Kembalinya Hagia Sophia: Mampukah Menjadi Pemantik Geliat Kebangkitan Peradaban Islam?


Pengadilan Turki menyetujui fungsi bangunan bersejarah Hagia Sophia diubah dari museum menjadi masjid. Dilansir AFP, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menandatangani dekrit presiden soal status Hagia Sophia pada Jumat (10/7) waktu setempat. Dekrit yang diserahkan ke direktorat urusan agama Turki itu, berisikan permintaan agar bangunan Hagia Sophia difungsikan kembali sebagai masjid.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan, warga dapat melaksanakan ibadah salat di bangunan bersejarah, Hagia Sophia pada 24 Juli 2020. Erdogan menyebut Salat Jumat pada 24 Juli akan menjadi ibadah pertama kali di Hagia Sophia usai status bangunan bersejarah itu diubah dari museum menjadi masjid.

"InsyaAllah, kami akan melakukan salat Jumat bersama-sama pada 24 Juli dan membuka kembali Hagia Sophia untuk beribadah," kata Erdogan dilansir dari AFP, Sabtu (11/7/2020).

Hagia Sophia pertama kali dibangun sebagai katedral di Kekaisaran Bizantium Kristen tetapi dikonversi menjadi masjid setelah penaklukan Ottoman atas Konstantinopel pada tahun 1453.

Pada tahun 1935, pada hari-hari awal negara Turki sekuler modern di bawah Mustafa Kemal Ataturk, itu mengubah Hagia Sophia yang semula masjid menjadi museum.

Ketika sekarang Hagia Sophia kembali dialih-fungsikan menjadi masjid, mulai mendapat pertentangan dari sejumlah negara termasuk Amerika, Yunani, Prancis, Siprus, dan Uni Eropa yang mengkritik dan menyesalkan langkah Erdogan tersebut.

Apakah alih-fungsi Hagia Sophia simbol kejayaan kekhilafahan yg terakhir yaitu Khilafah Ustmaniyah, mampu menjadi pemantik kebangkitan kekuatan politik Islam dunia untuk mewujudkan tegaknya peradaban Islam kembali?


Polemik Hagia Sophia dalam Perjalanan Sejarah Peradaban Islam di Turki

Hagia Sophia, yang dalam Bahasa Turki disebut Ayasofya, merupakan saksi bisu sejarah berlangsungnya transisi rezim yang menguasai Konstantinopel (saat ini Instanbul), mulai dari pagan, Katolik Ortodoks, hingga kekaisaran Islam.

Menurut ensiklopedia Britannica, bangunan ini pertama kali didirikan oleh Kaisar Konstantinus I pada 325 Masehi, di atas pondasi atau tempat kuil pagan. Gereja ini menjadi tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode Kekaisaran Bizantium.

Gereja ini sempat diperbaiki beberapa kali pada masa Kekaisaran Bizantium, yakni saat kerusuhan pada 404 M yang disebabkan oleh perseteruan istri Kaisar Arkadios yang bernama Eudoksia dengan Uskup Agung Konstantinopel Ioannes Chrysostomos yang diasingkan. Kaisar Theodosios II pada tahun 415 kemudian membangun ulang sebuah gereja basilika di tempat yang sama. 

Kerusakan kedua terjadi pada 532 M, saat kerusuhan Nika menyerang Konstantinopel. Kerusuhan itu terjadi pada tahun kelima Justinian I menduduki jabatan kaisar. Kerusuhan inilah yang kemudian menyebabkan gereja itu mengalami kehancuran. Pasca kejadian itu, Justinian memerintahkan arsitek terkenal pada masa itu, Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles), untuk mendirikan ulang gereja.

Pada 1453, era Kekaisaran Bizantium berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Mehmet/Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Di bawah kepemimpinan Mehmet, Hagia Sophia dialihfungsikan dari gereja menjadi masjid. Seperti yang dicatat oleh Marc David Baer dalam buku berjudul Honored by the Glory of Islam: Conversion and Conquest in Ottoman Europe, beberapa gereja diubah menjadi masjid di bawah Sultan Mehmet II, termasuk Saints Paul dan Mesa Dominico. 

Hal serupa juga dicatat oleh Erik Ringmar dalam History of International Relations: A Non-European Perspective. Di bawah penaklukan Sultan Mehmet II pada 1453, Hagia Sophia diubah fungsi menjadi masjid. Demikian pula dengan Konstantinopel yang berubah nama menjadi Istanbul. 

Pada masa kepemimpinan Mehmet, seperti ditulis Elisabeth Piltz dalam serial buku British Archaeological Reports tahun 2005, Hagia Sophia berada dalam kondisi yang sangat buruk. Namun, bangunan Hagia Sophia kemudian diperkuat strukturnya dan dilindungi dengan baik pada masa Ottoman. Pada abad ke-16 dan ke-17, sejumlah bagian ditambahkan, di antaranya empat menara di luar bangunan yang digunakan untuk melakukan panggilan sholat, sebuah tempat lilin besar, mihrab, dan mimbar.

Mengutip dari Islam: A Worldwide Encyclopedia [4 volumes], Mehmet II juga membentuk yayasan amal (wakaf) kepada siapapun untuk mengembangkan Ayasofya. Menurut Boyar & Fleet (2010), sejak 1478, sebanyak 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30 toko boza, dan 23 toko domba menyumbangkan penghasilan mereka untuk yayasan tersebut.

Pada 1739, seperti ditulis Müller-Wiener (1977: 93), diketahui bahwa Sultan Mahmud I menambahkan madrasah, imaret atau dapur umum, dan perpustakaan pada Ayasofya. Pada tahun 1740, pondok sultan (sultan mahfili) dan mihrab baru ditambahkan di dalam bangunan.

Pada tahun 1935, pada hari-hari awal negara Turki sekuler modern di bawah Mustafa Kemal Ataturk merubah Hagia Sophia menjadi museum.

Pada 2005, sebuah organisasi mengajukan petisi kepada Dewan Negara Turki, pengadilan tinggi negara tersebut, mengklaim bahwa bangunan bersejarah itu adalah milik yayasan yang didirikan Sultan Mehmet II. 

Pada 2015, seorang ulama membacakan Al Quran di dalam Hagia Sophia untuk pertama kalinya dalam 85 tahun. Tahun berikutnya, otoritas agama Turki mulai menjadi tuan rumah dan menyiarkan ayat-ayat kitab suci selama bulan suci Ramadan dan azan dikumandangkan pada malam Nuzulul Quran.

Organisasi yang mengajukan petisi, dalam pertempuran hukum selama 16 tahun, yang mengatakan Hagia Sophia adalah milik pemimpin Ottoman yang merebut kota pada tahun 1453 dan mengubah gereja Bizantium yang sudah berusia 900 tahun menjadi masjid akhirnya membuahkan hasil.

Pada Juli 2020, Dewan Negara Turki setuju dengan para pembuat petisi dan menyimpulkan bahwa akta asli di bawah Mehmed II menetapkan bangunan itu sebagai masjid, dan penggunaan di luar itu dianggap ilegal. Menyusul keputusan itu, presiden Turki Recep Tayyip Erdogan segera mengalihkan pengawasan gedung dari Kementerian Kebudayaan Turki ke Kepresidenan Urusan Agama.

Sebagai catatan, dalam salah satu gambar yang diunggah oleh akun Suwondo, terdapat gambar dokumen dengan tulisan "Tapu Senedi." Dalam bahasa Inggris, arti harafiah dari kata-kata tersebut adalah "title deed" atau "land register." Dokumen tersebut merupakan dokumen yang menunjukkan hak kepemilikan, utamanya kepemilikan terhadap suatu tanah atau properti. Dokumen ini bukan merupakan dokumen jual beli yang sempat menjadi viral perbincangan.

Berdasarkan penelusuran laman tirto.id 14/7/2020, lebih lanjut terkait dokumen "Tapu Senedi" tersebut melalui plaform Yandex menemukan nama "ebulfetih sultan mehmet vakfı" sebagai pemilik dari properti/tanah tersebut. Catatan singkat, kata "vakfi" berarti "foundation" atau yayasan.

Sebenarnya Hagia Sophia adalah bagian dari bangunan atau harta rampasan perang. Harta rampasan perang dibagi-bagi kepada umat Islam (ket: dengan ketentuan tertentu) dan ada yang dikuasai negara. Ketika dikuasai negara maka penggunaannya dipakai untuk kemashlatan umat. 

Oleh karenanya, sebenarnya tidak diperlukan jual beli apapun dengan pihak yang dikalahkan (baca: Konstantinopel). Adapun apabila kemudian ada deal-dealan antara Al Fatih dengan pihak gereja maka itu sebatas kebijaksaan dan kemurahan hati pemimpin Utsmani kala itu. Dan perlu diingat, gereja yang dijadikan masjid kala itu hanya satu saja: Hagia Sophia, saja di antara banyak gereja yang ada. Itu dikarenakan Hagia Sophia selain gereja juga digunakan sebagai markas komando raja Kaisar Konstantinus XI.

Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara perang. Bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil tersebut bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan tawanan perang.

Dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak jaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut perang tersebut, dengan bagian terbesar untuk pemimpin.

Setelah datangnya Islam, pembagiannya diatur secara jelas tanpa ada yang harus diistimewakan. Keabsahan mengambil ghanimah dari musuh yang dikalahkan dapat dilihat dalam firman Allah SWT pada surat Al-Anfaal [8] ayat 41 dan 69. Ayat 41 surat itu secara jelas memuat siapa saja yang akan mendapatkan ghanimah tersebut. ''Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (orang yang telantar di perjalanan)...''

Dengan demikian, yang dibagi-bagikan kepada para pasukan yang ikut berperang adalah empat perlima harta. Seperlima bagian lainnya dibagi kepada pihak-pihak yang dicantumkan Allah SWT dalam ayat di atas. Adapun surat Al-Anfaal ayat 69 berbunyi: ''Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah...''

Hukum halalnya mengambil harta melalui jalan perang ini juga terdapat dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah yang artinya: ''Allah memberi saya lima hal, yang nabi-nabi sebelum saya tidak mendapatkannya...Dijadikan bagiku bumi ini sebagai tempat sujud dan suci, maka di mana saja seseorang dari umatku dipanggil salat, maka salatlah dan dihalalkan bagiku ghanimah, sementara bagi umat sebelumku tidak dihalalkan...''

Oleh sebab itu, untuk negara-negara non Muslim seharusnya tidak perlu memperdebatkan hal tersebut. Karena memang hakikinya, Hagia Sophia sudah menjadi milik umat Islam ketika Sultan Muhammad Al Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Hanya saja, karena ulah Mustafa Kamal Pasha antek Yahudi telah mengubah sistem pemerintahan Islam semula Khilafah Islam menjadi demokrasi tepat tanggal 3 Maret 1924. Dan beberapa tahun setelah itu, Mustafa Kemal Pasha mengubah Hagia Sophia menjdi museum.

Tanggapan Dunia atas Alih Fungsi Hagia Sophia dari Museum Menjadi Masjid

Hiruk pikuk umat Islam di seluruh dunia menyambut kembalinya Hagia Sophia. Hagia Sophia resmi menjadi Masjid dan tidak lagi berada di bawah naungan Menteri Kebudayaan Turki melainkan kini di bawah Kementerian Urusan Agama Turki. 

Mengutip pada laman republika.co.id 12/7/2020, Ozgur Unluhisarcikli, direktur Ankara dari German Marshall Fund, mengatakan, langkah itu akan memenangkan hati dan pikiran di dalam negeri. Sekutu nasionalis Erdogan, Devlet Bahceli pun menyambut keputusan tersebut. Menurutnya, pembukaan kembali Hagia Sophia untuk ibadah Muslim telah lama menjadi keinginan penduduk Turki.

Sejumlah ulama Malaysia menyatakan dukungan penuh pada keputusan Pengadilan Tinggi Turki yang mengubah status Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Pernyataan tersebut disampaikan Ahmad Awang selaku Ketua Aliansi Masjid Dunia dalam Pertahanan Al Aqsa dan Wira Abdul Ghani Samsudin sebagai Ketua Sekretariat Majelis Ulama Asia.

Tak hanya itu, dukungan juga datang dari sayap militer Palestina yaitu Hamas. “Pembukaan Hagia Sophia untuk beribadah merupakan sebuah momen yang membanggakan untuk semua Muslim,” tutur Kepala Kantor Penerangan Hamas, Rafat Murra lewat pernyataan tertulis dikutip dari Greek City Times. (Kompas.com 13/7/2020)

Hingga Erdogan menyampaikan keinginannya membebaskan masjid Al Aqsa dari belenggu kaum Yahudi Israel. 

Tak hanya dukungan, Erdogan juga mendapatkan kecaman dari dunia internasional. UNESCO menyatakan bahwa mereka harus diberitahu tentang perubahan status Hagia Sophia dan perubahan mungkin harus ditinjau oleh Komite Warisan Dunia. UNESCO mengatakan kepada Reuters bahwa Hagia Sophia termasuk dalam daftar Situs Warisan Dunia sebagai museum dan karena itu memiliki komitmen dan kewajiban hukum tertentu.

Yunani menyebut Turki melakukan provokasi. Amerika Serikat (AS) dan Prancis juga menyatakan kekecewaannya. Begitu juga Rusia yang menganggap bangunan itu sebagai warisan dunia. Dewan Gereja Sedunia menulis surat kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan atas langkah itu. Mereka mendesak Erdogan untuk mencabut keputusannya.

Dewan Gereja Sedunia menulis surat kepada Erdogan untuk mengungkapkan kesedihan dan kegelisahan atas langkah itu. Mereka mendesak Turki untuk membalikkan keputusannya.

Sauca mengatakan, status museum telah menjadi ekspresi yang kuat dari komitmen Turki terhadap inklusi dan sekularisme. Sementara itu, Uskup Hilarion yang berpengaruh, yang mengepalai departemen Gereja Ortodoks Rusia untuk hubungan gereja eksternal, juga menyatakan kesedihannya. (Republika.co.id 12/7/2020)

Melalui The Greek City Time yang dilansir kembali oleh kompas.com 13/7/2020, Pemerintahan Yunani memberikan ancaman kepada pihak Turki, setelah resmi mengubah Hagia Sophia menjadi masjid.

Negara tetangga Turki tersebut mengancam akan mengubah fungsi dari rumah milik Bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Ataturk.

Pihak Yunani rencananya bakal mengubah rumah Ataturk di Thesaloniki menjadi Monumen Museum Genosida.

Tapi, ancaman tersebut belum diindahkan oleh Erdogan hingga tulisan ini dibuat. Apabila kita menelisik terkait respon dunia baik yang mendukung maupun yang mengecam dapat diulik lebih dalam penyebab terjadinya pro dan kontra tersebut.

Dilansir melalui fokus tempo.co 14/7/2020 menulis tentang manuver Erdogan terkait alih fungsi masjid AyaSofya sebagai berikut. Mimpi Erdogan tidak sekadar mendengar kembali lantunan azan di Hagia Sophia atau yang dikenal sebagai Masjid Agung Ayasofya, tetapi lebih dari itu sebagai manuver politiknya.

"Sebelumnya sekelompok NGO memang mengajukan gugatan terhadap pengalihan status Hagia Sophia atau Ayasofya yang sebelumnya museum menjadi masjid. NGO yang mengajukan gugatan mendasarkan argumen bahwa ketika ditaklukkan Hagia Sophia menjadi masjid. Sehingga terlihat bahwa kebijakan Presiden Erdogan merupakan aspirasi publik," kata Dosen Magister Kajian Ketahanan Nasional-SKSG UI dan penulis buku "Recep Tayyip Erdogan: Revolusi dalam Sunyi" kepada Tempo 14 Juli 2020.

Syahroni mengatakan motivasi Erdogan mengalihfungsikan Hagia Sophia bisa dilihat dari sisi ideologis dan pragmatis. Erdogan memiliki ideologis cita-cita Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) karena Turki mencapai puncak keemasan pada periode tersebut sehingga Erdogan menghidupkan narasi Ottoman untuk konteks saat ini. "Sementara terkait aspek pragmatis, boleh jadi Erdogan ingin tetap memelihara dukungan kelompok konservatif yang dalam beberapa kesempatan memang memiliki keinginan untuk mengembalikan status Hagia Sophia menjadi masjid."

Arya Sandhiyudha, Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) dan peraih gelar Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Istanbul University, memaparkan polling MetroPOLL Aratrma di Turki, yang menunjukkan bagaimana sikap warga para pemilih parpol di Turki mengenai kebijakan Hagia Sophia.

Arya mengatakan perubahan status Hagia Sophia selalu digunakan untuk menambah pundi-pundi dukungan bahkan ketika isu ini diangkat sejak 1950-an. Status Hagia Sophia, menurut Arya, merupakan agenda kampanye politik AKP dan perang budaya dengan partai-partai yang mengidentikkan diri dengan haluan Kemalis, baik MHP dan CHP.

Erdogan, di samping memikirkan momentum politik domestik yang hendak dicapainya, memang akhirnya dipersepsi memiliki tujuan lain di balik kebijakan Hagia Sophia seperti kebijakan luar negeri terhadap Yunani, kalangan Kristiani internasional, meraih simpati kalangan Islamis global dan dunia Muslim, atau bahkan agenda mengambil alih Israel, kata Arya Sandhiyudha.

Keputusan Erdogan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid dianggap sebagai upaya mengembalikan memori sejarah penaklukan Ottoman. Arya Sandiyudha mengatakan dirinya tidak yakin kebijakan Erdogan terkait Hagia Sophia punya proyeksi terhadap masyarakat Muslim di luar Turki.

Erdogan mau mengambil hati konservatif menggunakan panji Utsmaniyah karena Hagia Sophia adalah ikon kesultanan paling kentara, dengan mengembalikan memori penaklukan Sultan Mehmed atas Konstantinopel pada 1453 dan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid.

Apabila mencermati paparan fakta dan pendapat terkait menuver Erdogan tersebut dapat diambil beberapa poin penting, yaitu.

Pertama, menjadikan AyaSofya masjid adalah kabar bahagia umat Islam. Hanya saja ini hanya terkategori pragmatis jika alih fungsi dari museum ke masjid. Wajar saja jika hal ini dianggap sebagai langkah pragmatis Erdogan untuk mengambil hati warga domestik Turki.

Kedua, Erdogan lupa untuk mengembalikan memori penaklukan Sultan Mehmed atas Konstantinopel 1453 adalah dalam bingkai sistem Islam kaffah dalam naungan institusi Khilafah. Bagaimana bisa Erdogan mengembalikan kejayaan Islam tapi masih menggunakan sistem sekuler kapitalisme demokrasi.

Alih-alih kejayaan yang didapat, yang terjadu sistem sekuler inilah yang akan menjadikan negara-negara kafir penjajah terus mengobok-obok dan membelenggu Turki. 

Apalagi Erdogan berangan-angan ingin membebaskan masjid Al Aqsa dari penjajahan kafir Israel. Jelas ini tidak bisa dilakukan tanpa adanya pemersatu umat dan institusi tangguh yaitu Khilafah. 

Karena kita tahu, Israel di-backup oleh Amerika dan sekutunya dengan ideologi kapitalisme yang selama ini dijadikan alat menjajah negeri-negeri kaum Muslim.

Ketiga, umat Islam di dunia tidak boleh terjebak pada kenangan indah kejayaan Islam yang pernah diraih oleh Muhammad Al Fatih saat menaklukkan Konstantinopel 1453.

Umat Islam harus fokus mengembalikan kejayaan tersebut dengan mengambalikan tegaknya institusi Khilafah sebagai pemersatu umat, penerap syariah kaffah, dan penebar dakwah. Hanya dengan ini kejayaan Islam mampu kembali menaungi seluruh umat Islam di dunia. 

Jangankan masjid Al Aqsa, kota Roma pun akan kembali ke pelukan umat Islam jika umat bersatu dalam naungan khilafah. Karena, kemenangan penaklukan kota Roma adalah bisyaroh dan sebelum janji itu terwujud, kembalinya khilafah juga merupakan bisyaroh yang harus diyakini dan menjadi pemantik perjuangan mengembalikan kehidupan Islam.


Alih Fungsi Hagia Sophia Mampu Menjadi Pemantik Kekuatan Politik Islam Dunia Kembalinya Peradaban Islam

Umat Islam terpecah belah, menjadi korban keserakahan kaum kafir penjajah. Umat Islam di Palestina, Afganistan, Suriah, Myanmar, Yaman yang terus menjadi kebiadaban keserakahan kaum Israel dan sekutunya. 

Rohingya diusir dari tempat kelahirannya sendiri. Terlunta-lunta bahkan mati karena mencari tempat pelindung. Uyghur juga masih mendapat perlakuan zalim dari pemerintah China.

Belum lagi umat Islam di seluruh dunia hidup dalam cengkraman sistem kufur kapitalisme sekuler. Hal tersebut membuat umat Islam mendapatkan persekusi, intimidasi, alienisasi, dan diktarorisasi dari sistem arogan anti Islam.

Kembalinya peradaban Islam adalah kerinduan umat Islam di seluruh dunia. Karena hanya dengan kembalinya peradaban Islam yang menaungi umat Islam mereka mampu terlindungi dan bersatu.

Peradaban Islam yang dinantikan ini adalah ketika syari'at Islam dapat diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah. Karena hanya Khilafah mampu menjadi pemersatu umat, pelindung umat, penerap segala hukum Islam, dan penebar dakwah ke seluruh dunia. Sehingga Islam rahmattan lil 'alamin mampu dirasakan oleh seluruh alam.

Hagia Shopia yang dijadikan masjid mengingatkan kita tentang sultan Muhammad Al Fatih yang berhasil menaklukkan Konstantinopel. 

Pada tanggal 29 Mei 1453 Muhammad Al Fatih menakhlukkan konstantinopel. Selepas menakhlukkan konstantinopel Muhammad Al Fatih segera menuju St. Sophia, yang terucap darinya sepanjang langkahnya, maa syaa Allah maa syaa Allah berulang kali.

Setelah sampai di depan St. Sophia dia bersujud syukur ke arah kiblat dan melepas surbannya kemudiam mengambil segenggam tanah ia taburkan diatas kepalanya sebagai tanda bahwa dia bukan siapa-siapa, dia hanyalah dari tanah dan Allah yang menyebabkandia bisa menakhlukkan konstantinopel.

Kemudian dia masuk ke St Sophia dia dapati banyak orang-orang berlindung, anak-anak kecil perempuan-perempuan dan orangtua-orangtua, semua merasa takut dan kawatir, mereka berpikir orang-orang muslim akan membalas dendam atas orang muslim yang di Spanyol yang pada saat itu ditakhlukkan kembali oleh orang spanyol.

Namun Muhammad Al Fatih mengatakan keluar kalian smua dari sini. Siapa pun yang menginginkan untuk tetap tinggal di kota ini maka bagi mereka properti-properti mereka. Dan bagi mereka yang menginginkan pergi dari kota ini kami akan jamin nyawa mereka sampai di hadapan pintu kota, tapi kami minta tempat ini dijadikan sebagai masjid. Sejak saat itu Hagia Sophia difungsikan sebagai masjid.

Hagia Sophia bukan sekedar simbol, namun menjadi sebuah kebanggan bagi kaum muslimin bahwa Allah telah memenangkan agamanya atas segala sesuatu.

Ucapan fenomenal Muhammad Al Fatih saat itu adalah "Rasulullah tidak pernah bohong". Sebagaimana hadist dari Abu Qobil, ia berkata:

“Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Ash dan beliau ditanya tentang mana kota yang dibuka terlebih dahulu, apakah Konstantinopel ataukah Romawi? Maka beliau meminta untuk diambilkan sebuah kotak, lalu beliau mengeluarkan sebuah kitab lalu berkata: ‘Berkata Abdullah bin Mas’ud: Tatkala kami bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menulis, tiba-tiba beliau ditanya: Manakah kota yang terlebih dahulu dibuka, apakah Konstantinopel ataukah Romawi?’. Maka beliau menjawab: ‘Yang dibuka terlebih dahulu adalah kota Heraklius’. Yaitu Konstantinopel“.

Dari Abdullah bin Bisyr Al Ghonawi, ia berkata: Bapakku telah menceritakan kepadaku: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya akan dibuka kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu“.

Muhammad Al Fatih telah menakhlukkan kekaisaran bizantium, kemudian menakhlukkan konstantinopel kemudian mengubah gereja St. Sophia menjadi masjid, dan dia berpesan, "siapa pun yg menggagalkan kemudian membatalkan keputusan saya ini mudah-mudahan ia dikutuk oleh Allah Swt." 

Kenapa negara-negara barat yaitu musuh-musuh Allah menentang alih fungsi hagia sophia? Karena mereka mengetahui bahwa Hagia Sophia merupakan sebuah simbol kemenangan Islam, simbol eksistensi dan ekspresi Islam. Maka karena itulah mereka menolak.

Simbol adalah bagian dari sejarah, dan sejarah bagian dari identitas dan kebanggan seorang muslim. Kenapa suatunegara bisa hancur, karena mereka melupakan sejarahnya.

Maka saat nya umat ini bangkit kembali, kekuatan Islam tidak dapat dipandang sebelah mata ketika mereka mau untuk bersatu. Itulah yang ditakutkan mereka musuh-musuh Islam, persatuan umat Islam untuk bangkit dan menuntut kembalinya institusi Khilafah.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan dalam makalah ini adalah

Pertama. Hagia Sophia adalah gereja yang dibangun kekaisaran Bizantyum, menjadi simbol kebesaran kota Konstantinopel saat itu. Pada 29 Mei 1453 menjadi sejarah kemenangan Muhammad Al Fatih yang dapat menakhlukkan kota Konstantinopel, bisyarah Rasulullah telah terwujud nyata selang 800 tahun semenjak Beliau mengucapkannya. Sejak saat itu Hagia Sophia beralih fungsi menjadi masjid, namun kejahatan Mustafa Kemal Attaturk telah merubahnya menjadi museum pada tahun 1935. Kini 2020, Presiden Erdogan telah membatalkan dekrit yang dibuat kemal attaturk, dan mengembalikan alihfungsi Hagia Sophia kembali menjadi masjid.

Kedua. Alih-fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid telah mendapat sambutan hangat dari umat Islam di Turki dan di seluruh dunia. Di balik semua itu pun juga ada yang tak sependapat, apalagi dari golongan kaum non Muslim. Padahal, sejak Konstantinopel ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih 29 Mei 1453, telah menjadi milik umat Islam. Adalah hak khalifah Sultan Mehmed II untuk menggunakan Hagia Sophia menjadi masjid. Akibat, khilafah runtuh Hagia Sophia dijadikan museum oleh Mustafa Kamal Pasha. Umat Islam jangan terjebak dalam manuver pragmatis saat AyaSofya menjadi masjid. Umat Islam di seluruh dunia harus bersatu, berjuang mengambalikan kejayaan Islam dengan mewujudkan bisyaroh Nabi yaitu Khilafah Islam. Karena, hanya dengan khilafah umat Islam mampu berada di puncak peradaban gemilang.

Ketiga. Musuh-musuh Allah menentang alih fungsi Hagia Sophia, karena mereka mengetahui bahwa Hagia Sophia merupakan sebuah simbol kemenangan Islam, simbol eksistensi dan ekspresi Islam. Maka karena itulah mereka menolak. Maka saat nya umat ini bangkit kembali, kekuatan Islam tidak dapat dipandang sebelah mata ketika mereka mau untuk bersatu. Itulah yang ditakutkan mereka musuh-musuh Islam, persatuan umat Islam untuk bangkit dan menuntut kembalinya institusi Khilafah.[]

#LamRad
#LiveOpperesedOrRiseUpAgains

Oleh: Ika Mawarningtyas* dan Dewi Srimurtiningsih**

Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo
*Analis Muslimah Voice
**Analis Mutiara Umat



Posting Komentar

0 Komentar