tjahjo Kumolo menegaskan aparatur sipil negara (ASN) yang terbukti terlibat ideologi khilafah akan diberhentikan tidak hormat. Hal itu sesuai Undang-Undang (UU) 5/2014 tentang ASN. (beritasatu.com, Senin 13/7/2020)

Kiranya atas dasar apa Rezim ini begitu memusuhi ajaran Islam? Ini tidak lain karena proyek unuk membendung janji Allah akan tegaknya kembali Khilafah. Ini tidak lepas merupakan agenda Kafir Barat untuk menghancurkan Islam. Jadi jika Rezim menjalankan agenda tersebut, salah-satunya dengan mengkriminalisasi ajaran Islam baik Khilafah dan Jihad termasuk mengancam memecat ASN yang dianggap pro-Khilafah maka sesungguhnya Rezim telah menjalankan agenda Kafir Penjajah itu sendiri (menjadi antek Penjajah).

Keempat, kriminalisasi terhadap aktivis pejuang khilafah.

Kasus yang saat ini masih berjalan adalah terhadap aktivis dakwah Ali Baharsyah, materi penyidikan berulang kali mempersoalkan ajaran Islam yaitu khilafah, termasuk mempertanyakan sejumlah aktivitas dakwah yang dilakukannya.

Ali Baharsyah menjadi korban kriminalisasi rezim, aktivis Islam yang dikenal memiliki militansi yang tinggi dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam sebagai solusi permasalahan yang menimpa negeri, Bung Ali juga dikenal khalayak sebagai pemuda yang konsisten dalam mengkritik kebijakan rezim yang dzalim, merugikan rakyat dan pro kepada Asing dan Aseng.

Tidak tanggung-tanggung telah disiapkan pasal berlapis untuk menjerat sang aktivis, lagu lama yang dipakai melumpuhkan aktivis dan oposisi. Bagi siapa saja yang memahami dinamika hukum dinegeri ini dengan baik, akan mudah menilai bahwa penegakkan hukum dinegeri ini telah dikooptasi penguasa menjadi instrumen politik. Sehingga kita dapati bahwa Bung Ali sebenarnya bukan orang pertama yang merasakan betapa hukum ini hanya tajam kepada aktivis Islam dan para kaum oposisi dan tumpul kepada para penjilat kekuasaan.

Mengkriminalisasi Khilafah adalah kesalahan yang sangatlah besar, diterima atau pun tidak, Khilafah adalah ajaran Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih maupun sejarah Islam. Sejarah panjang yang membentang dalam kurun waktu yang sangat lama, kurang lebih 13 abad lamanya bertahan memimpin dunia. Maka tidaklah mengherankan keberadaannya telah nyata diketahui kebenaran sejarahnya, Khilafah telah bersentuhan dengan Nusantara.

Segala bentuk propaganda dan common enemy hanyalah upaya Barat melalui tangan panjangnya yang mencoba menghentikan dakwah Khilafah di bumi nusantara. Upaya-upaya tersebut mungkin saja dapat menghambat tegaknya Khilafah yang telah dijanjikan Allah melalui lisan mulia Muhammad Saw, “…kemudian akan kembali kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian.” Namun sungguh, janji Allah nyata, pertolongannya akan datang, tegaknya khilafah adalah suatu keniscayaan

Tak seharusnya negeri ini melupakan sejarahnya, perlu untuk mengorek masa lalu untuk melangkah ke masa depan. Kata Khilafah telah melekat pada nenek moyang negeri ini yang dulu nusantara. Upaya pengaburan dan penguburan sejarah telah dilakukan secara sistemis oleh kaum penjajah, hingga generasi saat ini tidak mengenal sejarahnya, merasa asing darinya, bahkan acuh saat kriminalisasi disematkan padanya.

Islam masuk ke bumi Nusantara bukanlah melalui ‘swastanisasi’ , namun Islam masuk ke Nusantara langsung melalui pintu kekuasaan. Saat kekhilafahan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran Khilafah. Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut: (muslimahnews.com, 03/03/2018)

Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….

Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia. Khilafah pun mendapatkan pengakuan dari raja Nusantara sehingga muncul ketertarikan mereka kepada dakwah Islam. Hal ini yang pada perkembangan selanjutnya menjadi faktor yang mengkonversi masyarakat di Nusantara terutama di para penguasanya menjadi masyarakat Muslim dan muncul pemerintahan baru bercorak kesultanan.

Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan Syaikh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli.

Kesultanan Aceh di Sumatra adalah bagian resmi wilayah kekuasaan Kekhalifahan Isla Turki Ustmani tidak terbantahkan lagi. Yg juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana Kesultanan Islam berdiri.

Penjajah Belanda lah yang menghapuskan jejak penerapan syariat Islam di Indonesia. Tiga cara Belanda melemahkan dan menghancurkan Islam di Indonesia antara lain, pertama, memberangus politik dan institusi politik. Kedua, kerjasama Raja/Sultan dg penjajah Belanda. Ketiga, menyebar para orientalis yg dipelihara oleh pemerintah penjajah. Begitulah cara penjajah melanggengkan cengkramannya, Barat dengan Sekulerisme Kapitalisme yang merusak masyarakat Islam hingga sekarang.

Hal tersebut dilanjutkan oleh negara yang menjadi mercusuar ideologi kapitalisme sekuler yaitu Amerika dan sekutunya. Mereka tidak membiarkan dakwah Islam berkembang hingga hari tulisan ini dibuat. Mereka terus melakukan propaganda dengan skala internasional untuk membendung dakwah Islam kaffah dan tegaknya kembali khilafah.



Strategi Umat Islam dalam Menghadapi Propaganda Jahat terhadap Ajaran Islam

Perilaku kebencian hingga upaya propaganda jahat terhadap ajaran Islam sejatinya hanyalah buah dari tatanan sistem kehidupan demokrasi. Demokrasi yang berpangkal pada sekularisme, sekularisme inilah yang menjadi biang masalah munculnya berbagai perilaku munafik dari mereka yang mengaku sebagai muslim. Pasalnya, sekularisme sejak awal menolak campur tangan Tuhan (baca: agama) dalam mengurusi kehidupan. 

Dalam konteks Islam, sekularisme jelas merupakan sebuah keyakinan dan sikap nifâq. Akibatnya, sekularisme telah melahirkan orang-orang munafik, khususnya di kalangan penguasa/pejabat, wakil rakyat, bahkan rakyat biasa. Bukankah munafik namanya, mengaku Muslim tetapi benci dengan ajaran Islam seperti halnya Khilafah yang saat ini setiap saat mereka gencarkan propaganda jahat terhadapnya. 

Selain dari itu para kaum munafik tidak mau kehidupannya diatur dengan syariah Islam. Bahkan bisa dengan lancang menyebut ajaran Islam sebagai ajaran terlarang. Mereka mengklaim diri sebagai seorang Muslim, akan tetapi perilaku yang mereka tampakkan justru tidak ada bedanya dengan perilaku orang-orang kafir yang tidak menyukai Islam. Inilah yang banyak terjadi pada umat dalam sebuah negara sekular seperti Indonesia saat ini.

Di balik false flag dan segala propaganda busuk terhadap ajaran Islam jelas sekali akan adanya sebuah skenario untuk menyerang Islam, umat Islam dan proyek perjuangan Islam. Sungguh miris ketika yang melakukan propaganda itu dilakukan oleh umat Islam sendiri yang dibeking oleh penguasa yang pada kibatnya, begitu mudah terjadinya pelecehan terhadap Islam secara masif; kriminalisasi ajaran Islam, ulama dan kaum Muslim yang sedang memperjuangkan tegaknya Islam.

Hendaknya para pelakunya untuk segera menyadarinya lalu bertaubat dengan menghentikan fitnah ataupun propaganda-propaganda yang dilakukan terhadap ajaran agama dan saudara-saudaranya. Karena sangat tidak layak dan haram hukumnya bagi kaum Muslim untuk terlibat dalam propaganda yang sejatinya adalah proyek dari orang-orang kafir yang ingin menghancurkan Islam.

Mengutip laman alwaie.co.id (1/1/2018) strategi umat dalam menghadapi berbagai propaganda jahat terhadap ajaran Islam saat ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Harus ada kelompok, organisasi atau partai politik yang mempunyai kesadaran politik yang benar untuk membongkar rancangan jahat (kasyf al-khuthath) ini. Pasalnya, ini bagian dari strategi penjajah, dengan menggunakan antek mereka, untuk mempertahankan penjajahan mereka, dengan cara melemahkan kekuatan rakyat yang dijajah, yaitu Islam. Target serangan anti “radikalisme” ini adalah melemahkan keyakinan umat Islam pada agamanya agar mereka tidak fanatik, tidak membela mati-matian agamanya dan permisif.

Kedua: Melawan dengan perang pemikiran. Propaganda terhadap ajaran Islam, seperti Khilafah adalah bentuk penyesatan opini dan politik (tadhlîl fikri wa siyâsi) yang jahat dan masif yang berasal kaum munafik dan kafir penjajah pembenci Islam, maka propaganda ini harus dilawan. Kaum kafir penjajah di Dunia Islam tidak akan berani secara langsung menyerang Islam dan kaum Muslim, maka dengan propaganda busuk terhadap ajaran Islam melalui orang muslim sendiri dan menciptakan Islam versi mereka, sehingga tidak tampak menyerang Islam. Padahal itu hanya kamuflase. Fakta ini harus diungkap agar umat Islam tidak tertipu.

Ketiga: Berjuang dengan dakwah pemikiran untuk merubah cara berpikir umat tentang realitas (tafkîr bi al-haqâ’iq) yang harus dibangun di dalam diri dan tokoh-tokoh mereka. Ini penting. Pasalnya, framing yang dibentuk oleh negara-negara kafir penjajah dan para antek mereka, dengan menggunakan media massa, dimulai dari sini.

Apa dan bagaimana berpikir tentang fakta riil (tafkîr bi al-haqâ’iq) itu? Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, At-Tafkîr, telah menjelaskan berpikir tentang fakta riil ini adalah menghasilkan kesimpulan yang presisi dengan fakta yang ada. Misalnya, fakta “radikalisme” yang dikonotasikan negatif, kemudian dinisbatkan pada Islam. Ini jelas menyalahi fakta Islam. Pasalnya, Islam itu “rahmatan li al-alamin”. Demikian juga saat dinyatakan, Islam “rahmatan li al-alamin” juga identik dengan Islam tahlil, yang tidak tahlil bukan Islam “rahmatan li al-alamin”. Ini juga menyalahi fakta.

Dalam berpikir tentang fakta riil ini, agar kita tidak terperosok, kita harus selalu memperhatikan dua hal: Pertama, pengaburan terhadap fakta. Kedua, pengaburan yang bisa memalingkan dari keberhasilan mendapatkan fakta yang sesungguhnya.

Upaya mengaburkan fakta biasanya dilakukan dengan melakukan penyamaan antara beberapa fakta atau pemikiran. Misalnya, menyamakan Khilafah ISIS dan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Penyamaan ini digunakan dengan tujuan untuk menghapus fakta yang benar tentang Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Bisa juga menggunakan salah satu fakta untuk menghapus fakta lain. Misal, fakta negara bangsa yang diklaim sebagai Khilafah untuk menghilangkan Khilafah yang sesungguhnya. Bisa juga dengaan menciptakan keraguan tentang salah satu fakta. Misal, dinyatakan bahwa Khilafah itu dulu, sekarang sudah tidak mungkin lagi, karena eranya berbeda. Dikatakan juga, tidak ada bentuk baku Khilafah, jadi boleh saja, Khilafah Pancasila, dan sebagainya. Inilah cara-cara yang dilakukan untuk mengaburkan fakta.

Adapun upaya pengaburan yang bisa memalingkan dari keberhasilan mendapatkan dukungan fakta yang sesungguhnya, biasanya dilakukan dengan mewujudkan berbagai tindakan atau pemikiran yang bisa memalingkan dari fakta yang sebenarnya. Misal, mendirikan Khilafah melalui jihad, atau parlemen. Dua-duanya bisa memalingkan umat dari keberhasilan mendapatkan fakta Khilafah yang sebenarnya. Pasalnya, dengan jihad, atau kudeta, umat akan terbelah, sehingga Khilafah yang berdiri di atasnya juga lemah, akhirnya tumbang. Khilafah yang diperoleh melalui jalan parlemen juga lemah karena merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan.

Karena itu berbagai upaya pengaburan ini harus benar-benar diwaspadai. Caranya adalah dengan memegang teguh fakta sekuat-kuatnya. Selain itu juga harus terus berpikir mendalam dan ikhlas dalam berpikir untuk mendapatkan fakta yang sebenarnya. Di antara faktor yang sangat membahayakan, karena tidak menggunakan fakta, adalah mengabaikan fakta sejarah, terutama fakta primer. 

Pasalnya, sejarah juga mengandung fakta yang tidak berubah. Di dalamnya juga ada berbagai pandangan yang lahir dari keadaan. Sebagai contoh, pertarungan antara Islam dan kekufuran adalah fakta sejarah yang tidak pernah berubah. Islam menang atas kekufuran ketika Islam diemban oleh negara juga fakta sejarah yang tidak akan berubah. Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia adalah fakta sejarah yang tidak berubah. Meski terhadapnya ada banyak pemikiran, baik positif maupun negatif, bergantung situasi dan kondisinya.



Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama. Ekonomi terancam krisis, pengangguran, kemiskinan, bergantungnya negeri ini pada utang luar negeri diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalisme sekuler. Anehnya mengapa yang dilawan adalah dakwah Islam kaffah dan khilafah dengan dalil radikalisme? Hingga dakwah khilafah mendapatkan stigma negatif dan dijadikan “false flag” di negeri ini? Padahal khilafah ajaran Islam dan mendakwahkannya adalah mahkota kewajiban. Memusuhi ajaran Islam sama saja memusuhi Allah SWt yang menguasai alam raya. Tentunya akan menuai kekalahan dan kehancuran.

Kedua. Propaganda-propaganda jahat untuk mengkriminalisasi Khilafah ajaran Islam menimbulkan banyak permasalahan di tengah masyarakat. Diantara dampak yang ditimbulkan antara lain: Pertama, adanya upaya pengawasan terhadap kajian-kajian Islam. Kedua, muncul banyaknya kejadian pembubaran terhadap kajian-kajian Islam. Ketiga, ASN ditakuti dengan pemecatan bila terbukti pro Khilafah. Keempat, kriminalisasi terhadap aktivis pejuang khilafah. Kata Khilafah telah melekat pada nenek moyang negeri ini yang dulu nusantara. Upaya pengaburan dan penguburan sejarah telah dilakukan secara sistemis oleh kaum penjajah, hingga generasi saat ini tidak mengenal sejarahnya.

Ketiga.  Strategi umat dalam menghadapi berbagai propaganda jahat terhadap ajaran Islam saat ini adalah: Pertama, harus ada kelompok, organisasi atau partai politik yang mempunyai kesadaran politik yang benar untuk membongkar rancangan jahat (kasyf al-khuthath) ini. Kedua, Melawan dengan perang pemikiran. Propaganda terhadap ajaran Islam, seperti Khilafah adalah bentuk penyesatan opini dan politik (tadhlîl fikri wa siyâsi) yang jahat dan masif yang berasal kaum munafik dan kafir penjajah pembenci Islam. Ketiga, Berjuang dengan dakwah pemikiran untuk merubah cara berpikir umat tentang realitas (tafkîr bi al-haqâ’iq) yang harus dibangun di dalam diri dan tokoh-tokoh mereka.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas, Dewi Srimurtiningsih, dan Liza Burhan

Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo
Analis Muslimah Voice dan Mutiara Umat


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar