Tantangan Pendidikan Islam di Tengah Kehidupan Sekuler: Mampukah Mencetak Generasi Cemerlang?



Sebanyak 37 pasangan ABG terjaring razia di kamar hotel di Jambi, Rabu (8/7/2020) malam. Mereka terjaring Tim gabungan TNI/Polri bersama Pemerintah Kecamatan Pasar Kota Jambi yang mengelar razia penyakit masyarakat (pekat). 

Puluhan remaja itu terjaring petugas di sejumlah hotel yang ada di Jambi. Ironisnya, saat digerebek, petugas menemukan alat kontrasepsi berupa kondom, minuman keras, serta obat kuat. (kompas.com, 08/07/20)

Pesta seks yang melibatkan remaja SMP tidak cuma terjadi di Jambi. Hal serupa juga terjadi di Pinrang, Sulawesi Selatan, melibatkan 8 orang remaja. Bedanya, 8 remaja tersebut digerebek bukan di hotel, melainkan di kamar kos. Mereka sengaja menyewa kamar kos selama tiga hari untuk berpesta seks.

Kasat Reskrim Polres Pinrang, AKP Dharma Praditya Negara mengatakan, 8 remaja itu diamankan ketika pihaknya sedang menjalankan razia narkoba.
(indozone.id, 15/07/20)

Fakta ini menunjukkan gagalnya sistem pendidikan saat ini yang tidak mampu untuk mewujudkan generasi yang berkepribadian baik. Meskipun pemerintah menjalankan pendidikan karakter, namun output yang dihasilkan tetaplah generasi yang rusak dan jauh dari Islam.

Di sisi lain, keluarga muslim menginginkan buah hatinya menjadi anak yang beriman dan bertaqwa, namun hal itu tidak mampu dipenuhi oleh sistem pendidikan sekuler saat ini.

Hanya dengan sistem pendidikan islam akan lahir intelektual yang hebat yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya. Generasi cemerlang berkepribadian Islam yang akan menjadi cikal bakal dalam membangun peradaban islam yang gemilang.

Sistem Pendidikan Sekuler Sulit Menghasilkan Generasi Cemerlang atau Creative Minority

Generasi cemerlang atau Creative Minority merupakan sebuah konsep yang seharusnya akrab bagi para baik itu mahasiswa, dosen, guru, pegawai, maupun alumni sekolah atau perguruan tinggi sebagai pihak yang berkompeten terhadap jatuh bangunnya peradaban suatu bangsa. Konsep ini pertama kali digagas oleh Arnold Joseph Toynbee, seorang sejarawan Inggris melalui buku yang bertitel A Study of History yang diterbitkan pada tahun 1934. 

Menurut Toynbee, kemampuan masyarakat untuk tetap bertahan itu dimotori oleh sekelompok kecil orang yang secara kreatif menggagas dan mengaplikasikan ide dan solusi-solusi baru untuk menghadapi tantangan yang ada. Ide dan solusi tersebut sangatlah tepat dan sesuai dalam menjawab tantangan yang ada, sehingga kemudian diadopsi oleh masyarakat secara keseluruhan. Sekelompok kecil orang inilah yang kemudian disebut Toynbee sebagai “The Creative Minority“.

The Creative Minority ini adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki idealisme, jiwa kepemimpinan sejati, kemampuan, kemauan dan keberanian, untuk melawan arus pendapat dan perilaku umum yang kacau dan kehilangan nilai-nilai serta norma-norma hukum dan etika yang luhur. Kita sebagai bangsa yang besar harus mempunyai visi untuk menjadi sebuah komunitas cendekiawan yang mampu menampilkan ciri creative minority di atas.

Sayangnya tujuan pendidikan saat ini untuk membentuk generasi cemerlang masih jauh dari harapan. Berbagai kasus yang saat ini telah menimpa sebagian besar generasi sekarang sungguh semakin memprihatinkan. 

Masih teringat pada tahun 2018, terjadi peristiwa hamil massal yang dialami 12 siswi SMP di satu sekolah di Lampung. Di samping itu peristiwa yang menghebohkan warga Garut terkait adanya grup gay pelajar di facebook yang beranggotakan grup mencapai 2500 orang. (Tribunnews.com, 10/10/2018). 

Tahun 2019, seks bebas juga masih menjadi masalah generasi muda di Indonesia. Sebuah studi bahkan menemukan masih ada anak muda yang melakukan hubungan seks penetrasi tanpa menggunakan kondom.

Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah.
(liputan6.com, 19/07/2019)

Sementara, baru-baru ini puluhan remaja SMP terjaring petugas di sejumlah hotel yang ada di Jambi. Dari 37 pasangan yang diamankan, ada yang hendak menggelar ulang tahun dengan pesta seks. Saat ditangkap, petugas menemukan barang bukti berupa satu kotak alat kontrasepsi dan obat kuat. 

Camat Pasar Kota Jambi, Mursida mengatakan, penertiban tersebut dilakukan berdasarkan adanya laporan dari masyarakat bahwa banyaknya remaja yang menggunakan kamar hotel saat ulang tahun.

Terjaringnya 37 pasangan ABG itu membuat Mursida mengaku miris. Pasalnya, dari banyak razia yang telah dilakukan. Baru pada razia ini yang memecahkan rekor, karena semua yang terjaring anak di bawah umur.

Jika kita potret kondisi generasi muda sekarang maka kita seperti akan menyaksikan kehancuran bangsa di masa yang akan datang. Bukan hanya pesta seks yang menimpa remaja, tetapi juga kasus narkoba, tawuran, pornoaksi, kriminalitas dan sejumlah kejahatan lainnya tumbuh bak jamur di musim hujan yang menempel pada tubuh generasi muda.

Persoalan generasi adalah persoalan yang sistemik. Kerusakan generasi muda hakekatnya disebabkan beberapa faktor yang berjalin berkelindan, tak bisa dipisahkan. Bukan sekedar faktor keluarga saja, tetapi juga melibatkan masyarakat dan juga negara.

1. Keluarga

Sistem hidup masyarakat saat ini yang didominasi paham kapitalis telah menempatkan materi sebagai standar kebahagiaan dalam keluarga. Akibatnya, keluarga menjadi miskin visi pendidikan. Hidup mereka hanya untuk sekedar mengumpulkan harta dan bagaimana menghabiskannya untuk kesenangan sesaat. Suami dan istri sama-sama disibukkan oleh kerja dan karier. Sebagian menjadikannya sebagai tujuan hidup, dan sebagian yang lain terdorong oleh kebutuhan dan keterpaksaan. 

Akibatnya peran dan kewajiban suami istri yang diatur oleh hukum-hukum syara’ menjadi terabaikan. Anak-anak pun jadi kehilangan pegangan, kehilangan panutan dan sedikit demi sedikit lepas kontrol. Mereka mulai mencari perhatian, kasih sayang dan pengakuan di luar rumah.

Anak bebas membantah orang tuanya. Anak bebas berkeyakinan sekalipun berbeda dengan orang tua. Istri bebas bekerja, berhias dan pergi kemana pun ia suka dengan alasan kepentingan kerja. Suami juga bebas bergaul dan bepergian dengan teman wanitanya, dan seterusnya. Konflik pun bermunculan di tengah keluarga. Pergaulan bebas, perselingkuhan, dan terkadang berujung dengan perceraian.

Sementara, nilai-nilai agama semakin menjauh dari keluarga karena terkikis oleh paham sekuler. Agama hanya dihayati sebatas ritual belaka dan kehilangan ruhnya sebagai pedoman dan peraturan hidup. Pendidikan agama hanya dipelajari di bangku sekolah 3 sampai 4 jam per minggu. Setelah lulus sekolah, belajar agama pun berhenti.

Akibatnya keluarga kehilangan orientasi hidup yang seharusnya. Nasehat dan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar pun semakin langka. Anak tidak mau mendengarkan nasehat orang tua, dan sebaliknya orang tua semakin segan untuk menasehati anaknya karena merasa tidak bisa atau tidak paham. Pada akhirnya, pendidikan di tengah keluarga pun menjadi macet.

Dengan kondisi seperti ini, ketahanan keluarga menjadi rapuh. Sewaktu-waktu, institusi keluarga bisa hancur. Tentu yang menjadi korban lagi-lagi adalah anak. Dan harapan untuk membentuk generasi cemerlang dari pendidikan keluarga semacam ini pun akhirnya menjadi sirna.

2. Masyarakat

Kerusakan generasi akiba keluarga diperburuk dengan kondisi sosial kultural yang juga rusak. Lingkungan masyarakat didominasi oleh liberialisme. Masyarakat bebas bersikap, bertingkah laku, berpendapat dan sebagainya.

Padahal seharusnya masyarakat diharapkan mampu untuk mengcover materi-materi pendidikan yang tak tersampaikan di dalam keluarga dan institusi pendidikan atau memperkuat fakta-fakta dalam kehidupan riil. 

Melalui media massa, semestinya masyarakat menguatkan suasana keimanan dan ketaatan terhadap Islam dan hukum-hukumnya. Namun dalam sistem kapitalis, media justru menjadi sarana menjajakan gaya hidup materialis dan hedonis. Gaya hidup yang mengedepankan kesenangan dan kenikmatan materi adalah sarana bagi kaum kapitalis untuk memastikan barang-barang produksi mereka laris manis di pasaran.

Kaum kapitalis merekayasa keinginan masyarakat menjadi kebutuhan melalui media. Gadget, fashion, aksesoris sampai kuliner, menjadi kebutuhan umum terutama para generasi muda setelah diiklankan oleh artis-artis idolanya. Apapun yang dipakai sang idola diburu tanpa pertimbangan kebutuhan lagi.

Naifnya, generasi sekarang melahap berbagai informasi tersebut tanpa penyaringan. Tak ayal, terjadilah perusakan secara massif terhadap kepribadian mereka. Untuk bisa memenuhi biaya tinggi dalam mengikuti gaya hidup idola mereka, sebagian remaja putri tak segan untuk melacurkan diri, sementara yang laki-laki terjun dalam dunia kriminal.

3. Negara

Rusaknya generasi sekarang semakin diperparah oleh negara yang menerapkan sistem pendidikan sekuler. Akibatnya kurikulum yang diterapkan pun kurikulum sekuler. Artinya, materi dan metode pengajaran mata pelajaran pendidikan agama Islam didesain untuk menjadikan Islam hanya sebagai pengetahuan belaka. Disamping juga minimnya jam mata pelajaran pendidikan agama yang hanya tiga sampai empat jam dalam sepekan.

Sistem pendidikan sekuler inilah yang memporak-porandakan kegemilangan generasi dan menyulapnya menjadi generasi hedonis yang sarat dengan pergaulan bebas. Sistem bobrok inilah yang menafikan hukum ilahi dalam mengatur kehidupan. 

Di samping itu, sistem pendidikan yang berbasis kapitalis pun kian melengkapi kehancuran moral generasi sekarang. Tak ada penanaman aqidah yang kokoh dan kuat. Yang ada hanyalah memfokuskan generasi pada materi dan prestasi.

Begitulah gambaran dari kerusakan generasi akibat diterapkannya sistem pendidikan sekuler. Lantas, apa langkah pemerintah dalam mengatasinya?


Upaya Pemerintah dalam Mewujudkan Generasi Cemerlang

Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan anak yang berkarakter baik dan berdaya saing adalah membuat program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK merupakan gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik, melalui harmonisasi hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga.

Program ini sudah dimulai pada 2016, dengan jumlah sekolah yang ikut program sebanyak 542 sekolah, kemudian pada 2017 meningkat menjadi 64.213 sekolah dan pada 2018 juga mengalami kenaikan sebanyak 188.646 sekolah.

PPK merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan anak yang berkarakter baik dan berdaya saing. Tidak hanya sopan santun saja, tetapi memiliki karakter pekerja keras, jujur, mandiri, disiplin, berani ambil risiko, dan memiliki nasionalisme tinggi.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter tertentu kepada peserta didik, di mana di dalamnya terdapat komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut.

Jadi, pendidikan karakter adalah suatu usaha pemerintah secara sadar dan terencana untuk mendidik dan memberdayakan potensi peserta didik guna membangun karakter pribadinya sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.

Secara umum fungsi pendidikan ini adalah sebagai pembentuk karakter peserta didik sehingga menjadi pribadi yang bermoral, berakhlak mulia, bertoleran, tangguh, dan berperilaku baik.

Adapun beberapa fungsi pendidikan karakter adalah sebagai berikut;

Perta. Untuk mengembangkan potensi dasar dalam diri manusia sehingga menjadi individu yang berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik.

Kedua. Untuk membangun dan memperkuat perilaku masyarakat yang multikultur.

Keitga. Untuk membangun dan meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam hubungan internasional.

Pada dasarnya tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk membangun generasi bangsa yang tangguh, di mana masyarakatnya berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, dan bergotong-royong.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka di dalam diri peserta didik harus ditanamkan nilai-nilai pembentuk karakter yang bersumber dari Agama, Pancasila, dan Budaya.

Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka pendidikan berbasis karakter diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan yang telah disebutkan tersebut.

Sayangnya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam sistem pendidikan tidak terlepas dari intervensi asing yang berasaskan pada ideologi kapitalisme sekuler. Dimana pendidikan hanya dijadikan sebagai alat kepentingan penjajahan mereka, serta memusnahkan wahyu sebagai otoritas ilmu tertinggi dalam dunia pendidikan. 

Program pendidikan karakter yang dipandang pemerintah dapat memajukan dan membangun kualitas para intelektual, faktanya dalam program tersebut penuh dengan muatan sekulerisasi. Hal itu terlihat dari program tersebut yang hanya mengarahkan para intelektual untuk menjadikan pendidikan sekadar sebagai ladang untuk memanen kesuksesan dunia dengan mampu bersaing dalam dunia kerja.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan tahun periode 2019-2024 Nadiem Makarim bahwa kita akan membuat terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM, SDM siap kerja, siap berusaha, yang link and matched antara pendidikan dan industri. (kumparan.com, 23/10/2019).

Dari pernyataan tersebut semakin tampak jelas bahwa pendidikan saat ini hanya diarahkan pada kepentingan materi bukan tujuan sebagai jalan mencerdaskan dan melahirkan generasi cemerlang.

Lebih jauh lagi, dalam implementasinya justru menyalahi Islam. Hal ini tampak antara lain dari kurikulum pendidikan yang tak memberi ruang cukup bagi pembentukan kepribadian Islami melalui upaya memahamkan tsaqafah (ilmu-ilmu) Islam. Sementara penguasaan materi seperti sains, matematika dan literasi (merujuk penilaian PISA) jauh lebih dominan.

Pendidikan kapitalistik memang tidak dirancang untuk membentuk karakter yang berkepribadian Islam, tapi justru membentuk pribadi sekuler. Capaian pendidikan lebih mengutamakan aspek kognitif atau pengetahuan. Diperparah juga oleh materi kurikulumnya sangat padat, bahkan saling tumpang tindih.

Model evaluasi pembelajaran (ujian dan ulangan) juga menonjolkan aspek nilai. Pada akhirnya, orientasi ekonomi dan dunia kerja menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan.

Akibatnya program PPK dari pemerintah belum mampu membentuk generasi cemerlang malah justru kerusakan generasi menjadi semakin parah. Lantas, bagaimana cara agar membentuk generasi cemerlang?

Strategi Islam dalam Mencetak Generasi Cemerlang Berkepribadian Islam

Sekulerisme dan kapitalisme sebagai dasar bagi sistem di negeri ini termasuk sistem pendidikan. Hasil dari pendidikan sekuler adalah kerusakan pada generasi penerus. Pendidikan sekuler bertumpu hanya pada kepentingan dunia. Yang dikejar adalah prestasi dan materi dengan mengabaikan peran dan aturan Allah.

Sekulerisme membuat sistem ditentukan menurut hawa nafsu manusia. Sistem akhirnya sarat kepentingan termasuk kepentingan bisnis. Sekulerisme pula yang membuat pendidikan di negeri ini jauh dari membentuk ketakwaan, akhlak mulia dan kepribadian islami anak.

Sementara kapitalisme yang bertumpu pada manfaat materi menjadikan sistem pendidikan lebih menitikberatkan pada materi ajar yang bisa memberikan manfaat materiil termasuk memenuhi keperluan dunia usaha. Pendidikan akhirnya lebih fokus pada penguasaan sains teknologi dan keterampilan. Prestasi dan keberhasilan pendidikan hanya diukur dari nilai-nilai akademis, tanpa memperhatikan bagaimana keimanan, ketakwaan, akhlak, perilaku, kepribadian dan karakter anak didik. Itulah yang dibuktikan selama proses Ujian Nasional. Bukan hanya siswa, namun sampai orang tua bahkan guru dan pihak sekolah pun melakukan berbagai cara termasuk kecurangan untuk mengejar nilai-nilai akademis anak didiknya.

Padahal tujuan membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, memiliki karakter, menguasai sains teknologi dan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan hanya bisa diwujudkan melalui sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam memang bertujuan untuk mewujudkan hal itu. Tujuan itu akan diejawantahkan dalam semua rincian sistem pendidikan.

Berikut ini strategi Islam dalam mencetak generasi cemerlang berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan Islam, yaitu:

Pertama. Sistem pendidikan islam menjadikan akidah Islamiyah sebagai dasarnya

Sistem pendidikan Islam memfokuskan pada keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia yang akan ditanamkan pada anak didik. Halal haram akan ditanamkan menjadi standar. Dengan begitu anak didik dan masyarakat nantinya akan selalu mengaitkan peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan ketakwaannya.

Dengan semua itu, pendidikan islam akan melahirkan pribadi muslim yang taat kepada Allah, mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Ajaran Islam akan menjadi bukan sekedar hafalan tetapi dipelajari untuk diterapkan, dijadikan standar dan solusi dalam mengatasi seluruh persoalan kehidupan.

Kedua. Sistem pendidikan islam mewajibkan umatnya untuk mengusai sains dan teknologi demi memperbaiki kondisi dan taraf hidup masyarakat bukan untuk mengejar kepentingan dunia.

Jika pendidikan sekuler berorientasi pada materi dan prestasi beda dengan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam berlandaskan pada aqidah yang kuat sehingga ketika disandingkan dengan materi sains, teknologi dan keterampilan, maka hasilnya adalah manusia-manusia berkepribadian Islam sekaligus pintar dan terampil. 

Namun, kepintaran dan keterampilan yang dimilikinya tersebut tidak untuk mengejar kemewahan duniawi akan tetapi digunakan untuk memperbaiki kondisi dan taraf kehidupan masyarakat.

Ketiga. Sistem pendidikan islam mewajibkan negara untuk menjamin dan menyediakan seluruh fasilitas pendidikan

Untuk mewujudkan semua itu, Islam menetapkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. 

Daulah Islamiyah juga wajib menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan. Membangun gedung-gedung sekolah dan kampus, menyiapkan buku-buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta memberikan tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar. 

Bukan hanya dukungan secara fisik, Negara juga wajib menyusun kurikulum pendidikan Islam bagi rakyatnya mulai dari pendidikan usia dini, anak-anak hingga usia baligh.

Bahkan sejak sebelum lahir dan saat balita, orang tua muslim harus membiasakan putra-putrinya yang masih kecil untuk menghafal Alquran dengan cara memperdengarkan bacaannya. Sehingga anak-anak bisa hafal Alquran sebelum usia enam atau tujuh tahun. 

Setelah mereka bisa menghafal Alquran di usia enam atau tujuh tahun, mereka pun mulai menghafal kitab-kitab hadits. Saat usia sepuluh tahun, mereka pun bisa menguasai Alquran, hadits, juga kitab-kitab bahasa Arab yang berat, seperti kitab Alfiyah karya Imam Malik. 

Karena itu, di era khilafah bermunculan pemuda yang sudah mampu memberikan fatwa. Iyash bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii, misalnya, sudah bisa memberikan fatwa disaat usianya belum genap 15 tahun.

Selain penguasaan knowledge yang begitu luar biasa, mereka juga dibiasakan oleh orang tua mereka untuk mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, berinfaq hingga berjihad. Sosok Abdullah bin Zubair, misalnya, yang dikenal sebagai ksatria pemberani tidak lepas dari didikan orang tuanya, Zubair bin al-Awwam dan Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair sudah diajak berperang oleh ayahnya saat usianya masih 8 tahun. Dia dibonceng di belakang ayahnya di atas kuda yang sama.

Dengan bekal ilmu dan pembentukan mental yang sehat dan kuat, ditopang dengan pembentukan sikap dan nafsiyah yang mantap, kehidupan pemuda di era khilafah jauh dari hura-hura, dugem dan kehidupan hedonistik lainnya. 

Mereka tidak mengonsumsi miras, atau narkoba, baik sebagai dopping, pelarian atau sejenisnya. Karena ketika mereka mempunyai masalah, keyakinan mereka kepada Allah, qadha’ dan qadar, rizki, ajal, termasuk tawakal begitu luar biasa. Masalah apapun yang mereka hadapi bisa mereka pecahkan. Mereka pun jauh dari stres, apalagi menjamah miras dan narkoba untuk melarikan diri dari masalah.

Kehidupan pria dan wanita pun dipisah. Tidak ada ikhtilath, khalwat, menarik perhatian lawan jenis atau tabarruj apalagi pacaran hingga perzinaan. Selain berbagai pintu ke sana ditutup rapat, sanksi hukumnya pun tegas dan keras, sehingga membuat siapapun yang hendak melanggar akan berpikir ulang. 

Pendek kata, kehidupan sosial yang terjadi di tengah masyarakat benar-benar bersih. Kehormatan (izzah) pria dan wanita, serta kesucian hati (iffah) mereka pun terjaga. Semuanya itu, selain karena modal ilmu, ketakwaan, sikap dan nafsiyah mereka, juga sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat oleh khilafah.

Keberhasilan sistem pendidikan Islam dalam melahirkan generasi atau intelektual yang hebat, beriman, bertakwa dan senatiasa berpikir cemerlang tidak mungkin akan terwujud dengan tetap mempertahankan sistem pendidikan sekuler yang berasal dari ideologi kapitalis, seperti yang diterapkan oleh negara saat ini. 

Hanya dengan kembali kepada sistem pendidikan Islam melalui penegakan khilafahlah satu-satunya cara yang telah berhasil mewujudkannya. Sudah waktunya kita berpaling dari sistem kapitalisme sekuler dan kembali pada Islam yang telah Allah jadikan sebagai solusi bagi setiap permasalahan bagi kaum muslimin. 

Sebagaimana Allah SWT berfirman:


ÙˆَÙ†َزَّÙ„ْÙ†َا عَÙ„َÙŠْÙƒَ الْـكِتٰبَ تِبْÙŠَانًا Ù„ِّـكُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ Ùˆَّ Ù‡ُدًÙ‰ ÙˆَّرَØ­ْÙ…َØ©ً ÙˆَّبُØ´ْرٰÙ‰ Ù„ِÙ„ْÙ…ُسْÙ„ِÙ…ِÙŠْÙ†َ

"Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim)."
(QS. An-Nahl 16: Ayat 89)

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

Pertama. Sistem pendidikan saat ini sulit untuk membentuk generasi cemerlang atau creative minority karena sistem pendidikan dijalankan secara sekuler. Kerusakan generasi sungguh sangat memprihatinkan. Persoalan generasi ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berjalin berkelindan, tak bisa dipisahkan. Mulai dari faktor keluarga, masyarakat hingga negara.

Kedua. Upaya pemerintah dalam mewujudkan generasi cemerlang yaitu membuat program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3. Sayangnya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam sistem pendidikan tersebut tidak terlepas dari intervensi asing yang berasaskan pada ideologi kapitalisme sekuler sehingga bukan generasi cemerlang yang terbentuk, justru kerusakan generasi yang semakin parah.

Ketiga. Strategi Islam dalam mencetak generasi cemerlang berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan islam, yaitu:

a. Sistem pendidikan islam menjadikan akidah Islamiyah sebagai dasarnya

b. Sistem pendidikan islam mewajibkan umatnya untuk menguasai sains dan teknologi demi memperbaiki kondisi dan taraf hidup masyarakat bukan untuk mengejar kepentingan dunia.

c. Sistem pendidikan islam mewajibkan negara untuk menjamin dan menyediakan seluruh fasilitas pendidikan.[]


Oleh: Achmad Mu'it
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo, Analis Politik Islam

Referensi

1. Uci Riswahyu, " Potret Generasi dalam Pendidikan Sekuler", 2019.

2. Nur Rahmatul Lailiyah, "Buah Sekulerisme: Kebebasan Perilaku pada Generasi", 2016.

3. Ai Oke Wita, S.Pt.,"Mencetak Karakter Siswa yang Tangguh di Masa Pandemi, Mungkinkah?", 2020

4. Hafidz Abdurrahman," Bagaimana Cara Khilafah Membina Generasi Muda?", 2017

5. H. Indarto Imam, S. Pd, "Sistem Islam Wujudkan Pendidikan Baik, Berkualitas dan Gratis, 2019

6. https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pendidikan-karakter.html

7. Prof. Suteki,"PERUBAHAN DISRUPTIF MEMBUTUHKAN CREATIVE MINORITY", 2019

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar