Hak Imunitas Anggota DPR Bisa "Ambyar" Dihadapkan Delik Makar sebagai Extraordinary Crime



Sebagaimana diberitakan oleh Suara.com 3 Juli 2020- Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Anggota DPR RI dari PDIP Rieke Diah Pitaloka dilaporkan ke polisi perihal Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Menanggapi itu, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan bahwa anggota DPR RI memiliki hak mengusulkan RUU sehingga tidak bisa dikriminalisasi begitu saja.

Basarah menuturkan hak setiap anggota DPR mengusulkan sebuah RUU tersebut dijamin oleh Undang-undang (RUU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Selain itu, setiap anggota DPR juga memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari parlemen.

Benarkah hak imunitas itu tanpa batas dan dapat dipakai sebagai sarana berlindung anggota DPR atas potensi tindak kejahatan yang dilakukan khususnya terhadap tindak kejahatan yang bersifat extraordinary crime. Makar ideologi/ dasar negara tidak mungkin dikelompokkan sebagai delik ordinary mengingat dampaknya meluas, masif bahkan berkibat pada disintegrasi dan disorientasi bangsa.

Apa itu Hak Imunitas?

Dalam Undang-undang MD3 tentang MPR, DPR, dan DPD RI, kekebalan hukum yang dimiliki oleh anggota lembaga perwakilan rakyat dijamin. Hak imunitas sendiri adalah kekebalan hukum dimana anggota DPR tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-rapat DPR. Namun, hak imunitas ini bisa digunakan sepanjang anggota tidak melanggar yang bertentangan dengan peraturan tata tertib dan kode etik.

Praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, menempatkan DPR sebagai cabang kekuasaan negara di bidang legislatif melahirkan hak dan fungsinya dalam menjalankan tugas kelembagaannya. Salah satu hak yang melekat pada DPR adalah hak imunitas sebagaimana tertuang dalam Perubahan Kedua UUD NRI1945 Pasal 20A ayat (3): “Selain hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, 
setiap anggota Dewan perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, 
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”.

Hak imunitas anggota DPR tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 224 UU MD3. 

Pasal 224:

(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR”. 

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. 

(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Lebih khusus, hak imunitas ini kembali diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

Hak imunitas bagi cabang kekuasaan negara merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi modern. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak imunitas anggota DPR dimaknai sebagai hak anggota lembaga perwakilan rakyat untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal di dalam lembaga tersebut 
tanpa boleh dituntut di muka pengadilan.

Menurut Munir Fuady, pada umumnya 
pengertian fungsi legislatif yang dilindungi berdasarkan konsep hak imunitas ini 
mencakup hal-hal:

(1). Kebebasan berbicara dan berdebat di dalam sidang atau rapat-rapat di parlemen, 
(2). Pemungutan suara secara bebas di parlemen, 
(3). Penyediaan laporan-laporan fraksi, komisi atau pribadi anggota parlemen, 
(4). Partisipasi dalam hearing, rapat, sidang, di parlemen atau dalam tinjauan lapangan 
secara resmi oleh parlemen atau anggota parlemen, 
(5). Kebebasan untuk tidak ditangkap dan ditahan, 
(6). Kebebasan untuk tidak dituduh melakukan tindak pidana penghinaan atau penistaan.

Hak imunitas yang dimiliki oleh Anggota DPR hanya digunakan ketika seorang anggota menyampaikan statement atau pendapat berkaitan pelaksanaan kinerja mereka. Para anggota DPR ini akan dilindungi oleh hak Imunitas. Namun, hak khusus ini tidak berlaku apabila ada anggota DPR yang melanggar kode etik, seperti membuka perkara yang seharusnya tertutup dan dibuka ke publik karena hal tersebut adalah salah satu contoh kasus pelanggaran kode etik yang secara otomatis menganulir hak imunitas yang mereka miliki.

Hak Imunitas DPR dihadapkan Delik Makar Ideologi Sebagai Extraordinary Crime

Apa itu extraordinary crime?

Kejahatan luar biasa adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu kejahatan yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Di Indonesia, ada beberapa kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme, korupsi dan narkotika.

Bagaimana dengan tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 dan UU No. 27 Tahun 1999? Untuk menjawab pertanyaan ini kita uji dengan beberapa pertanyaan berikut.

1. Apakah tindak pidana membunuh presiden atau kepala negara adalah kejahatan biasa?
2. Apakah kejahatan Pemberontakan adalah kejahatan biasa?
3. Apakah kejahatan makar dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah dari negara ini adalah kejahatan biasa?
4. Apakah kejahatan makar ideologi/dasar negara adalh kejahatan biasa?

Menempatkan kejahatan terhadap keamanan negara sebagai tindak pidana biasa adalah tindakan yang ceroboh mengingat akibat kejahatannya akan sama bahkan melebihi tindak pidana korupsi. Makar ideologi/dasar negara akan berakibat perubahan mendasar dalam sistem hukum dan pemerintahan Indonesia. 

Makar Ideologi Mengancam Disintegrasi dan Disorientasi Bangsa

1. Ancaman Disintegrasi Bangsa

Pancasila sebagai dokumen moral, dalam tata negara Indonesia telah diterjemahkan menjadi dokumen hukum dengan mendudukkan Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana ditetapkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945. Pancasila harus dipakai sebagai "frame work" bagi Pemerintah Negara Indonesia atau semua pejabat penyelenggara negara baik di bidang kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif dan lembaga-lembaga negara lainnya, misalnya MPR. Jadi merekalah yang pertama kali harus membingkai perilaku kenegaraannya dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan sila-sila Pancasila, bukan mengejar-ngejar rakyat untuk mengamalkan Pancasila dengan membuat formula "manusia Pancasila" dan "masyarakat Pancasila" sesuai dengan kemauan rezim penguasa yang terus berubah. 

Konsep Demokrasi Liberal, Nasakom, P4 adalah beberapa formula gagal untuk membentuk manusia dan masyarakat Pancasila karena sejatinya bangsa khususnya para penyelenggara negara ini lebih senang berkubang di genangan lumpur komunisme dan kapitalisme. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika Pancasila Dasar Negara ditarik-tarik menjadi ideologi yang diframing oleh sebuah rezim, maka di saat itu pula ditemukan bibit perpecahan bangsa akibat polemik ideologi yang tidak akan berkesudahan bahkan cenderung menghadap-hadapkan antara Pancasila dengan Agama, khususnya Islam. Hal ini bisa kita telusuri kembali jejak sejarah di era:
1. Orde awal Kemerdekaan dgn Idelogi Liberal
2. Orde Lama dengan Nasakom
3. Orde Baru dengan P4 dan BP-7 serta Asas Tunggal
4. Orde Reformasi awal, mencabut P4 dan membubarkan BP-7. Di masa pertengahan, muncul dorongan Pancasila menjadi ideologi negara dengan slogan Aku Pancasila, UKP PIP, Tim Advokasi Hukum (TAHU). Kini dikuatkan dengan Pembentukan BPIP dan penyodoran RUU HIP.

BPIP telah menjadi lembaga redundant dan mubadzir karena soal pembumian Pancasila telah dilakukan oleh MPR dgn Program Empat Pilar-nya. RUU HIP justru dinilai banyak pihak telah mendown-grade keluhuran Pancasila sebagai Philosofische Grondslag dan bahkan ada hidden agenda mengusung ideologi komunisme. Maka demontrasi menentang RUU HIP terjadi masif di mana-mana dan seringkali bersinggungan dengan kelompok pengusung RUU HIP. Panas, dan makin memanas suhu politik dan sosial kita dan mengancam integrasi bangsa setidknya mengancam kohesi sosial kita. Ancaman kelompok penolak RUU HIP tidak boleh dianggap remeh karena dapat menyulut pertikaian besar bahkan hingga revolusi sosial yang kontraproduktif dan tidak kita inginkan. 

2. Ancaman Disorientasi Bangsa

Berdasarkan alinea 3 Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka Indonesia dapat dikelompokkan sebagai religious nation state. Jadi, orientasi bangsa ini, atau kiblat bangsa Indonesia jelas, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama tidak dapat dimarginalkan dari sistem kehidupan masyarakat, bangsa Indonesia. Sendi pokok negara ini jelas, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu terkait dengan dasar negara, maka Pancasila Dasar Negara juga bersendikan pokok (urat tunjang) pada Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan pada sila lainnya mengingat sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjiwai keempat sila lainnya.

Sementara itu terbaca, RUU HIP menggeser sendi pokok Pancasila dari Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Keadilan Sosial. Belum lagi adanya pemerasan Pancasila menjadibTrisila dan Ekasila. Maka, di sinilah sebenarnya telah terjadi pergeseran arah kiblat dari religious nation state ke arah Profan/Material/Sekular state bahkan Komunisme. Oleh karena itu sebagai sebuah bangsa kita dapat mengalami disorientasi arah sehingga Pancasila pun akan teralienasi dari bangsa Indonesia.

Pancasila menjadi terasing dari bangsa yang melahirkan dan membesarkannya sendiri. Hal ini memang sangat mungkin terjadi ketika para pejabat penyelenggara negara lebih menyibukkan diri untuk larut dan berkubang dalam mimpi hedonis yang melenakan dari ideologi komunisme dan kapitalisme. Padahal, pengalaman sejarah juga membuktikan bahwa kedua ideologi besar itu telah gagal membawa peradaban manusia yang bahagia lahir batin, dunia akherat. 

Hak Imunitas Dapat Diabaikan

Diberitakan oleh detikNews 14 November 2017, bahwa Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menjelaskan tentang hak imunitas yang dimiliki anggota DPR dalam suatu perkara hukum. Menurut Refly, anggota DPR memang punya hak imunitas, namun ada pengecualiannya. Secara umum anggota DPR, termasuk ketua DPR memiliki hak imunitas. 

Kekebalan tertentu untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun, hak imunitas itu bahkan ketika dia melaksanakan tugas dan kewajibannya itu bisa ada pengecualiannya. Terhadap hal-hal tertentu yang dia melanggar. Misalnya membuka perkara yang dinyatakan tertutup, tapi dia buka ke publik. Itu hak imunitas tidak berlaku. Refly menyebut, hak imunitas anggota DPR tak berlaku di kasus korupsi. Jika ada anggota dewan yang terkena korupsi, Redly menegaskan KPK dapat memprosesnya. Hak imunitas tidak pernah berlaku untuk kasus korupsi. Itu perlu dicatat. Hak imunitas tidak pernah berlaku untuk kasus korupsi, apalagi kasus korupsi yang disidik oleh KPK.

Mengingat dampak luas dan fundamental dari kejahatan makar ideologi/dasar negara ini, maka tidak berlebihan jika menempatkan tindak pidana makar ideologi sebagai EXTRAORDINARY CRIME sehingga Hak Imunitas DPR harus diabaikan demi kebenaran dan keadilan serta keselamatan NKRI dari tangan-tangan jahil yang bekerja secara khusus terencana, sistematis dan fundamental serta radikal. 

Sesuai dengan Putusan MK No. 7/PUU-XV/2017, 
delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan. Jadi, terkait dengan RUU HIP ini, untuk memproses adanya makar ideologi, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu UU HIP telah selesai ditetapkan, cukup dengan berbekal Naskah Akademis dan RUU HIP beserta dokumen terkait .

Penutup

Diperlukan pendayagunaan asas precautionary (kehati-hatian) dalam menangani kejahatan terhadap keamanan negara khususnya tindak pidana makar ideologi yang dapat memporak-porandakan dasar negara dan bangunan negara sehingga dapat mengakibatkan disintegrasi dan disorientasi bangsa Indonesia. Pancasila akan digantikan dengan idelologi komunisme yang jelas bertentangan dengan nilai Pancasila dan agama. Dampaknya bukan hanya lokal tapi berdampak luas terhadap dasar serta bangunan bangsa dan negara. 

Dampaknya melebihi kejahatan narkotika, terorisme, ataupun korupsi yang sering dikatakan sebagai extraordinary crime. Jika terhadap korupsi saja hak imunitas DPR tidak dapat digunakan, apalagi dihadapkan kepada kejahatan makar ideologi/dasar negara Pancasila yang merupakan kejahatan terhadap keamanan negara.[]

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat


Posting Komentar

0 Komentar