Negeri dalam Dekapan Oligarki: Benarkah Pertanda Demokrasi Menjelang Ajal?



“Ada perjuangan yang tak putus, ada perlawanan yang tak akan putus dan akan selalu ada, karena masyarakat cerdas, tak bisa lagi dibodohi,” tutur humas Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) yang menggelar aksi tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Yogyakarta, Kamis (16/7). Aksi serupa di hari yang sama terjadi di Surabaya dan Jakarta.

Di Jakarta, pengunjuk rasa menggeruduk gedung MPR/DPR RI. Ada tiga kubu yang menggelar aksi menuntut pembatalan pembahasan Omnibus Law dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Kubu Persaudaraan Alumi (PA 212), FPI dan sejumlah ormas Islam serta kubu Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) menuntut pembatalan RUU HIP. Adapun kubu Gerakan Buruh bersama Rakyat (Gebrak) menuntut pembatalan pembahasan Omnibus Law. 

Didemo, wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa dalam agenda rapat paripurna hari itu tidak ada jadwal pengesahan dua RUU yakni RUU HIP dan RUU Omnibus Law Ciptaker. Meskipun begitu, keduanya masih menjadi RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

Padahal kedua RUU ini, bahkan RUU HIP telah mendapat penolakan keras dari berbagai kalangan sejak kehadirannya. Berulang kali demo digelar agar DPR menghapus dari Prolegnas, tapi “wakil rakyat” seolah bergeming. Banyak pihak menyayangkan sikap DPR yang terkesan mengabaikan penderitaan rakyat. Di tengah pandemi, DPR aktif menelurkan produk hukum. Sementara di sisi lain, dinilai kurang menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah menangani pandemi. 

Lebih disayangkan lagi, aneka produk hukum DPR tersebut kental beraroma oligarki dan tidak pro rakyat. Sebut saja UU Minerba yang berpihak pada kepentingan korporat tambang demi mengeruk energi di negeri ini. Sebaliknya, UU ini abai terhadap dampak buruk yang menimpa rakyat dan lingkungan sekitarnya.

Demikian pula pengesahan Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 menjadi UU. UU ini dianggap tidak pro rakyat karena tidak tampak komitmen perlindungan terhadap rakyat yang terdampak secara ekonomi, buruh, karyawan ter-PHK, maupun pekerja sektor informal. Dan justru membuka peluang jaminan penuh bagi nasabah kakap di atas 2 miliar. 

Adapun terkait RUU HIP yang telah memicu polemik berkepanjangan, ada perkembangan menarik dimana dalam konferensi pers antara pemerintah dan DPR (Kamis, 16/7/2020) terungkap bahwa presiden justru mengajukan RUU baru yakni RUU BPIP. Padahal tuntutan rakyat adalah membatalkan RUU HIP dan membubarkan BPIP.  Tapi RUU HIP justru menjadi RUU Prioritas Prolegnas 2020.

Jika RUU HIP nekad disahkan, bayang-bayang kekhawatiran akan bangkitmya komunisme kian nyata. Bila RUU BPIP disahkan, tentu BPIP akan tereksiskan. Sementara dinilai dari aspek apapun, keberadaan lembaga ini tidak ada urgensinya. Padahal mereka digaji tinggi dari uang rakyat. Jelas, hal ini hanya menguntungkan segelintir orang. Wajar jika rakyat minta dibubarkan.

Tetapi, lagi-lagi kehendak jelata bukanlah prioritas utama. Para punggawa istana dan penghuni gedung kura-kura lebih rela mengabdikan dirinya pada segelintir manusia yang bertahta dan berharta. Tak dipungkiri, kaum oligark telah mendekap negeri ini hingga rakyat meski bersuara senyaring apapun tetap dianggap sunyi.

Mengapa wajah oligarki kian mendominasi kekuasaan di Indonesia, yang oleh seorang peneliti Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia?     

Eksistensi Kaum Oligark Dominasi Negeri di Tengah Klaim Demokrasi Harga Mati

Tak dipungkiri, oligarki menjadi gaya rezim memerintah saat ini. Dalam teori Thomas Aquinas, istilah oligarki dapat disimpulkan berupa kekuasaan kelompok kecil. Dalam oligarki, penguasa menindas rakyatnya melalui represi ekonomi. Penguasa oligarki adalah orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang melimpah (Suhelmi, 2001). Dalam pengertian senada, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik karena kekayaan, keluarga, atau militer.

Menurut Jefrey A. Winters, seorang profesor dari Northwestern University, oligarki dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki mempunyai suatu dasar kekuasaan serta kekayaan material yang sangat sulit untuk dipecah dan juga diseimbangkan. Sedangkan dimensi kedua menjelaskan bahwa oligarki mempunyai suatu jangkauan kekuasaan yang cukup luas dan sistemik, meskipun mempunyai status minoritas dalam sebuah komunitas. 

Ciri-ciri negara yang menganut sistem pemerintahan oligarki yakni kekuasaan dikendalikan oleh kelompok masyarakat kecil, terjadi kesenjangan material yang cukup ekstrem, uang dan kekuasaan merupakan hal yang tidak terpisahkan, serta kekuasaan dimiliki untuk mempertahankan kekayaan. 

Oligarki telah terasa sejak era Orde Baru dimana hanya Soeharto dan kelompoknya saja yang berkuasa penuh terhadap pemerintahan di Indonesia. Namun oligarki politik ala Soeharto hancur ketika krisis tahun 1998 terjadi. Ribuan mahasiswa turun menggulingkan rezim Soeharto karena dinilai gagal memerintah. Setelahnya, oligarki tidak hilang begitu saja. Justru aromanya kian menyengat di Indonesia kontemporer.

Richard Robison serta Vedi R. Hadiz dalam bukunya berjudul "Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market,” menjelaskan jika oligarki yang terjadi di Indonesia tidak hilang pasca reformasi. Justru oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh neoliberalisme. Setelah kejadian krisis ekonomi  tahun 1998, oligarki bisa bertahan dan menjadi tokoh utama dalam dunia bisnis di Indonesia (Hadiz, 2004).

Meski rezim sering mengklaim demokrasi sebagai harga mati yang terkesan mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Mengapa oligarki politik bisa ada dalam demokrasi? 

Demokrasi memang memberikan jalan lapang pada apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Membuka jalan lebar bagi aspirasi rakyat. Saat rakyat berdaulat, ia bisa menentukan apa yang terbaik baginya. Secara teori begitu yang diinginkan dan diangankan oleh pendukung demokrasi. Tetapi secara fakta tidak demikian. 

Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, mudah ditebak bahwa kelompok yang sangat kaya (baca: pengusaha industri media dan industri strategis lainnya) tak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha meraih kekuasaan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat.

Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan demokrasi adalah “from the people, by the people and for the people.” Tapi sebelas tahun setelah Lincoln meninggal, Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan kondisi di Amerika Serikat saat itu adalah “from company, by company and for company.” 

Dengan kata lain, demokrasi secara alami akan bertransformasi menjadi wajah oligarki. Yaitu sistem politik dari konglomerat, oleh konglomerat dan untuk konglomerat. “Of the 1%, by the 1%, for the 1%. (Dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen orang).” (Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi)

Selain itu, transformasi ini tak bisa lepas dari watak demokrasi itu sendiri. Dimana meski teorinya yang berdaulat adalah rakyat, tetapi faktanya rakyat hanya dijadikan vote getter (pengumpul suara) dalam ajang pemilu. Setelahnya, peran rakyat hilang karena dia diwakili oleh wakilnya yang datang dari partai politik (parpol). Sementara yang berwenang/berkuasa dalam parpol adalah pemilik dan pengurusnya. 

Pada perkembangannya, parpol didirikan tidak selalu merupakan perwujudan kehendak rakyat. Meski idealnya partai didirikan oleh rakyat karena kesamaan pikiran dan aspirasi politik. Tetapi karena untuk mendirikan partai apalagi sampai pada capaian tertentu tidak murah, maka hanya elite politik berkemampuan finansial raksasa yang sanggup “memiliki” partai. 

Bahkan tak jarang, dalam sistim oligarki politik, partai dikelola seperti perusahan keluarga. “Wajar” jika saat menjadi wakil rakyat atau penguasa, keputusan lebih mengacu pada kehendaknya sendiri. Bukan pada apa yang rakyat inginkan. Oligarki pun sangat vulgar dipertontonkan  pada kelindan prosesi lembaga eksekutif-legislatif di negeri ini. Saat pucuk pimpinan legislatif dan eksekutif berasal dari partai yang sama, bisakah fungsi koreksi legislatif terselenggara dalam suasana oligarkis?

Tepat jika Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Jadi sejatinya, hari ini negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan kita bertahan mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati?


Oligarki Menguasai Negeri, Pertanda Demokrasi Jelang Ajal

Kini penerapan demokrasi di negeri ini tengah bergeser menuju format baru. Meski formatnya tidak ada penegasan, tetapi arahnya ke oligarki. Praktiknya, oligarki berkelindan dengan korporatokrasi, yaitu sebuah istilah yang merujuk kepada perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi, bahkan mengendalikan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari indikator yaitu proses tata kelola negara kian banyak ditentukan oleh peran private sector (kelompok/kekuatan bisnis) dan kekuatan bisnis tersebut memerlukan mitra dari kekuatan politik.

Yang terjadi, biasanya para korporat melakukan proses pendekatan kekuasaan ke negara, dari pusat bahkan ke daerah.  Sehingga negara lebih banyak diatur oleh kekuatan bisnis yang mengalami krisis etika bisnis yang memunculkan perselingkuhan. Perselingkuhan yang dimaksud adalah terjadinya simbiosis antara kekuatan bisnis dengan kekuatan politik transaksional. Lantas, perselingkuhan bermetaforsis menjadi oligarki bisnis dengan politik.  

Ketika mereka kian dominan masuk pada proses politik dan bisa menduduki posisi jabatan politik, maka otomatis birokrasi negara ditentukan oleh oligarki itu. Faktanya, kini negeri ini dalam dekapan segitiga oligark yaitu kaum legislatif yang berselingkuh dengan eksekutif/penguasa dan pengusaha. 

Legislatif dan eksekutif bisa berkuasa atas modal pengusaha, dan sebagian pengusaha menjadi penguasa itu sendiri. Agar bisnisnya kian eksis, para pengusaha membutuhkan legalitas dari kebijakan legislatif dan eksekutif. Bak lingkaran setan, kemelut oligarki ini terus berlangsung.

Sayangnya, masih banyak yang memandang realitas buruk sebagai anomali demokrasi ini sebagai bentuk penyimpangan penerapan. Mereka beranggapan, bahwa pada dasarnya sistem demokrasi baik dan ideal. Pelakunya yang membuat demokrasi menjadi nampak buruk dan mengerikan. Yang salah orangnya, bukan sistemnya. Begitu katanya.

Itulah yang membuat mereka masih berharap demokrasi layak dipertahankan. Hingga proses perubahan yang mereka perjuangkan, hanya bermuara pada tuntutan perubahan rezim alias perubahan kepemimpinan secara personal, bukan perubahan sistem secara radikal.

Mereka lupa bahwa demokrasi memiliki cacat bawaan. Salah satunya adalah tawaran kebebasan semu yang menutup celah perubahan. Ingat, bahwa demokrasi tak pernah didesain untuk perubahan ke arah tegaknya sistem Islam. Selain itu, demokrasi mengakomodir kebebasan tak berbatas. Sehingga memfasilitasi pemujanya untuk leluasa berpikir, berpendapat, termasuk dalam aspek ekonomi dan kekuasaan. Hingga bahkan keleluasaan ini telah menjauhkan mereka dari esensi berdemokrasi.

Secara asasiyah, demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme adalah sistem anakan yang lahir dari rahim sama, yakni sekularisme yang menafikan peran Tuhan Pencipta Alam dalam kehidupan. Kredo vox populi vox dei, sejatinya adalah penuhanan pada akal. Karena menurut demokrasi, rakyat alias akal manusialah sang pemilik kedaulatan. Dan darinya, hukum dan undang-undang dibuat sebagai aturan dan solusi problem kehidupan. Begitu pun dengan prinsip kekuasaan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” serta teori “kontrak sosial” yang lekat dengan ide demokrasi. 

Prinsip ini sejatinya adalah penyerahan kekuasaan milik rakyat kepada sekelompok minoritas (sebagai penguasa dan wakil rakyat) yang nyatanya terdiri dari para pemilik modal. Nyatanya pula, hanya dengan kekuatan modal, kursi kekuasaan dan perwakilan ini bisa diraih. Selanjutnya, dibuatlah kebijakan yang tentu akan pro kepentingan pemilik modal.

Parahnya, semua prinsip demokrasi ini lantas dikukuhkan oleh konsep pembagian kekuasaan dalam tiga kelembagaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Ini disandarkan pada konsep trias politica ala Montesquieu yang berpandangan bahwa kekuasaan tunggal pasti akan memunculkan sikap otoritarian.

Namun masalahnya, penolakan atas peran Tuhan alias agama, justru membuat tiga institusi kekuasaan ini menyelingkuhi rakyat bahkan seringkali berperan saling mengukuhkan kerusakan. Satu sama lain menjadi alat legitimasi penyimpangan, hingga akhirnya muncul istilah semacam korupsi berjamaah atau mafia peradilan.

Inilah fakta-fakta kebobrokan demokrasi yang tak mungkin dinafikan. Transformasi demokrasi menuju oligarki menjadi hal “wajar” dan tak perlu diherankan. Pelan tapi pasti, demokrasi tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Kebebasan tanpa batas yang menjadi ruh ajarannya telah memerangkap pelakunya pada perilaku otoriter. Pun tak lagi berkuasa atas nama rakyat, tapi minoritas manusia. Demokrasi rasa oligarki. Oligarki berkelindan dengan korporatokrasi, bahkan seringkali bermuka kleptokrasi.

Dalam buku berjudul ‘How Democracies Die,” Steven Levitsky, pakar ilmu politik dan Daniel Ziblat, mahaguru sistem pemerintahan di Universitas Harvard di Amerika (terbitan Gramedia, April 2019) mengungkapkan bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian tak disadari terjadi selangkah demi selangkah, dengan: terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah ini sedang terjadi di seluruh dunia. Pun termasuk di negeri kita, Indonesia.

What’s next? Lalu apa yang akan kita lakukan menjelang ajal demokrasi?


Strategi Menyikapi Dominasi Oligarki dan Menyiapkan Sistem Pemerintahan Alternatif bagi Umat Islam

Dominasi oligarki tak hanya tak dikehendaki dalam alam demokrasi. Sistem pemerintahan inipun tidak sesuai dengan sistem Islam yang begitu peduli dan memperhatikan urusan kaum muslimin. Namun bukan berarti, sistem Islam sepakat dengan demokrasi. 

Titik kritis perbedaan keduanya terletak pada siapakah pemilik kedaulatan alias pemegang hak pembuatan aturan (undang-undang).  Demokrasi mengakui kedaulatan di tangan rakyat. Adapun Islam sepenuhnya menyerahkan kedaulatan di tangan syara’. Meski fenomena semacam oligarki memungkinkan terjadi dalam sistem Islam, tetapi praktiknya tetap dibatasi oleh hukum syariat dan ketersediaan sanksi tegas jika terjadi pengabaian terhadap hak umat  maupun kezaliman lainnya. 

Dalam rentang sejarah selama 1300 tahun, penerapan khilafah islamiyah telah menorehkan tinta emas kebaikan. Meski memang di beberapa periode kepemimpinan, terdapat penyimpangan. Namun secara umum, umat Islam merasakan jaminan perlindungan, keamanan dan capaian kesejahteraan yang signifikan. Hal yang sulit dirasakan oleh sebagian besar rakyat yang katanya tinggal di negara paling demokratis ini.

Lantas, mungkinkah perubahan sistem terjadi? Perubahan adalah keniscayaan. Apalagi jika Allah Swt telah menghendakinya. Sejarah telah mengajari kita bagaimana Allah Swt mempergilirkan kepemimpinan sebuah peradaban atas dunia.  Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang membuka aib kegagalan negara kapitalis demokrasi dalam menangani pandemi. Bahkan jauh sebelum pandemi, bukti kebobrokan sistem ini telah merata di hampir semua bidang kehidupan. 

Bicara kemungkinan, perubahan tatanan dunia baru pasca pandemi Covid-19 akan mungkin terjadi. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ibnu Khaldun dalam kitab Mukaddimah tentang lima sebab runtuhnya sebuah peradaban, yaitu: 

1. Ketika terjadi ketidakadilan (kesenjangan antara kaya dan miskin). 

2. Merajalelanya penindasan kelompok kuat terhadap kelompok lemah (negara kuat menindas negara lemah dan negara lemah harus mengikutinya). 

3. Runtuhnya moralitas pemimpin negara (korupsi, pidana, dll).  

4. Adanya pemimpin tertutup yang tidak mau dikritik, dan yang mengkritik akan dihukum. 
 
5. Terjadinya bencana besar (peperangan). Meski tak berwujud peperangan fisik, perlawanan terhadap Covid -19 bisa terkategori ini. 

Kelima sebab di atas sudah terjadi di dunia saat ini. Apalagi jika dikaitkan dengan laporan National Intelligence Council’s (NIC) pada Desember 20014 lalu yang berjudul “Mapping the Global Future.” Dalam laporan ini, diprediksi empat skenario dunia tahun 2020: 

1. Davod World. Digambarkan bahwa Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.

2. Pax Americana. Dunia masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Pax Americana-nya. 

3. A New Chaliphate. Berdirinya kembali khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.

4. Cycle of Fear (Munculnya lingkaran ketakutan).

Salah satu skenario yang cukup kontroversial adalah kemunculan kembali khilafah Islam. Skenario seperti ini sangat jarang diungkap dalam berbagai analisis dunia internasional. Bahkan banyak kaum muslim sendiri mengatakan berdirinya khilafah Islam adalah utopis dan mustahil. Namun dunia hari ini sudah berbeda. Pandemi Covid-19 telah mengguncang tatanan dunia. Apakah prediksi NIC ini kian dekat menjadi kenyataan? 

Menjadi tugas umat Islam untuk mengenyahkan tatanan pemerintahan buatan manusia dan mewujudkan sistem alternatif yaitu sistem pemerintahan Islam (khilafah). Untuk mewujudkan sistem alternatif pelindung, pengatur urusan dan penjamin kebutuhan rakyat ini, dibutuhkan beberapa strategi antara lain:

1. Tokoh umat bersama segenap penggerak umat dari kalangan da’i, muballigh, aktivis Islam, dll. melakukan konsolidasi pemikiran dan gerak. Juga tak lelah memberikan pencerdasan dan membuka wawasan keislaman serta kondisi kekinian kepada umat Islam.

2. Umat dipahamkan tentang realitas buruk akibat penerapan sistem demokrasi kapitalis yang praktiknya justru berpihak pada kaum oligark. Selanjutnya, dipahamkan tentang Islam sebagai sistem hidup yang akan memanusiakan manusia dan hanya mampu diterapkan secara total dalam sistem pemerintahan khilafah islamiyah.

3. Memotivasi umat agar turut serta memperjuangkan tegaknya Islam kaffah dalam bingkai khilafah ’ala minhajinnubuwwah.

4. Khususnya di masa pandemi ini. Keterbatasan pertemuan tatap muka justru menjadi peluang untuk kian mengibarkan opini publik tentang urgensi penegakan khilafah lewat media daring.

Demikian beberapa strategi perjuangan yang bisa dilakukan. Semoga kita tercatat di hadapan-Nya sebagai salah satu pelaku transformasi masyarakat, dari pengaturan sistem demokrasi jahiliyah menuju sistem khilafah islamiyah ‘ala minhajinnubuwwah. 

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 

Pertama. Oligarki eksis dalam sistem demokrasi karena ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, maka kelompok yang sangat kaya tak akan tinggal diam. Mereka berusaha meraih kekuasaan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat. 

Kedua. Transformasi demokrasi menuju oligarki menjadi hal “wajar” dan tak perlu diherankan. Pelan tapi pasti, demokrasi tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Kebebasan tanpa batas yang menjadi ruh ajarannya telah memerangkap pelakunya pada perilaku otoriter. Pun tak lagi berkuasa atas nama rakyat, tapi minoritas manusia. Demokrasi rasa oligarki. Oligarki berkelindan dengan korporatokrasi, bahkan seringkali bermuka kleptokrasi.

Ketiga. Menjadi tugas umat Islam untuk mengenyahkan tatanan pemerintahan buatan manusia dan mewujudkan sistem alternatif yaitu sistem pemerintahan Islam (khilafah). Untuk mewujudkan sistem alternatif pelindung, pengatur urusan dan penjamin kebutuhan rakyat ini, dibutuhkan beberapa strategi perjuangan yang dilakukan secara sinergis dengan berbagai komponen umat Islam.[]


Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar