Mendedah Cinta Sang Mantan (eks HTI) di Tengah Riuh Tuduhan sebagai Pengacau Negara.


Masih dalam kondisi pandemi menyebarnya virus corona dan di tengah maraknya berbagai penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila di negara kita, tersiar pula publikasi sebuah agenda diskusi secara eksklusif dari suatu kelompok yang bertajuk “Menangkal Propaganda Eks HTI dalam Negara Pancasila” pada Ahad 21 Juni 2020 pukul 13.00 lalu, melalui forum Webinar atau Web Seminar yang dilakukan secara virtual. 

Bukannya ikut sibuk mengedukasi masyarakat tentang wabah corona maupun RUU HIP yang dinilai banyak kalangan sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa kita, kelompok ini justru kembali mencari-cari kesalahan dan terkesan lagi-lagi ingin mengkambinghitamkan HTI melalui agenda yang berbungkus diskusi. Namun alih-alih yang katanya ingin menangkal propaganda dari Eks HTI atau orang-orang yang mereka anggap sebagai mantan anggota HTI, tapi anehnya tidak ada satupun narasumber yang dihadirkan langsung dari Eks HTI yang disebut itu.

Bukankah agenda diskusi tersebut akan lebih tampak sehat dan terbuka jika yang disebut dengan propaganda Eks HTI tersebut disampaikan langsung kepada narasumber yang mewakili HTI sendiri yang dihadirkan sebagai objek utama yang ingin dikoreksi dalam diskusi. Bukankah dengan begitu akan lebih fair dan terkesan apple to apple dalam mempertemukan kedua pemikiran dan pandangan serta alasan yang disertai argumen yang kuat yang hendak disampaikan kepada masyarakat. 

Para pembaca yang budiman, Anda mungkin masih ingat sebuah film yang diangkat dari sebuah novel ternama berjudul Laskar Pelangi. Namun, dalam artikel ini kami menyebut HTI bukan sebagai Laskar Pelangi tetapi Laskar Pelangit. Apa itu pelangit? Di KBBI tidak akan Anda temukan. Ini hanya istilah yang disejajarkan dengan melangit, laskar bervisi menuju ke langit, yang mengemban amanah langit. Beda dengan Laskar Pelangi. Namun persamaan yang ingin kami tonjolkan dari Laskar Pelangit yakni kemiripan semangat juang HTI dengan Laskar Pelangi.

Laskar Pelangi (2005) bercerita tentang suka, duka, harapan, cita-cita, kebodohan, kepintaran, dan kekonyolan yang dialami anggota Laskar Pelangi selama sekolah. Pengalaman-pengalaman tersebut mengandung kisah yang inspiratif tentang perjuangan dan keberhasilan luar biasa anak-anak daerah (Provinsi Bangka-Belitung sekarang) dalam bidang pendidikan. Mereka mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang mencengangkan. Novel tersebut ditulis dengan semangat bersama untuk bertahan dan mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dan rintangan dalam menempuh pendidikan. Novel tersebut tidak mengajak kita menangisi kemiskinan, (kekurangan harta, pengetahuan, keyakinan), tetapi mengajak kita memandang kemiskinan itu dengan cara lain (http: ensiklopedia.kemdikbud. go.id/sastra/artikel/Laskar_Pelangi).

Kutipan atas penggalan kisah tersebut bukanlah dimaksudkan untuk mensejajarkan kisah itu dengan kisah perjalanan dan perjuangan Organisasi Masyarakat (ormas) yang sebelum dicabut Badan Hukumnya turut serta berkiprah dalam mempertahankan kejayaan dan keagungan serta martabat NKRI. Akan tetapi penggunaan kata LASKAR itulah yang mengingatkan kami akan adanya kemiripan kisah perjuangan dalam menggapai sebuah tujuan luhur. Laskar yang karakternya sejenis dengan Laskar Pelangi itu adalah sebuah Ormas yang bernama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Hizbut artinya artinya juga Laskar. Laskar Pembebasan. Namun, karena kiprahnya kami kira agar tidak menduplikasi nama Laskar Pelangi, maka lebih baik HTI dijuluki dengan nama Laskar Pelangit. Sebuah laskar yang berjuang untuk memakmurkan bumi dengan "kredo" petunjuk langit (Ilahi Rabbi).

Dalam pandangan kami ormas HTI itu mirip perjuangan sekelompok "manusia pintar" dalam Laskar Pelangi ketika menghadapi persoalan hidup dan pasca kehidupan dengan menghadapi tekanan dan ancaman yang bertubi-tubi. Dari tuduhan sebagai kelompok radikal, anti Pancasila, Anti NKRI, hingga disamakan dengan PKI dan bahkan oleh Boni Hargens disebut sebagai LASKAR PENGACAU NEGARA (https://www.google.com/amp/s/fajar.co.id/2020/06/05/). Sebutan yang menurut analisis hukum penulis sangat tidak berdasar atas fakta hukum karena selama ini--sebelum dicabut badan hukumnya--- ormas HTI tidak pernah membuat kekacauan apalagi rencana makar atau kudeta terhadap NKRI. Apalagi sekarang sudah dicabut badan hukumnya, jadi bukankah HTI secara kelembagaan formal sudah tidak ada? Lalu kapan "HTI" telah dan berencana melakukan kekacauan pada negara ini?


Sejak disahkannya Perppu Ormas 2017 hingga kemudian menjadi UU Ormas No. 16 Tahun 2017, HTI memang selalu mendapatkan tekanan yang luar biasa dan hingga disebut sebagai ormas yang ideologinya bertentangan dengan ideologi Pancasila dan akhirnya dicabut Badan Hukumnya oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly. Dan sejak itu juga berbagai opini buruk selalu diarahkan kepada HTI. 
 
Perbincangan Hangat Tentang Sang Mantan (Eks HTI) di Tengah Negeri Dilanda Pandemi Corona: Antara Benci dan Cinta.

Seperti apa yang sudah kami tuliskan di awal penghantar artikel ini, di tengah kondisi masih menyebarnya virus corona dan santer maraknya berbagai penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila di negara kita, masih saja ada opini negatif yang dilemparkan kepada orang-orang HTI dari pihak-pihak yang seperti terlanjur menaruh kebencian pada HTI. Berkali-kali agenda demi agenda diskusi skala nasional diselenggarakan yang berisi koreksi terhadap ide-ide dan aktivitas dakwah kelompok dakwah HTI, yang padahal secara konstitusional telah dianggap sudah tidak ada karena telah dibubarkan oleh pemerintah. Bahkan dalam beberapa kesempatan di berbagai acara diskusi di media-media nasional pun nama HTI masih saja sering disebut-sebut dan dihubung-hubungkan dengan suatu hal dalam dinamika perpolitikan.

Diskusi yang secara sehatnya seharusnya ikut menghadirkan narasumber atau tokoh dari Eks HTI atas koreksi yang bisa dipaparkan ke tengah publik. Namun kenyataannya tidaklah demikian, pihak-pihak yang notabene penentang gerakan kelompok dakwah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) lagi-lagi hanya bisa mengkonsolidasi pemikiran HTI di belakang HTI. Padahal logika sehatnya yang namanya menangkal itu sama artinya dengan membendung dan membendung itu seharusnya dari depan secara kesatria bukan dari belakang layaknya mengghibah.

Diskusi yang sarat dengan opini sesat yang bertujuan untuk menekan gerakan dakwah orang-orang yang mereka sebut sebagai Eks HTI. Penyebutan Eks HTI yaitu untuk orang-orang yang dianggap sebagai mantan anggota HTI walaupun pada hakikatnya tidak ada yang namanya Eks HTI karena HTI hingga kini masih terus melakukan aktivitas dakwah walau tidak di bawah badan hukum yang menaunginya. Karena secara hukum pun tidak ada aturan hukum yang melarang aktivitas berdakwah, tidak terkecuali bagi orang-orang yang dianggap eks HTI ini. 

Lalu timbulah kemudian sebuah pertanyaan di benak kita sebagai masyarakat, yaitu: apakah ini sebagai pertanda bahwa mereka penentang dakwah HTI ini sedang merasa sadar telah gagal dan lemah dalam upaya membubarkan dan menghalangi dakwah HTI? Karena pada realitasnya HTI adalah kelompok yang senantiasa teguh dan solid dalam memperjuangkan kebenaran dan kebangkitan Islam. Walaupun secara fisik atau wadah mereka telah dibubarkan paksa namun secara prinsip dan pemikiran para anggota atau jamaah pengikutnya memang masih ada bahkan terus bertambah.

Hal demikian mengingatkan kita pada suatu masa yaitu akan aktivitas yang selalu diagendakan para pemangku Quraish dan para pendukungnya dalam menghalangi dakwah Islam oleh Rasulullah Saw pada saat awal mendakwahkan Islam di kota Mekah. Mereka aktif melakukan diskusi bersama guna menekan dan menghalangi gerak dakwah Rasulullah Saw dan para pengikutnya yang kian hari kian menyebar dan berkembang namun tanpa sekalipun menghadirkan atau mengundang Rasulullah Saw dan para sahabat dalam kesempatan diskusi tersebut.

Alasannya tentu saja karena para pemuka Quraish dan pendukungnya tidak mempunyai hujjah atau argumen yang cukup dan kuat untuk melawan gagasan Islam yang ditawarkan oleh Rasulullah Saw selain berupa fitnah dan hujjah-hujjah yang dangkal yang mereka yakini dan pertahankan dari ajaran nenek moyangnya.

Dengan berbagai rencana itu pula mereka mencoba memprovokasi dan selalu menebarkan opini serta propaganda negatif ke pada masyarakat Mekah dengan mengatakan bahwa harus berhati-hati dan menjauhi ajakan Muhammad dan para pengikutnya yang telah berani meninggalkan tradisi nenek moyang yang sudah berjalan selama ratusan tahun lamanya. Dalam rangka upaya menggagalkan dakwah Islam yang dibawa Rasulullah Saw.

Sungguh hal tersebut mempunyai kesamaan terhadap orang-orang yang selalu berusaha menentang dan menghalangi dakwah Khilafah yang disampaikan oleh HTI selama ini. Mereka selalu berupaya menyebarkan informasi yang salah dan negatif ke tengah masyarakat tentang HTI. Kekalahan intelektual dan kebencian mereka terhadap dakwah Khilafah telah membuat mereka kian tersesat dan buta mata hatinya hingga tidak mampu lagi dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. 

Sementara terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila yang disebut-sebut penuh kecacatan dan sarat menjadi jalan bangkitnya kembali komunisme di negeri ini mereka tampak tidak ada gairah dan hilang suara, mengapa? Lalu siapakah sebenarnya yang sedang berpropaganda?! Dengan alasan ingin menjaga dan melindungi bangsa dan masyarakat, mereka justru terkesan menabuh genderang perpecahan dan adu domba antara HTI dan umat Islam secara umum.

Allah SWT berfirman: “Dan bila dikatakan kepada mereka:’Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ’Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’. (11). Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (12). Apabila dikatakan kepada mereka:”Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab:’Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman’. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu”. (13). [Q.S. Al-Baqarah [2]: 11-13).

Begitu juga dari sisi secara hukum, tindakan represi juga makin meninggi terhadap para anggota bahkan orang yang pernah terlibat dalam "mantan" ormas resmi yang bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dicabut Badan Hukumnya sejak tahun 2017 lalu itu. Seperti yang terjadi di Kupang belum lama ini juga ada penangkapan terhadap suami istri yang diduga sebagai eks HTI dan dituduh menyebarkan ideologi khilafah yang ingin mendirikan negara Islam. Apakah itu bukan tuduhan yang terlalu berlebihan?

Keprihatinan kami juga muncul selain atas kasus yang menimpa penulis sendiri yang dituduh terpapar radikalisme, anti Pancasila, anti NKRI, simpatisan, berafiliasi dan bahkan disebut-sebut "anggota" HTI dan juga keprihatinan atas "nasib" sahabat penulis di perguruan tinggi swasta. Sahabat kami ini terkesan "diintimidasi" karena diduga sebagai anggota HTI, sehingga oleh pihak tertentu dijadikan alasan "bargaining position" apabila ia mempunyai program yang berhubungan langsung dengan kepentingan lembaga itu. Dia "wajib" membuat PERNYATAAN TERTULIS bahwa ia bukan anggota HTI supaya "LOLOS BUTUH".

Jadi, kini anggapan lembaga dan pihak-pihak tertentu itu terhadap HTI tidak beda dengan PKI masa lalu. Mengapa bisa terjadi keadaan seperti ini? Kalau kita jeli pasti akan bertanya: "Di mana Hukum?" Bukankah negara kita ini negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945? Namun, mengapa justru politik yang menjadi panglimanya? Mungkin di benak Anda yang murni akan menanyakan: "Apa sebenarnya salah HTI?" Dan pertanyaan itulah yang belum terjawab melalui media yang bernama "hukum" itu. Maka dalam artikel ini juga beberapa hal berikut perlu dibahas agar kita sebagai warga negara juga melek hukum atas kasus yang menimpa ormas HTI sehingga tidak gagal paham hingga menyebut HTI bertentangan dengan pancasila dan laskar pengacau negara.

Kedudukan Hukum HTI Pasca Pencabutan Badan Hukumnya Terkait dan Tuduhan Sebagai Organisasi Terlarang Layaknya PKI.

Sebagaimana diketahui, status Badan Hukum Perkumpulan HTI telah dicabut melalui surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-30.A.01.08 Tahun 2017. SK tertanggal 19 Juli 2017 terkait tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia. 

Dengan adanya pencabutan status Badan Hukum Perkumpulan HTI, dan berdasarkan Pasal 80A Perppu No. 2 Tahun 2017, maka Perkumpulan HTI dinyatakan bubar. Menurut Pemerintah, alasan pencabutan badan hukum HTI dilakukan karena kegiatan HTI jelas bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan mengancam kedaulatan NKRI. Pasalnya, HTI bermaksud mendirikan Negara transnasional Islam dan menyebarluaskan sistem serta paham khilafah yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. 

Pemerintah pun menyodorkan bukti-bukti berupa dokumen, video, artikel, buku, bulletin, dilengkapi dengan keterangan Ahli dan Saksi Fakta di dalam persidangan. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pemerintah beranggapan bahwa HTI menentang sistem demokrasi Pancasila dan berkeinginan untuk menghancurkan sekat-sekat nasionalisme.

Pencabutan badan hukum HTI ini merupakan konsekuensi dari terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas (Perppu Ormas). Pada tanggal 24 Oktober 2017 lalu, Perppu tersebut telah disahkan DPR menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, dan kemudian diundang-undangkan pada tanggal 22 November 2017. Para pengurus HTI menilai bahwa pencabutan Badan Hukum HTI tidak dilakukan sesuai prosedur sebagaimana dianut oleh negara hukum (due process of law), bukan menggunakan pendekatan kekuasaan apalagi main hakim sendiri (eigenrichting).

Para pengurus HTI lewat Sekretaris Umum sekaligus Jubir Perkumpulan HTI Ismail Yusanto kemudian mengambil langkah-langkah hukum (due process of law), untuk mengajukan gugatan di PTUN Jakarta. HTI pun menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya. Persidangan gugatan Pencabutan BADAN HUKUM HTI telah dilaksanakan. Mulai dari PTUN, PTTUN hingga kasasi telah dilaksanakan.

Pada tanggal 15 Pebruari 2019, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelum ke MA, HTI melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), lalu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Dengan demikian maka pada semua jenjang peradilan gugatan HTI tidak ada yang dikabulkan. Atau dengan perkataan lain badan hukum HTI tetap dicabut dan dengan demikian dibubarkan (Pasal 80 A UU Ormas). 

Akibat Hukum:

1. Akibat terhadap anggota.

Ketika status badan hukum suatu organisasi dicabut dan otomatis dibubarkan, maka yang tersisa hanyalah anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut. Tidak ada larangan dari negara yang menyatakan bahwa mantan anggota HTI dilarang bergabung dengan ormas lainnya.

2. Akibat terhadap wadah organisasi.

Ketika sudah ditandatangani penetapan pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukum suatu organisasi sudah terlepas.

Di negara kita ini, ormas itu ada yang berbadan hukum, ada yang tidak. HTI adalah ormas berbadan hukum “perkumpulan” atau vereneging, yang didaftarkan di Kemenkumham. Status badan hukumnya itulah yang dicabut.
Jadi jika mantan pengurus dan anggota HTI melakukan kegiatan dakwah secara perorangan atau kelompok tanpa menggunakan organisasi HTI berbadan hukum, maka hal itu sah saja. Tidak ada yang dapat melarang kegiatan seperti itu.

3. Akibat terhadap kegiatannya.

Aktivitas atau kegiatan yang mengatasnamakan organisasi HTI tidak diakui dan tidak diizinkan meskipun keputusan MA tidak menyebutkan secara eksplisit yang menyatakan bahwa HTI sebagai organisasi TERLARANG.

Jadi, sebagai organisasi yg sudah dibubarkan maka konsekuensinya warga HTI tdk boleh menyelenggarakan kegiatannya atas nama HTI. Sebagai pribadi syabab HTI tetap diperbolehkan untuk berdakwah sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar sesuai kaidah syariat Islam.

4. Akibat terhadap aset badan hukum yang dicabut BH dan dibubarkan.

Setelah dicabut dan dibubarkan maka aset yang dimiliki oleh BH tidak dapat dikelola oleh perseorangan. Seharusnya bila ada kekayaan tersisa, kekayaan itu dapat diberikan kepada ormas sejenis atau kepada umat Islam.

Nasi telah menjadi bubur, Badan Hukum HTI telah dicabut. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Sang Mantan atau umat Islam terhadap dakwah tentang khilafah seperti yang selama ini didakwahkan oleh ormas HTI? Yaitu kembali pada konsep bahwa KHILAFAH AJARAN ISLAM atau setidaknya sebagai SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM yg telah dikenal dan dipraktikkan selama 1300 tahun lebih lamanya, maka umat Islam tanpa kecuali tetap diperbolehkan "mendakwahkan" ajaran Islam itu dengan catatan: tidak boleh ada pemaksaan dan penggunaan kekerasan. 

Dan seharusnya dunia pendidikan di negeri ini juga mengajarkannya seiring dengan pengajaran tentang sistem pemerintahan negara DEMOKRASI, MONARKI, KESULTANAN, DIKTATOR, TEOKRASI dan lain sebagainya. Bukankah dengan begitu akan lebih fair?

Berpikir jernih dengan ARGUMEN jauh lebih mulia dari pada mengutamakan SENTIMEN. Jadi dengan argumentasi hukum yang penulis paparkan ini menunjukkan bahwa tidak tepat menyebut HTI sebagai penyebar "Propaganda" yang dalam arti negatif "gegara" mendakwahkan khilafah hingga dituding sebagai Laskar Pengacau Negara.

Kiprah dan Cinta Sang Mantan (Eks HTI) dalam mempertahankan marwah dan keutuhan NKRI agar terwujud masyarakat yang adil dan makmur di bawah naungan ridha Allah SWT.

Sepak terjang HTI di bumi NKRI dari dulu hingga saat ini ialah menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Aktivitas-aktivitasnya tidaklah keluar dari makna Dakwah, dan secara umum dakwah merupakan kegiatan mulia dan sangat penting bagi tegaknya ajaran Islam. Wujud dari kegiatan dakwah HTI yang bersifat umum tersebut antara lain dakwah dengan tulisan melalui website, majalah, buletin dll. 

Mereka juga berdakwah dengan cara lisan yaitu melalui ceramah ataupun serangkaian agenda mashirah atau muhasabah lil hukam atau mengkoreksi penguasa dengan cara yang teratur dan damai, kemudian banyak pula dakwah dengan perbuatan salah satunya membantu langsung ke lapangan peristiwa-peristiwa korban bencana alam, misalnya saat tsunami Aceh 2004 dan gempa di Yogyakarta 2006 mereka mendirikan posko-posko bantuan baik secara moril maupun materil yang mereka namakan dengan agenda Qadha Mashalih.

Begitu juga di dalam menghadapi masa pandemi saat ini, Sang Mantan (HTI) juga banyak ikut berperan serta dalam membantu masyarakat yang terdampak ekonomi akibat masa pandemi walaupun dilakukan secara perorangan atau tidak dengan wadah ormas yang telah dicabut badan hukumnya oleh pemerintah. Para nakes-nakes yang bertugas dalam menangani korban corona juga banyak yang berasal dari Sang Mantan (HTI). Jadi, di manakah letak ketika fitnahan sebagai penebar propaganda dan laskar pengacau negara itu selalu dialamatkan kepada mereka? Sungguh itu adalah tuduhan keji dan tak berdasar dari mereka para pembenci yang tidak memiliki hati nurani.

Kiprah HTI dalam dunia dakwah dan amar makruf nahi mungkar sangatlah jauh dari kekerasan, tidak pernah ada perlakuan kasar atau penyerangan fisik dari para anggotanya ketika berhadapan dengan kontra atau penolakan dan perselisihan terhadap apa yang mereka sampaikan ke tengah-tengah masyarakat. Yang HTI lakukan hanyalah penyerangan terhadap pemikiran-pemikiran kufur dari luar Islam yang menyimpang dan cenderung merusak akidah dan pemikiran umat Islam. Dan selalu berupaya memperbaiki akidah umat, dan menyeru masyarakat dan para pemimpin untuk hidup dalam naungan penerapan sistem Islam secara keseluruhan.

Visi yang dibawa HTI adalah visi Islam, visi yang ingin membebaskan manusia dari belenggu kejahiliyahan. Mencontoh pada apa yang dilakukan Rasulullah Saw pada saat awal membawa Islam di tanah Mekah, dakwah yang dipenuhi dengan berbagai cemoohan, penindasan, intimidasi bahkan penolakan secara kasar oleh para pemimpin Quraish dan penduduk Mekah hingga datanglah perintah Allah untuk melakukan hijrah ke tanah Madinah. Kedatangan Rasulullah Saw di Tanah Yastrib (Madinah) dengan mempersaudarakan kaum Muslim dari kalangan Muhajirin dan kaum Anshar atas dasar ikatan akidah tauhid “Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh”. Dan pada akhirnya saat itu Rasulullah saw. secara de facto menjadi kepala negara di Tanah Yastrib (Madinah al-Munawwarah). 

Beliau membangun suatu negara dengan corak masyarakat yang istimewa yang berdiri di atas ideologi wahyu (Islam). Walaupun di dalamnya terdapat berbagai pemeluk keyakinan selain Islam, namun sistem Islam mampu membawa kehidupan masyarakat dengan berbagai corak, suku dan keyakinan tersebut dengan penuh damai dan berdampingan hingga melahirkan peradaban mulia. 

Ideologi Islam mewarnai setiap aspek kehidupan masyarakat. Baik di ranah keyakinan, ibadah ritual maupun ruang publik (kehidupan politik), Islam sejak saat itu menjadi nilai sekaligus sistem yang melekat sepanjang perjalanan hidup kaum Muslim. Dari Darul Muhajirin (Darul Islam) ini, Islam diemban ke seluruh pelosok negeri untuk menebar kabar gembira dan mengajak setiap insan menghamba hanya kepada Allah SWT. Mereka diajak untuk mengikuti tuntunan Islam yang sesuai dengan fitrah memuaskan akal dan menenteramkan hati manusia. Hal demikianlah yang sedang berusaha dicontoh dan diperjuangkan oleh HTI.

Dengan demikian adanya tudingan sebagai laskar pengacau negara terhadap HTI yang hanya sekedar menyampaikan aspirasi adalah bentuk kekeliruan yang berbahaya karena justru akan memunculkan kekacauan itu sendiri dan perpecahan di tengah umat. Mau dilihat dari sisi manapun sebutan tersebut adalah penyebutan yang jelas-jelas salah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terlebih-lebih yang dituding sebagai laskar pengacau negara tersebut adalah orang-orang yang menyerukan agar manusia tunduk pada hukum-hukum Allah. Jelas itu adalah bentuk kejahiliyahan dari orang yang menudingnya.

Seruan penerapan Islam secara kaffah, sejatinya akan membawa bangsa ini kepada kedamaian serta agar terwujudnya kondisi masyarakat yang adil dan makmur yang pada realitasnya tidak mampu diraih dalam alam sistem demokrasi hari ini. Ketika dalam konsep demokrasi kebenaran adalah suara rakyat, namun tatkala suara rakyat itu dianggap salah oleh penguasa maka akan menjadi produk hukum. Sedangkan dalam Islam kebenaran adalah apa yang datang dari sang Pencipta. Inilah esensi perbedaan mencolok yang ada pada keduanya.

Indonesia yang warga negaranya bermayoritaskan beragama Islam seharusnya memahami bahwa Islam dan syariat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya artinya “sekuler”. Maka wajar jika saat ini kehadiran HTI yakni mencoba membuka pemikiran umat dan pemerintah, agar mengadopsi sistem pemerintahan yaitu Khilafah sebagai warisan Rasulullah yang akan menerapkan hukum Islam yang didalamnya memposisikan umat non-muslim wajib untuk diayomi. Jika pemerintah mampu menilai hal tersebut secara obyektif dengan melihat keagungan syariat Islam pabila diterapkan, maka sungguh tidak perlu adanya tudingan-tudingan miring dan tak berdasar kepada para anggota HTI yang mereka sebut saat ini sebagai eks HTI.

Oleh karena itu terjawab sudah kiprah sang mantan (eks HTI) selama ini justru ingin menyelamatkan NKRI, sebagai bentuk kecintaanya kepada negeri ini disaat bangsa ini mencari solusi alternatif atas berbagai permasalahan yang setiap hari melanda negeri ini. Dari mulai permasalahan pengelolaan SDA, Migas, pengelolaan Tenaga kerja, masalah penjagaan terhadap kaum perempuan, anak, pergaulan, hukum, ekonomi dan sebagainya, HTI selalu selalu berupaya menyodorkan solusinya yang digali dari nilai-nilai syariah Islam. 

Di dalam menyampaikan gagasannya tidak pernah ada catatan bahwa HTI memaksakan kehendak dan dengan jalan kekerasan apalagi perencanaan kudeta. HTI hanya berdakwah ke tengah masyarakat umum dengan cara yang makruf dan damai. Agar masyarakat menyadari, memahami dan mempertimbangkan ide dan gagasan yang diserukan HTI yang notabene seluruhnya adalah syariah Islam yang agung yang datang dari Allah SWT bukan berasal dari akal terbatas dan hawa nafsu manusia yang ingin menginginkan kekuasaan semata.

Perjuangan Sanga Mantan ini sesungguhnya hanyalah untuk menyadarkan umat Islam untuk hidup sejahtera dibawah naungan Islam. HTI menyampaikan syiar dakwah bukan dengan jalan paksaan dan kekerasan seperti halnya gerakan separatis yang akan mengambil sebagian wilayah atau mengambil seluruh wilayah NKRI. Namun justru yang ada ialah HTI ingin menyelamatkan NKRI dari penjajahan Asing yang selama ini terus-menerus menjarah kekayaan negeri. 

Dan ingin menjaga marwah bangsa ini dari segala belenggu dan intervensi kekuatan asing dari suatu Negara adidaya yang tamak dan rakus lewat bersatunya umat dan para pemimpinnya dalam penerapan sistem Khilafah Islam untuk mewujudkan negeri ini menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur dengan ridha Allah SWT, sejahtera tanpa ada lagi penjajahan neoliberalisme dan neokapitalisme, maupun ketimpangan dalam penegakkan kebenaran dan keadilan. 

Lalu, masihkah cinta sang mantan akan terus dipermasalahkan?

Dari serangkaian ulasan di atas, dapat kami tarik beberapa kesimpulan di antaranya:

1. Berkali-kali agenda demi agenda diskusi skala nasional diselenggarakan yang berisi koreksi terhadap ide-ide dan aktivitas dakwah yang dilakukan sang mantan (Eks HTI) atau dakwah ormas HTI yang padahal secara konstitusional telah dianggap sudah tidak ada karena telah dibubarkan oleh pemerintah. Bahkan dalam beberapa kesempatan di berbagai acara diskusi di media-media nasional pun nama HTI masih saja sering disebut-sebut dan dihubung-hubungkan dengan suatu hal dalam dinamika perpolitikan.

Kekalahan intelektual dan rasa kebencian mereka terhadap dakwah Khilafah telah membuat mereka kian tersesat dan buta mata hatinya hingga tidak mampu lagi dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sementara terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila yang disebut-sebut penuh kecacatan dan sarat menjadi jalan bangkitnya kembali komunisme di negeri ini mereka tampak tidak ada gairah dan hilang suara, mengapa? Lalu siapakah sebenarnya yang sedang berpropaganda?! Dengan alasan ingin menjaga dan melindungi bangsa dan masyarakat, mereka justru terkesan menabuh genderang perpecahan dan adu domba antara HTI dan umat Islam secara umumnya.

2. Pencabutan badan hukum HTI ini merupakan konsekuensi dari terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas (Perppu Ormas). Pada tanggal 24 Oktober 2017 lalu, Perppu tersebut telah disahkan DPR menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, dan kemudian diundang-undangkan pada tanggal 22 November 2017. Pada tanggal 15 Pebruari 2019, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelum ke MA, HTI melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), lalu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Dengan demikian maka pada semua jenjang peradilan gugatan HTI tidak ada yang dikabulkan. Atau dengan perkataan lain BADAN HUKUM HTI TETAP DICABUT DAN DENGAN DEMIKIAN DIBUBARKAN (Pasal 80 A UU Ormas). 

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Sang Mantan atau umat Islam terhadap dakwah tentang khilafah? Yaitu kembali pada konsep bahwa KHILAFAH AJARAN ISLAM atau setidaknya sebagai SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM yg telah dikenal dan dipraktikkan selama 1300 tahun lebih lamanya, maka umat Islam tanpa kecuali tetap diperbolehkan "mendakwahkan" ajaran Islam itu dengan catatan: TIDAK BOLEH ADA PEMAKSAAN dan PENGGUNAAN KEKERASAN. 

3. Sepak terjang Sang Mantan (HTI) di bumi NKRI dari dulu hingga saat ini ialah menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Aktivitas-aktivitasnya tidaklah keluar dari makna Dakwah, dan secara umum dakwah merupakan kegiatan mulia dan sangat penting bagi tegaknya ajaran Islam. Visi yang dibawa HTI adalah visi Islam, visi yang ingin membebaskan manusia dari belenggu kejahiliyahan. 

Perjuangan Sanga Mantan sesungguhnya hanyalah untuk menyadarkan umat Islam untuk hidup sejahtera dibawah naungan Islam. HTI menyampaikan syiar dakwah bukan dengan jalan paksaan dan kekerasan seperti halnya gerakan separatis yang akan mengambil sebagian wilayah atau mengambil seluruh wilayah NKRI. Justru yang ada adalah HTI ingin menyelamatkan NKRI dari penjajahan Asing yang selama ini terus-menerus menjarah kekayaan negeri.

Dan ingin menjaga marwah bangsa ini dari segala belenggu dan intervensi kekuatan asing dari suatu Negara Adidaya yang tamak dan rakus lewat bersatunya umat dan para pemimpinnya dalam penerapan sistem Khilafah Islam untuk mewujudkan negeri ini menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur dengan ridha Allah SWT, sejahtera tanpa ada lagi penjajahan neoliberalisme dan neokapitalisme, maupun ketimpangan dalam penegakkan kebenaran dan keadilan.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum* dan Liza Burhan**

*Pakar Hukum, Filsafat Pancasila, dan Masyarakat
**Analis Mutiara Umat

Posting Komentar

0 Komentar