Anjloknya Progres Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Pandemi: Inikah Cermin Rendahnya Sense of Crisis Dalam Sistem Kapitalistik?


Presiden Jokowi menegur para menteri. Dalam sebuah rekaman video Sidang Kabinet Paripurna yang diunggah melalui kanal Youtube sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020). Jokowi menegur para menteri karena dianggap tidak bekerja secara maksimal dalam suasana krisis akibat pandemi Covid-19.

Dalam pemaparannya, Jokowi menyampaikan rasa kecewanya terhadap kinerja para Menteri yang dinilai tidak memiliki progres kemajuan yang signifikan dan menegaskan bahwa para menteri harus membuat kebijakan luar biasa (extraordinary) untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19. Jika para menteri membuat kebijakan biasa saja seperti kondisi normal maka Jokowi mengancam akan merombak kabinet (reshuffle).

Menurut Jokowi, kondisi sejak tiga bulan lalu dan setidaknya tiga bulan ke depan dalam suasana krisis. Ia merujuk pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dibuat beberapa lembaga internasional belum lama ini. "OECD bilang pertumbuhan ekonomi (dunia) terkontraksi 6% bisa sampai 7,6% minusnya. Bank Dunia (proyeksi ekonomi dunia) bisa minus 5%."

Karena itu, Jokowi meminta para menteri memiliki sense of crisis yang sama dalam menangani kondisi tersebut. "Jangan biasa-biasa saja, jangan anggap normal," katanya. 

Sebenarnya sidang kabinet digelar tertutup, tapi akhirnya Istana memutuskan mengunggah video rapat yang menampilkan kemarahan Jokowi selang 10 hari setelah sidang kabinet.

Melihat fakta di atas tentunya memunculkan tanya, apa yang diharapkan pihak istana dari perilisan video tersebut? Apa yang ingin ditunjukkan kepada publik atau rakyat?

Mungkinkah kebijakan-kebijakan sense of crisis mampu mengantarkan pada progres pertumbuhan ekonomi yang diharapkan? Mampukah mengangkat anjloknya progres pertumbuhan ekonomi? Bukankah kebijakan sense of crisis seharusnya tidak sekedar menitikberatkan pada keselamatan ekonomi belaka, namun juga mengutamakan aspek keselamatan jiwa rakyat?

Tak dipungkiri, ekonomi sudah pasti hancur ketika mengedepankan penyelamatan jiwa rakyat, namun setelah itu langkah-langkah penyelamatan ekonomi dapat dimasifkan. Pertanyaannya, mampukah sistem kapitalistik mewujudkannya?

Sistem Kapitalistik Memiliki Sense of Crisis yang Rendah dalam Mengupayakan Penyelamatan Ekonomi dan Jiwa Rakyat

Berdasarkan data yang diumumkan juru bicara Covid-19, Achmad Yurianto, pada 18 Juni 2020, posisi Indonesia ada 42.762 kasus positif. Tanggal 28 Juni 2020 jumlahnya mencapai 54.010 kasus. Penambahan kasus baru periode 22-28 Juni 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan pekan sebelumnya.

Ini seakan mengukuhkan memang telah terjadi peningkatan kurva penularan Covid-19 selama diterapkannya pembatasan sosial berskala besar transisi sebagai langkah lanjutan akan diterapkannya new normal. Namun, Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menjelaskan bahwa peningkatan angka kasus positif Covid-19 yang naik cukup tajam terjadi karena jumlah uji spesimen yang semakin banyak dilakukan.

Apakah hal ini yang memicu kejengkelan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet seperti yang telah diperlihatkan dalam video, sepertinya perlu ditelisik lebih dalam lagi rentetan keseriusan pemerintah berikut jajarannya dalam menangani pandemi Covid-19.

Dari awal, Presiden Jokowi secara aktif memimpin langsung penanganan Covid-19, dari mulai memantau krisis kesehatan maupun krisis ekonomi. Hal ini dilakukan melalui rapat kabinet maupun tinjauan ke lapangan. Bahkan, Presiden mengumumkan secara langsung saat pertama kali muncul dua kasus positif di Indonesia yang diumumkan secara resmi pada 2 Maret 2020.

Presiden telah mengambil sikap untuk terlibat langsung dalam menangani pandemi Covid-19, namun ketika presiden mengeluhkan tidak ada progress atau kemajuan dalam penanganan krisis termasuk pemulihan ekonomi tentunya ini menimbulkan pertanyaaan. Apalagi adanya langkah istana yang membuka video kemarahan presiden dalam sidang kabinet yang awalnya tertutup. Tidakkah itu seperti menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri?

Saat ini rakyat seakan sudah hilang kepercayaan terhadap pemerintah. Ini dapat terbukti dengan mencuatnya di jagat media sosial pada Senin 29 Juni 2020 hastag #PresidenDableg di lini masa. Hastag itu pun langsung masuk dalam jajaran trending topic di Indonesia. Rata-rata hastag tersebut berisi keluhan dari netizen atas kinerja presiden selama ini.

Pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam menilai sikap Presiden Jokowi tersebut menunjukkan bahwa atmosfer dalam kabinet yang dipimpinnya tidak sehat. Menurutnya, ini menandakan hampir seluruh kritikan yang selama ini dilayangkan publik benar adanya. Dari mulai penanganan Covid-19 sampai distribusi anggaran terdampak Covid-19.

Rakyat sudah nyaring menyuarakan kritik terhadap penanganan Covid-19, dari krisis kesehatan sampai krisis ekonominya. Bayang-bayang akan terjadinya krisis sudah mencekam kehidupan rakyat terdampak sejak tiga bulan lalu. Mengapa baru sekarang Presiden Jokowi menyesalkan kinerja anggota kabinet dan lembaga yang memiliki sense of crisis rendah?

Kiranya perlu menengok kembali kinerja jajaran pemerintahan. Pertama, cara Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto dalam menangani wabah virus corona di tanah air ini. Keblunderannya tampak dari berbagai pernyataan yang diungkapkan Terawan sebelum Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2019 lalu.

Mulai dari menyarankan masyarakat berdoa agar tidak terjangkit virus corona, hingga menantang Universitas Harvard untuk membuktikan langsung hasil riset yang memprediksi virus corona semestinya sudah masuk ke Indonesia. Dia berkukuh hingga saat itu belum ada kasus virus corona karena Indonesia telah memiliki alat untuk mendeteksi virus asal China tersebut.

Kedua, pernyataan 'konyol' kembali muncul dari seorang wakil rakyat, yakni Anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP saat mengikuti rapat penanganan virus corona. Dengan nada santai, Ribka seakan berolok-olok dan berbicara soal singkatan 'korona' yakni komunitas rondo mempesona yang menurut dia berbahaya. Ucapannya itu disampaikannya di hadapan Menkes Terawan saat rapat kerja (raker) di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta pada Senin (3/2/2020).

Ketiga, pernyataan yang sarat kesombongan keluar dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. Pada Jumat (7/2/2020), Mahfud mengklaim dengan sangat percaya dan bangga bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara besar di Asia yang belum ditemukan kasus corona. Sementara negara-negara lain beberapa sudah memiliki kasus positif virus corona.

Keempat, pada Senin (10/2/2020), Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menjawab dengan blak-blakan mengatakan virus corona sudah pergi dari Indonesia. Bahkan saat ditanya soal adanya suspect alias dugaan Corona yang menjangkit warga di Batam. Namun Luhut malah kembali menjawabnya dengan candaan, dengan menyebut corona sebagai merk mobil.

Kelima, tak ketinggalan Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi. Saat itu dia menyatakan bahwa tidak ditemukannya virus Covid-19 di Indonesia hingga saat ini karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh itu dimiliki lantaran setiap hari gemar makan nasi kucing.

Keenam, datang dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Kata Bahlil, masalah perizinan masih menjadi faktor pertama yang menghambat investasi di Indonesia. Lamanya proses perizinan di Indonesia bahkan sampai dibuat jokes. Adapun bunyi jokes tersebut menyebut jika alasan virus Corona sulit masuk ke Indonesia karena sulitnya perizinan.

Diatas beberapa kelakar para pejabat pemerintahan dalam merespon pandemi corona yang saat itu sedang masifnya melanda China. Setidaknya rekam jejak digital tersebut dapat menjadi bukti-bukti yang valid betapa pemerintah memang lalai dalam mengantisipasi datangnya pandemi Corona ke Indonesia.

Dari semula sebelum terdeteksi masuknya covid-19 ke Indonesia, para pejabat pemerintah memiliki sense of crisis yang rendah. Inilah penguasa yang lahir dari sistem kapitalistik. Terlihat dari penolakan dan sangkalan-sangkalan terhadap peringatan-peringatan yang disampaikan berbagai lembaga dan peneliti dunia.

Sudah seharusnya saat itu selaku presiden, dapat memberi teguran keras dan membuat kebijakan yang ekstra luar biasa demi mencegah masuknya virus Covid-19. Bukan saat ini ketika penyebaran Covid-19 semakin meningkat.

Dan juga, bukankah Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Presiden Jokowi selama ini membangun kesan bahwa dia mengawasi kinerja menteri dan jajaran di bawahnya dengan ketat. Koalisi parpol pendukung presiden di parlemen juga mayoritas. Jadi secara politik, seharusnya tidak ada masalah untuk bersikap tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Mengapa harus didahului dengan ancaman melalui video yang dilempar ke publik?

Perombakan kabinet atau reshuffle kabinet jika memang ingin dilakukan, bukankah harusnya sudah dari awal Mei, ketika sejumlah pejabat nampak kelimpungan, tak jelas arah kebijakan, dan bahkan gagal menyampaikan narasi programnya secara kredibel kepada publik.

Memang betul adanya, tidak ada negara yang siap dengan pandemi ini. Lebih dari 200 negara di dunia kaget dan kewalahan. Karena saat ini mayoritas seluruh dunia sedang menerapkan sistem pemerintahan yang sama yaitu sistem kapitalistik. Maka kebijakan yang dikeluarkan pun tidak jauh beda, hingga kegagalannya pun dapat dilihat keseragamannya.

Menggelindingnya trend global kebijakan new normal, adalah solusi sistem kapitalistik dunia demi penyelamatan anjloknya ekonomi dunia. Meskipun telah ada negara yang gagal menerapkannya, trend global ini masih tetap diambil. Alih-alih menyelamatkan ekonomi, kebijakan ini benar-benar memunculkan ancaman peningkatan kurva penularan covid-19 yang semakin tajam.

Untuk selanjutnya, rakyat akan menanti solusi nyata pemerintah yang ingin menyelamatkan 260 juta rakyat Indonesia. Keputusan-keputusan yang ekstraordinary yang dibarengi dengan sense of crisis akankah mewujud nyata? Apakah rakyat akan menemukan buah manisnya, atau lagi-lagi sekedar pemanis pengolahan citra belaka?

Dampak dari Rendahnya Sense of Crisis Penguasa dalam Sistem Kapitalistik tidak Mampu Penyelematan Jiwa Rakyat

Sesungguhnya, ketika datang ujian kehidupan baik berupa pandemi atau pun bencana alam, tidak ada manusia yang siap. Entah dalam tataran individu mau pun negara. Inilah yang pada akhirnya akan menunjukkan buruknya sistem buatan manusia, yang hanya berasal dari kejeniusan berpikir saja.

Tidak ada negara satu pun di dunia yang siap dengan pandemi ini. Lebih dari 200 negara di dunia tidak mampu menahannya. Krisis ekonomi dan krisis kesehatan menjadi persoalan yang sama bagi dunia saat ini.

Ironinya, sistem kapitalistik yang menjadikan materi sebagai tujuan utamanya menyelesaikan persoalan krisis ini mengerucut pada kebijakan yang sama, new normal. Meskipun WHO telah memberikan standar sebuah negara boleh tidaknya menerapkan new normal, namun lagi-lagi itu hanyalah bentuk himbauan semata.

Menaati atau pun menyelisihi prosedurnya, penguasa masing-masing negara di dunia yang memutuskan menjalani new normal ataukah menundanya. Pada akhirnya kebijakan new normal ini nir keselamatan rakyat dan lebih mementingkan keselamatan ekonomi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali mengingatkan jika pandemi virus corona di dunia hingga saat ini masih belum berakhir, kendati angka kematian global telah melewati setengah juta jiwa dan akumulasi kasus baru terus bertambah.

Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan tak mengelak jika semua pihak ingin Covid-19 segera berakhir agar bisa kembali melanjutkan hidup. Akan tetapi, kenyataannya hal itu terasa sulit saat ini.

"Walaupun banyak negara telah mengalami kemajuan, secara global pandemi ini sebenarnya sedang meningkat. Ini bahkan belum berakhir," ujar Ghebreyesus dalam konferensi pers virtual pada Senin (29/6) seperti dikutip AFP.

Begitu pula untuk pemerintah Indonesia, keinginan untuk segera menjalani new normal menimbulkan persoalan baru. Meningkatnya kurva penularan Covid-19 selama bulan Juni 2020 adalah fakta yang dapat diindera, meskipun disangkal dengan dalih banyaknya rapit test, tidak menutup kenyataan masih banyak yang tertular covid-19 yang belum terdeteksi.

Rendahnya sense of crisis Penguasa dalam sistem kapitalistik terbukti tidak mampu melindungi dan menyelamatkan jiwa rakyatnya. Upaya-upaya yang dilakukan lebih mementingkan penyelamatan ekonomi saja. Dimana ekonomi dunia termasuk Indonesia sudah semakin sulit sebelum munculnya pandemi.

Sebelum pandemi, CNBC Indonesia mengumpulkan beberapa jawaban dari pertanyaan yang sama kepada beberapa analis, pengamat ekonomi, hingga CEO. "Menurut Bapak/Ibu apa ekonomi kita saat ini berat dan penuh tantangan?" Jawabannya mengerucut sama, ekonomi memang sedang sulit dan mengalami tantangan yang berat.

Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah, mengatakan hampir semua negara saat ini menghadapi tantangan yang sama beratnya, yaitu ekonomi dan pasar keuangan global yang semakin sulit diprediksi arahnya.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja memberi jawaban, saat ini tidak boleh dipaksa kredit growth yang tinggi di tengah kondisi makro yang jelek terutama karena situasi dunia yang tidak menentu, meletupnya banyak kredit macet menandakan dampak negatif bisa selalu ada pada dunia usaha jadi harus alon-alon asal kelakon.

Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan Iya berat dan penuh tantangan, itu sudah pasti. Makanya menteri sekelas Sri Mulyani Indrawati saja tidak mampu mengatasinya dengan tuntas.

Ini terbukti dengan data dari bps yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2019 tumbuh 5,02 persen, lebih rendah dibanding capaian tahun 2018 sebesar 5,17 persen.

Apalagi ketika terdampak covid-19, ekonomi benar-benar dirasakan semakin sulit. Bahkan, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi atau minus 2,8 persen hingga minus 3,9 persen pada 2020.

Sepertinya lagi-lagi demi penyelamatan ekonomi adalah pilihan yang akan terus diambil pemerintah. Rendahnya sense of crisis penguasa dalam sistem kapitalistik mengakibatkan pilihan antara penyelamatan jiwa rakyat dengan penyelamatan ekonomi dapat dipastikan menitik beratkan penyelamatan ekonomi dan mengaburkan penyelamatan jiwa rakyat.

Ini tidak lain karena ketidakmampuan dan lemahnya sistem kapitalistik. Sangat tidak mungkin merengkuh penyelamatan keduanya. Alangkah baiknya pemerintah bersikap terbuka, berani melakukan tindakan yang nyata ekstraordinary, mempertimbangkan solusi nyata tanpa menafikan bahwa ada sistem pemerintahan lain yang mampu memberi solusi hakiki.

Islam benar-benar mampu, dan telah terbukti dapat menyelesaikan krisis baik akibat pandemi atau pun bencana alam. Kekuatan sistem pemerintahannya telah teruji dan mumpuni. Darinya terlahir penguasa-penguasa yang memiliki sense of crisis yang tinggi.

Kebijakan Sense of Crisis Khilafah Menyelamatkan Jiwa Rakyat dan Ekonomi

Di dalam sistem pemerintahan khilafah yang pernah tegak selama kurang lebih 1300 tahun lamanya, bukan tidak mungkin tidak pernah diuji dengan krisis baik dalam bentuk wabah atau pun bencana alam. Khalifah Umar bin Khattab dalam masa pemerintahannya pernah mengalami krisis. Krisis saat itu yang pernah dialami khalifah adalah wabah thaun dan paceklik. Lalu bagaimana sense of crisis yang melekat pada diri khalifah Umar dan para pejabat saat itu?

Ketika terjadi krisis, Khalifah Umar memberi contoh langsung dan terbaik saat bencana dengan cara berhemat dan bergaya hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dari masyarakatnya. Beliau tidak akan makan enak saat bencana, dipastikan makanannya tidak lebih enak dari rakyat yang terdampak bencana.

Diriwayatkan dari Anas, "Perut Umar bin al-Khathab selalu keroncongan di tahun kelabu, sebab ia hanya makan dengan minyak. Ia mengharamkan mentega untuk dirinya. Ia memukul perut dengan jari-jarinya dan berkata, 'Berbunyilah karena kita tidak punya apa pun selain minyak hingga rakyat sejahtera.'"

Selain itu, pakaian, tempat tidur dan gaya hidupnya semua benar-benar disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi masyarakat. Dengan sikap tersebut, beliau bisa merasakan betul bagaimana penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. Inilah sense of crisis yang nyata, ada dan melekat pada diri seorang kepala negara. Bukan basa basi, namun nyata menyesuaikan seluruhnya dengan kondisi masyarakat hingga selesai bencana, bukan sekedar pencitraan belaka.

Kemudian Khalifah Umar segera mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi krisis ekonomi secara cepat, tepat dan komprehensif. Untuk mengoptimalisasi keputusannya, Khalifah segera mengerahkan seluruh struktur, perangkat negara dan semua potensi yang ada untuk segera membantu masyarakat yang terdampak.

Pertama, memastikan semua penanganan berjalan baik, seluruh aparat terlibat membantu dengan optimal menanggulangi krisis dan tidak akan ada ruang untuk ABS (asal bapak senang). Kontrol khalifah atas kinerja seluruh aparat inilah yang menciptakan sense of crisis pada diri setiap aparat untuk turut meradakan penderitaan rakyat.

Diriwayatkan dari Aslam, "Pada tahun kelabu (masa krisis), bangsa Arab dari berbagai penjuru datang ke Madinah. Khalifah Umar ra. menugaskan beberapa orang (jajarannya) untuk menangani mereka. Suatu malam, saya mendengar beliau berkata, "Hitunglah jumlah orang yang makan malam bersama kita."

Orang-orang yang ditugaskan pun menghitung orang-orang yang datang. (Ternyata) berjumlah tujuh puluh ribu orang. Jumlah orang-orang sakit dan yang memerlukan bantuan  sebanyak empat ribu orang. Selang beberapa hari, jumlah orang yang  datang dan yang memerlukan bantuan mencapai enam puluh ribu orang. Tidak berapa lama kemudian, Allah mengirim awan. Saat hujan turun, saya melihat Khalifah Umar ra. menugaskan orang-orang untuk mengantarkan mereka ke perkampungan dan memberi mereka makanan dan pakaian ke perkampungan. Banyak terjadi kematian di tengah-tengah mereka. Saya melihat sepertiga mereka mati. Tungku-tungku Umar sudah dinyalakan para pekerja sejak sebelum subuh. Mereka menumbuk dan membuat bubur."

Kedua, memastikan betul bahwa program tanggap darurat berjalan dengan baik dan bantuan sampai kepada yang membutuhkan dengan baik dan mencukupi pula. Tersebar merata tidak sampai ada yang kekurangan atau di satu titik berlebih dan di titik lain tidak ada sama sekali.

Abu Hurairah ra. menceritakan dengan gamblang bagaimana Khalifah Umar ra. melakukan itu semua. Ia berkata, "Semoga Allah merahmati lbnu Hantamah. Saya pernah melihat dia pada tahun kelabu memanggul dua karung di atas punggungnya dan sewadah minyak berada di tangannya. Ia meronda bersama Aslam. Saat keduanya melihatku, Umar bertanya, "Dari mana engkau, wahai Abu Hurairah?" Saya menjawab, "Dari dekat sini."

Saya pun membantu dia memanggul. Kami memanggul hingga tiba di perkampungan Dhirar. Tiba-tiba ada sekelompok orang berasal dari dua puluh kepala keluarga datang. Umar bertanya, "Ada apa kalian datang?" Mereka menjawab, "Lapar."

Mereka pun mengeluarkan daging bangkai yang mereka makan dan tumbukan tulang yang mereka telan. Saya (Abu Hurairah) melihat Umar meletakkan selendangnya. Ia  kemudian memasak dan memberi mereka  makan hingga kenyang. Selanjutnya, Aslam tiba di Madinah dengan  membawa kain bordiran hingga berkeringat dan memberikannya kepada mereka. Selanjutnya, ia selalu mendatangi mereka dan juga yang lain  hingga Allah menghilangkan musibah itu dari mereka."

Ketiga, memobilisasi bantuan dari daerah sekitar dan memotivasi agar berlomba-lomba meringankan saudaranya.

Khalifah Umar langsung bertindak cepat ketika melihat kondisi keuangan Baitul Mal tidak mencukupi penanggulangan krisis. Khalifah Umar segera mengirim surat kepada para gubernurnya di berbagai daerah kaya untuk meminta bantuan. Petugas Khalifah Umar langsung mendatangi Amru bin al-Ash, gubernur di Mesir, "Dari hamba Allah, Umar bin al-Khaththab, Amirul Mukminin, untuk Amru bin al-Ash. Semoga kesejahteraan terlimpah padamu. Selanjutnya, tegakah kau melihatku dan orang-orang di sekitarku, sementara engkau dan orang-orang di sekitarmu hidup penuh kenikmatan? Tolonglah kami, tolonglah kami."

Amru bin Ash membalas, "Untuk hamba Allah, Amirul Mukminin, dari Amru bin al-Ash. Semoga kesejahteraan terlimpah kepadamu. Saya memuji Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya. Selanjutnya, bantuan akan segera tiba. Untuk itu, bersabarlah. Saya akan mengirim kafilah untukmu. Yang depan berada di dekatmu, sementara yang belakang berada di dekatku. Saya berharap bisa membawa bantuan melalui laut."

Gubernur Mesir, Amru bin al-Ash mengirim seribu unta yang membawa tepung melalui jalan darat dan mengirim dua puluh perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut serta mengirim  lima ribu pakaian kepada Khalifah Umar.

Khalifah Umar juga mengirim surat kepada para gubernurnya di Syam. "Kirimkan makanan yang layak untuk kami karena sudah banyak yang binasa kecuali jika Allah merahmati mereka."

Surat serupa juga dikirim kepada para gubernurnya di Irak dan Persia. Semuanya mengirim bantuan untuk Khalifah.

Keempat, khalifah langsung memimpin taubatan nashuha, menyerukan taubat meminta ampun kepada Allah agar bencana ini segera berlalu. Karena bisa jadi bencana atau krisis yang ada akibat kesalahan-kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh khalifah atau masyarakatnya.

Abullah bin Umar ra. meriwayatkan, ia berkata, "Pada suatu malam di waktu sahur saya mendengar ia berdoa, "Ya Allah, janganlah Kau binasakan umat Muhammad saat saya menjadi pemimpin mereka."

Ia pun berdoa, "Ya Allah, janganlah Kau binasakan kami dengan kemarau dan lenyapkanlah musibah dari kami." Ia mengulang-ulang kata-kata tersebut.

Kelima, khalifah memberhentikan sementara hukuman had bagi pencuri karena terpaksa demi sekedar menyambung hidup. Dan menunda pungutan zakat saat krisis atau bencana.

Disinilah tampak jelas bahwa kebijakan sense of crisis khilafah memiliki cara tersendiri dan khas dalam menanggulangi krisis dan bencana. Kebijakan yang religius, strategis, totalitas, menyeluruh dan penuh keteladanan. Ini semua dijalankan dalam bingkai keimanan dan ketakwaan dalam Islam.

Keimanan dan ketakwaan inilah yang mendorong para pemimpin dan pemangku jabatan dalam khilafah untuk selalu menciptakan kebijakan-kebijakan ekstraordinary yang dipenuhi dengan sense of crisis.

#LamRad
#LiveOpperesedOrRiseUpAgains

Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Analis Mutiara Umat, Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar