Solusi Islam atas Perselisihan antara Suami Istri


Dalam kehidupan rumah tangga tentu saja akan ada sedikit banyaknya terdapat perselisihan antara suami istri. Tidak hanya kita sebagai manusia yang memang banyak khilaf dan dosa. Rasulullah dengan para istrinya juga pernah mengalami ujian bagaimana membangun kehidupan rumah tangga tersebut. Namun rasulullah dan para ummul mukminin telah memberikan contoh yang baik bagaimana sikap yang harus dibangun ketika terjadi perselisihan. 

Asy-Syâri‘ (Sang Pembuat Hukum) telah memandang bahwa seorang isteri merupakan sahabat bagi suaminya dalam kehidupan suami-isteri. Setiap ketidakbahagiaan dan kebencian yang terjadi di dalam rumah tangga yang menimpa isteri pasti juga menimpa suami. 

Suatu perkawinan menunjukkan bahwa diselenggarakan dalam rangka membentuk keluarga, sekaligus mewujudkan ketenteraman bagi keluarga tersebut. Jika di dalam kehidupan suami-isteri itu terjadi sesuatu yang dapat mengancam ketenteraman dan kondisinya sudah sampai pada batas yang sulit mewujudkan kehidupan suami-isteri yang harmonis, maka harus ada metode yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan antara satu sama lain.

Oleh karena itu sebelum membangun kehidupan rumah tangga, baik suami maupun istri wajib memahami bagaimana syara’ telah menetapkan kewajiban bagi suami dan juga kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh istri. Suami sebagai pemimpin rumah tangga, dan istri sebagai ummu rabbatul bait. 

Islam juga telah memerintahkan suami-isteri agar bergaul dengan cara yang baik serta mendorong mereka untuk bersabar memendam kebencian yang ada, karena boleh jadi pada apa yang dibenci itu terdapat kebaikan. Allah SWT berfirman:

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 19)

Kondisi hari ini adalah kehidupan yang jauh dari kehidupan islam, yaitu dalam kehidupan yang diterapkannya sekuleristik. Banyak suami istri yang menyelesaikan permasalahan-permasalahan dengan segera mengambil keputusan untuk bercerai. Padahal ada langkah-langkah dan sarana lain yang dapat ditempuh. Dan bercerai bukanlah satu satunya sarana untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri maka langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan memahami hukum syara’ terhadap permasalahan yang terjadi. Maka bagi suami dan istri tersebut tentulah berupaya mengikuti ketetapan syariah. Allah SWT berfirman : 

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
 
Terjadinya perbedaan pendapat adalah sesuatu hal yang wajar. Meskipun suami diberikan posisi sebagai qawwam (pemimpin) namun bukan berarti dapat bertindak sebebasnya. Artinya kepemimpinan suami bukanlah kepemimpinan yang otriter namun kepemimpinan yang diwarnai persahabatan. Maka suami dapat berdiskusi dan bermusyawarah dengan istri dalam mengambil beberapa keputusan dan mengedepankan sikap huznudzon, bukan malah sikap saling merasa direndahkan apabila ada keinginan di antara keduanya yang tidak terpenuhi.

Maka permasalahan yang terjadi antara suami dan istri selalu mengedepankan musyawarah dan diskusi. Dan senantiasa menumbuhkan suasana saling memberikan nasehat. Baik nasehat dari suami atau sebaliknya nasehat dari istri kepada suami. 

Namun ketika terjadi nusyuz (pembangkangan istri) maka dapat dilanjutkan dengan memisahkan dari tempat tidur mereka. Bahkan dapat juga memberikan pukulan yang tidak menyakitkan. Allah SWT berfirman :

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS an-Nisa: 34)

Jika pergaulan yang baik tidak lagi bermanfaat, demikian juga cara-cara yang keras; sementara masalah ketidaksukaan, kejengkelan dan pembangkangan telah melampaui batas hingga sampai pada perselisihan dan persengketaan, maka Islam tidak juga menjadikan talak sebagai langkah kedua, betapapun hebatnya krisis di antara keduanya. 

Adapun yang metode lainnya dalam menyelesaikan perselisihan langkah yang dapat ditempuh agar persoalan yang ada itu diselesaikan oleh orang lain, selain kedua suami isteri tersebut, dari keluarganya masing-masing. Hal ini agar kedua pihak berupaya mewujudkan perbaikan (di antara suami-isteri itu) sekali lagi. 

Allah SWT berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 35)

Jika kedua orang hakam itu tidak mampu mendamaikan suami isteri yang sedang berselisih tersebut, maka saat itu tidak ada ruang lagi untuk mempertahankan kehidupan suami-isteri di antara keduanya setelah segala upaya telah dilakukan. Sebab problem psikologis masing-masing pihak sudah tidak dapat menerima solusi apa pun selain perpisahan di antara keduanya. Maka harus terjadi talak (perceraian) yang mudah-mudahan membuat keduanya memperoleh ketenangan dan mudah-mudahan problem-problem yang ada dapat diatasi dengan perceraian itu. 

Allah SWT berfirman:
 “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 130)

Namun demikian, talak tersebut tetap memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak (untuk rujuk kembali) dan bukan merupakan perpisahan yang final di antara keduanya. Bahkan, keduanya tetap diberikan hak untuk rujuk kembali untuk talak yang pertama dan yang kedua. Sebab, talak pertama atau talak kedua, tidak jarang memunculkan keinginan baru di dalam diri suami-isteri itu untuk mengembalikan kehidupan suami-isteri di antara keduanya untuk yang kedua kalinya setelah talak pertama, atau untuk yang ketiga kalinya setelah talak kedua. 

Dari sinilah kita menemukan bahwa, syara’ telah menetapkan talak sebanyak tiga kali. Allah SWT berfirman: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (TQS al-Baqarah [2]: 229)

Dengan itu, suami-isteri dibiarkan untuk mengevaluasi diri masing-masing dan untuk kembali kepada ketakwaan kepada Allah SWT yang tertancap di dalam dadanya. Mudah-mudahan dengan itu keduanya akan kembali berupaya untuk mencoba menjalani kehidupan suami-isteri untuk yang kedua kalinya, sehingga masing-masing dapat mengecap ketenteraman, ketenangan, dan kedamaian yang belum sempat mereka raih sebelumnya. 

Setiap permasalahan yang ada harus segera diupayakan untuk segera diselesaikan. Sehingga kesengsaraan di dalam rumah-tangga tidak akan berlarut-larut, dan kebahagiaan hidup suami-isteri dapat tetap terwujud di tengah-tengah masyarakat. Karena keluarga yang tenteram tentulah akan membantu mewujudkan ketentraman di masyarakat.

Wallahu’alam.[]

Oleh Wandra Irvandi, S. Pd. M. Sc.

Posting Komentar

0 Komentar