Umat Islam dan "Sindrom Stockholm"


Jika diasosiasikan dengan manusia, Komunisme itu sadis. Berwajah bengis. Rivalnya, Kapitalisme. Tampil lebih humanis. Berwajah manis. Namun, berhati iblis. Artinya, Kapitalisme sebetulnya tak kalah kejam dari Komunisme. Keduanya —Kapitalisme maupun Komunisme— sama-sama anti Islam.

Fakta sejarah berbicara: Tak sampai 100 tahun sejak kelahirannya, Komunisme telah banyak menumpahkan darah manusia. Rezim komunis Uni Sovyet di bawah Lenin membantai 500 ribu rakyatnya sepanjang 1917-1923. Penerusnya, Stalin, membantai 46 juta rakyatnya. Termasuk di dalamnya 6 juta petani “kulak” sepanjang 1925-1953. Rezim komunis Cina di bawah Mao Tsetung menjagal 50 juta penduduknya dalam kurun 1947-1976. Rezim komunis Kamboja, Pol Pot, membunuh 2,5 juta rakyatnya. Rezim sosialis Afganistan di bawah Najibullah mencabut nyawa 1,5 juta rakyatnya sepanjang 1978-1987. Rezim komunis yang dibantu Rusia Sovyet menjagal 1 juta rakyat di berbagai Negara Eropa Timur, 150 ribu di Amerika Latin dan 1,7 juta rakyat di berbagai Negara Afrika. Di Tanah Air, sejarah PKI juga berlumuran darah, khususnya umat Islam (Kaffah, No. 147, 26/6/2019).

Karena itu wajar jika banyak orang di seluruh dunia, termasuk umat Islam di Tanah Air, begitu peka dengan isu kebangkitan kembali Komunisme. Pasalnya, suasana traumatik akibat kekejaman rejim komunis —termasuk PKI di Tanah Air— demikian membekas di dalam jiwa. Tak mungkin hilang begitu saja.

Namun sayang, yang acapkali terlupakan adalah trauma sejarah akibat penjajahan yang dilancarkan oleh negara-negara imperalis Barat yang notabene pengemban ideologi Kapitalisme. Bahkan trauma sejarah akibat penjajahan oleh negara-negara Barat pengusung ideologi Kapitalisme ini seolah hilang dari ingatan umat.

Padahal jelas, rejim Barat kapitalis-imperialis tak kalah sadis dan bengis. Ratusan juta rakyat di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, pernah merasakan kekejaman mereka. Khususnya di era penjajahan fisik (pendudukan militer). Belum lagi puluhan juta korban Perang Dunia I dan II yang aktor utamanya adalah negara-negara Barat kapitalis.

Dalam Perang Dunia I, hampir 10 juta prajurit tewas. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan jumlah korban militer yang tewas dari seluruh peperangan pada seratus tahun sebelumnya. Diperkirakan 21 juta orang terluka dalam pertempuran. Para ahli memperkirakan bahwa sebanyak 13 juta penduduk sipil meninggal sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari peperangan.

Jumlah korban Perang Dunia II lebih banyak lagi. Sekitar 24 juta tentara tewas dan 32 juta rakyat sipil meninggal. Total korban Perang Dunia II tidak kurang dari 62 juta jiwa.

Usai Perang Dunia II, AS keluar sebagai pemenang dan menjadi satu-satunya negara adidaya kapitalis di dunia, selain Uni Sovyet yang komunis. Sebagai negara penjajah, AS adalah gembong Kapitalisme saat ini. AS terlibat dalam setidaknya 20 kali intervensi dan okupasi militer serta penggulingan banyak kepala negara. Termasuk Soekarno di Indonesia. Selain itu AS melakukan intervensi politik —baik langsung maupun melalui lembaga internasional seperti PBB, IMF, Bank Dunia, WTO, dll— terhadap ratusan negara di dunia.

Seiring dengan itu, sejak berakhirnya era penjajahan fisik yang ditandai oleh “kemerdekaan” negara-negara terjajah, kekejaman ideologi Kapitalisme dengan imperialismenya seolah hilang dari benak banyak orang, khususnya umat Islam. Ini terjadi seiring dengan mundurnya negara-negara imperialis Barat dari negara-negara jajahan mereka. Bukan demi membiarkan negara-negara jajahan tersebut benar-benar merdeka dan mandiri. Namun, agar negara-negara tersebut segera masuk ke dalam perangkap penjajahan (imperialisme) baru yang telah mereka siapkan.

Sebagaimana diketahui, imperialisme (penjajahan) adalah metode baku
(thariqah) dari negara-negara pengusung ideologi Kapitalisme. Yang berubah adalah cara (uslub)-nya saja. Sebelum Perang Dunia I dan II, penjajahan (imperialisme) lebih bersifat fisik, yakni pendudukan (okupasi) secara militer. Inilah yang dilakukan oleh Inggris, Prancis, Jerman, AS, Belanda, dll. Namun, setelah Perang Dunia I dan II, penjajahan secara fisik ini banyak ditinggalkan. Negara-negara imperialis Barat lalu mengubah cara penjajahannya ke penjajahan non-fisik. Ini dilakukan melalui penjajahan pemikiran, politik dan terutama ekonomi.

Penjajahan pemikiran tentu melalui penyebaran dan propaganda ide-ide Barat kapitalis seperti demokrasi, HAM, pluralisme, globalisasi, dll. Dengan alasan demokrasi dan HAM, misalnya, negara-negara imperialis Barat bisa terus menekan negara-negara tertentu agar tunduk pada kemauan mereka.

Penjajahan politik antara lain dilakukan dengan intervensi politik secara langsung maupun secara tidak langsung, termasuk mempengaruhi hasil-hasil Pemilu di berbagai negara. Tujuannya tentu agar para penguasa yang terpilih bisa dikendalikan sebagai agen negara penjajah. Inilah yang antara lain tampak pada kasus Pemilu di Irak, Afganistan, dll.

Adapun penjahan ekonomi dilakukan antara lain melalui bantuan (baca: utang) luar negeri melalui lembaga-lembaga rentenirr intenasional seperti IMF dan Bank Dunia. Jelas, utang tersebut, selain harus dibayar plus bunganya yang memberatkan, juga diberikan dengan syarat-syarat tertentu. Di antaranya adalah kemudahan investasi asing. Tujuannya tentu untuk mengeruk kekayaan alam negara-negara jajahan. Jadi, tidak aneh jika hampir semua negara yang terjerat utang IMF dan Bank Dunia, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, bukan makin mandiri dan maju, malah makin terpuruk. Inilah yang antara lain terjadi di Indonesia. Terutama pasca Indonesia “dibantu” oleh IMF saat krisis moneter tahun 1998 pada era Soeharto.

Di Indonesia, penjajahan non-fisik boleh dikatakan dimulai justru sejak Indonesia merdeka. Dengan kata lain, kemerdekaan nasional sesungguhnya menandai masuknya Indonesia ke dalam perangkap penjajahan baru. Sejak era Soekarno hingga rezim saat ini, cengkeraman penjajahan baru —yang dilancarkan AS— masih sangat kuat. Itulah mengapa tambang emas di Papua, misalnya, yang telah dikuasai oleh perusahaan AS, PT Freeport, lebih dari setengah abad, tak pernah bisa dikembalikan ke pangkuan bangsa Indonesia hingga hari ini. Bahkan saat kontraknya telah berakhir. Bukan susah, tetapi karena rezim penguasanya —sejak rezim Orba hingga rezim hari ini— tak ada yang berani mengambil risiko jika harus berlawanan dengan kemauan AS. Belum lagi penguasaan berbagai sumberdaya alam oleh pihak asing dan aseng seperti migas (minyak dan gas), minerba (mineral dan batubara), dll.

Alhasil, era penjahan baru yang dilancarkan negara-negara kapitalis Barat, khususnya AS, terutama di negeri ini, sesungguhnya sudah lama berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Mengapa? Tidak lain karena bangsa terjajah di Dunia Ketiga, khususnya Dunia Islam, termasuk umat Islam di Indonesia, tidak merasa sedang dijajah. Padahal kekayaan alam mereka telah lama dikuras habis oleh negara-negara kapitalis asing melalui perusahaan-perusahaan mereka. Padahal pemikiran dan budaya mereka telah lama dirusak oleh ide demokrasi, HAM, pluralisme, dll. Padahal para penguasa mereka telah lama disandera oleh ragam kepentingan asing. Mereka telah lama menjadi komprador asing. Tunduk dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis Barat, khususnya AS. Terbukti, banyak UU —terutama di bidang ekonomi— yang dikeluarkan oleh rezim penguasa dan DPR lebih banyak berpihak kepada pihak asing dan aseng daripada kepada rakyat Indonesia. Contohnya UU Investasi, UU Migas, UU Minerba, dll.

Itulah piawainya negara-negara imperalis Barat, khususnya AS, pengemban utama ideologi Kapitalisme, dalam mengemas dan memoles penjajahan mereka sehingga tidak tampak buruk di mata bangsa-bangsa terjajah. Alhasil, mereka mampu tetap melakukan penjajahan (secara non-fisik) atas negara-negara lain tanpa disadari oleh rakyat negara-negara terjajah tesebut. Sayangnya, itu terjadi juga atas negeri ini.

Lalu apa kaitannya paparan di atas dengan “Sindrom Stockholm” yang menjadi judul artikel ini? Berikut penjelasannya.


"Sindrom Stockholm"

“Sindrom Stockholm” adalah respon psikologis saat dalam kasus-kasus tertentu para sandera perampokan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada para penyanderanya tanpa mempedulikan bahaya atau risiko yang telah, sedang dan akan dialami oleh para sandera itu.

Sindrom ini dinamai berdasarkan kejadian perampokan Sveriges Kreditbank di Stockholm (Swedia) pada tahun 1973. Perampok bank tersebut adalah Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson. Keduanya bersenjata. Mereka merampok dan menyandera karyawan bank tersebut dari 23-28 Agustus pada tahun 1973.

Ketika akhirnya para korban sandera dapat dibebaskan, reaksi mereka malah di luar dugaan. Mereka memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka. Mereka secara emosional berubah menyayangi dan membela para penyandera mereka. Para penyandarea itu dianggap sebagai pahlawan. Sandera yang bernama Kristin bahkan jatuh cinta dengan salah seorang perampok/penyandera dan membatalkan pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan.

Dari sanalah awal mula istilah “Sindrom Stockholm”. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan/penyanderaan.

Persis seperti kisah nyata di atas, bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, seolah sedang mengidap “Sindrom Stockholm”. Buktinya, mereka seperti tidak merasakan sedang “dirampok” dan “disandera” oleh rezim pengusung ideologi Kapitalisme. Mereka bahkan seperti merasa “enjoy” hidup di bawah sistem Kapitalisme.

Padahal kekayaan alam milik mereka dikuras habis oleh para kapitalis. Sejumlah perusahaan kapitalis asing seperti PT Freeport, Chevron, Exxon Mobile, Newmont, PetroChina, ConocoPhilips, British Petroleum, dan masih banyak perusahaan asing lainnya telah lama menguras kekayaan alam di Indonesia. Di antaranya migas. Sebanyak 74% blok migas dikuasai perusahaan asing (Merdeka.com, 2/8/2012).

Perusahaan asing juga menguasai 75 persen tambang batubara, bauksit, nikel, dan timah; menguasai 85 persen tambang tembaga dan emas; serta menguasai 50 persen perkebunan sawit (Tempo.co, 31/7/2013).

Ironisnya, kebanyakan rakyat Indonesia seolah tidak merasa dirugikan. Buktinya, mereka seolah tak bereaksi sama sekali. Jangankan protes. Apalagi demonstrasi besar-besaran menentang penjajahan Kapitalisme —melalui perusahaan-perusahaan asing— yang telah lama mencengkeramkan kukunya di Indonesia.

Bahkan kalangan nasionalis pun —yang seharusnya anti imperialisme— tak banyak bersuara. Tak ada lagi teriakan, “Inggris kita linggis. Amerika kita setrika!” Sebagaimana dulu disuarakan Soekarno.

Sebagaimana diketahui, salah satu pidato Soekarno adalah tentang perlawanannya terhadap PBB, Amerika Serikat dan Inggris. Soekarno lantang beteriak, "Persetan dengan PBB! Amerika kita setrika! Inggris kita linggis…! Selama kekuasaan dan kekuatan Amerika dan Inggris belum hancur-lebur, maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat. Oleh karena itu, semboyan kita sekarang ini ialah hancurkan kekuasaan Amerika dan hancurkan kekuasaan Inggris! Amerika kita setrika! Inggris kita linggis! Go to hell with your aid!" (Republika.co.id, 6/6/2016).

Yang terjadi, kalangan nasionalis justru terkesan bermesraan dengan para kapitalis asing maupun aseng yang notabene para perampok kekayaan alam milik rakyat negeri ini. Bahkan mereka —seperti sandera bernama Kristin dalam kisah nyata di atas— seolah jatuh cinta kepada para rezim kapitalis perampok itu.

Sebaliknya, mereka malah memerangi para pejuang Islam, khususnya para pejuang syariah dan Khilafah, yang dengan tulus berjuang ingin menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman asing, baik pengusung ideologi Komunisme maupun Kapitalisme.

Khatimah

'Ala kulli hal, akhirnya sudah saatnya bagi bangsa ini, khususnya umat Islam, tak hanya waspada terhadap bahaya laten Komunisme. Mereka pun harus terus menyuarakan bahaya nyata Kapitalisme. Bagaimana pun, bahaya Kapitalisme yang nyata ini jauh lebih penting dan urgen untuk dienyahkan segera, sembari tetap waspada terhadap bahaya laten Komunisme yang sewaktu-waktu bisa bangkit kembali.

Terakhir, tentu saja umat Islam dan bangsa ini seharusnya mulai fokus pada upaya memperjuangkan penerapan Islam secara kaffah. Sebabnya, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, bangsa dan negeri ini akan bisa menngenyahkan segala ancaman dan bahaya dari Komunisme maupun Kapitalisme. Pasalnya, secara i’tiqadi saja, Islam jelas anti terhadap ideologi Komunisme yang didasarkan pada akidah materialisme (ateisme), sekaligus anti terhadap ideologi Kapitalisme yang didasarkan pada akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Karena itu hanya ada tiga pilihan bagi kaum Muslim. Apakah akan memilih ideologi Islam, Kapitalisme atau Komunisme? Muslim yang berakal sehat tentu hanya akan memilih ideologi Islam, sekaligus mencampakkan Komunisme maupun Kapitalisme.

Di sinilah pentingnya Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan diterapkan secara total dalam intitusi negara. Untuk itu, menegakkan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah adalah jalan satu-satunya.

WalLahu a’lambi ash-shawab.

Oleh: Arief B. Iskandar

Posting Komentar

0 Komentar