Menolak RUU HIP Tanpa Reserve


Dipetik dari media online jurnas.com 14 Juni 2020, Sekjend PDIP Hasto Kristianto menyatakan bahwa atas desakan berbagai pihak PDIP bersedia memasukkan Tap MPRS No. XXV 1966 ke dalam Konsideran RUU HIP yang selama ini digugat oleh banyak pihak masyarakat Indonesia. Apakah hal itu menyelesaikan masalah? Memasukkan Tap MPRS No. XXV 1966 Tentang Pembubaran PKI dan Larangan Menganut, Menyebarkan Ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisme tidak berarti menyelesaikan carut marut RUU HIP. Apalagi kesediaan kemasukkan Tap MPRS tersebut disertai dengan bargaining larangan "khilafahisme" dan "radikalisme" yang telah dan akan menyasar umat Islam sendiri. 

Ini cara yang patut kita yakini akan membenturkan Umat Islam (Agama) dengan Pancasila karena sudah terang bahwa khilafah itu sistem pemerintahan---bukan isme---yang bersandar pada Ideologi Islam. Jadi, tidak boleh mengkriminalkan ajaran Islam (fikih siyasiyah) kecuali hendak memerangi umat Islam. Persoalan sistem khilafah itu belum diterima dan disepakati oleh bangsa ini sebagai sistem yang berlaku secara formal, itu persoalan lain, namun mensejajarkan sistem khilafah dengan komunisme adalah kesalahan berpikir tingkat dewa bahkan cenderung absurd.

Upaya bargaining memasukkan Tap MPRS XXV 1966 patut diyakini bahwa ada ending sekaligus visi terselubung RUU HIP ini selain ditengarai mengusung ideologi komunisme sekaligus patut diduga  hendak memerangi Islam, setidaknya ajaran Islam tentang sistem pemerintahan khilafah. Kalau demikian maka upaya penolakan terhadap RUU HIP ini tidak lagi menyangkut teks dan konteks tetapi menyangkut visi-nya yang hendak menghadap-hadapkan antara agama dan Pancasila padahal keduanya bukan oposisi melainkan bersebangun baik dalam bentuk dan isinya. 

Menghadapkan agama dan Pancasila sama saja akan mendeklarasikan bahwa agama itu musuh terbesar Pancasila sebagaimana telah diucapkan oleh Ketua BPIP di bulan Pebruari 2020 ini. Rentetan peristiwa pernyataan Ketua BPIP, RUU HIP, Pernyataan Hasto Kristianto yang mensejajarkan sistem khilafah dengan komunisme sebagai isme terlarang bukan mata rantai yang terpisah, melainkan kait mengait. Untuk itu, kita sebenarnya bisa melacak "epicentrum" kehebohan RUUH HIP itu ada di mana. 

Tuntutan bangsa ini saya kira tidak lagi sekedar mememasukkan Tap MPRS XXV 1966 ke dalam konsideran RUU HIP dan perbaikan pasal-pasal krusial berkecondongan mengusung ideologi komunis tetapi pada seluruh tubuh RUU HIP tanpa reserve karena HIP justru akan berpotensi memecah belah bangsa Indonesia. UU HIP tidak memiliki urgensi karena kita sudah memiliki penafsiran utama Pancasila yang merupakan haluan penyelenggara negara, yakni UUD NRI 1945. Kita juga sudah mempunyai Tap MPR No. VI Tahun 2001 Tentang etika kehidupan berbangsa yang memberikan pedoman bagaimana warga bangsa ini menjalani kehidupan di bidang ideologi, politik pemerintahan, budaya bahkan hingga penegakan hukum. 

Di bidang keamanan negara khususnya terkait dengan ideologi kita masih punya Tap MPRS XXV 1966, UU No. 27 Tahun 1999 jo Pasal 107 abcdef KUHP serta UU Ormas No. 16 Tahun 2017. Lalu, buat apa kita memaksakan adanya UU HIP. Jika hal ini tetap nekad dilakukan maka upaya itu adalah langkah mundur negeri ini yang tidak mau belajar dari kesalahan sejarah masa lalu. Selamatkan Pancasila dari penggerogotan sistemis yang hendak dilakukan secara latent dan manifest oleh Pengusung Ideologi Komunis (PIK). Tabik!

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar