Kompetisi Inovasi New Normal: Inikah Perhelatan yang Relevan dengan Penanganan Pandemi Corona di Daerah?


Dilansir melalui CNN Indonesia 22/6/2020 mengabarkan bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggelontorkan anggaran Rp168 miliar sebagai hadiah untuk pemenang lomba video simulasi protokol tatanan normal baru atau new normal di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Mendagri Tito Karnavian menyampaikan angka itu diberikan dalam bentuk dana insentif daerah (DID) kepada 84 pemda pemenang. Pemenang pertama diberikan Rp3 miliar, pemenang kedua Rp2 miliar, dan pemenang ketiga Rp1 miliar.

"Sehingga total pemenang berjumlah 84, terdiri atas juara I, II dan III untuk 7 sektor kehidupan dan 4 klaster pemda dengan total hadiah DID Rp168 miliar," kata Tito saat membuka Penganugerahan Lomba Inovasi Daerah Tatanan Normal Baru Produktif dan Aman Covid-19 di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (22/6). Provinsi Jawa Timur (Jatim) menjadi salah satu pemenang lomba inovasi tatanan normal baru (new normal) yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jatim dinobatkan sebagai juara pertama dalam kategori tata normal baru sektor pasar modern. Kemudian juara dua di kategori sektor tempat wisata. Dengan raihan tersebut, Jatim diganjar dana insentif daerah sebesar Rp5 miliar. (sindonews.com 22/6/2020)

Barangkali banyak yang bertanya-tanya tentang hal tersebut. Padahal, saat ini jumlah kasus positif Covid-19 di Jatim tertinggi nomor dua di Indonesia yaitu mencapai 9.542 kasus setelah DKI Jakarta. Selama bulan Juni ini tecatat ada 9 dokter meninggal, dan paling banyak dari Jatim.(kumparan.com 20/6/2020). Wajar saja jika perlombaan yang diadakan oleh pemerintah ini sangat menyimpan tanda tanya besar. 

Menyoal Urgensi Kompetisi Inovasi New Normal di Tengah masih Tingginya Angka Pandemi di Daerah

Pandemi covid 19 di Indonesia belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Sejak pertama kali diumumkan kasus suspek di Indonesia sekitar awal Maret 2020, sampai hari ini, juru bicara Covid-19 Indonesia, Ahmad Yurianto, terus saja mengumumkan jumlah penambahan kasus terkonfirmasi positif. Bahkan menurut Syaiful Harahap dalam tulisan opini  di laman tagar.id (23/06/2020), Indonesia telah menjadi episentrum Covid-19 di ASEAN sesuai dengan data per tanggal 22 Juni 2020 yang mencapai 46.845 kasus positif.

Kondisi yang sedemikian rupa harusnya menjadi warning tersendiri bagi pemerintah untuk memilih strategi dan kebijakan yang terbaik. Apa yang menjadi pilihan terbaik bagi keselamatan warganya harus diutamakan meskipun bertaruh dan berkorban materiiil yang tidak sedikit. Jangan sampai benar adanya apa yang dipublikasikan oleh Hendri Satrio, Pengamat Politik dari Univeritas Paramadina, yang menyatakan hasil surveinya bahwa persepsi publik terhadap penanganan virus corona oleh pemerintah Indonesia dinilai buruk.

Berdasarkan hasil surveinya, nilai indonesia berkisar pada angka 0.919. Sementara negara lain seperti malaysia memiliki skor 0.0522, Filipina memiliki skor 0.671, Italy memiliki skor 0.296 dan China memiliki skor 0.116. Skor ini merupakan penilaian persepsi publik terhadap ketepatan dan kecakapan pemerintahannya dalam menangani pandemi covid 19. Range nilai berkisar dari 0-1. Semakin mendekati 0, maka disimpulkan bahwa  bahwa pemerintahannya telah tepat dan sukses dalam menangani wabah. 

Meskipun kurva terus menanjak dan hasil persepsi publik sedemikian rupa, Indonesia saat ini telah mengambil kebijakan untuk memberlakukan “new normal” dalam fase perang melawan wabah covid 19. Fase ini banyak dipertanyakan oleh berbagai kalangan terutama dengan argumentasi bahwa kondisi penanganan wabah di Indonesia saat ini masih belum berhasil. Asiatimes.com (11/06/2020) pernah berbagi pendapat dengan dr. Corona Rintawan atas kebijakan ini dengan menuliskan bahwa arahan New normal dari Presiden Joko Widodo dapat mengundang lebih banyak infeksi dan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.   

Lebih lanjut, dr. Corona Rintawan menyatakan, we have a chronic deficiency in testing and tracking. Our capacity to conduct PCR testing is nowhere near the target of 20,000 tests per day. But now everything is being relaxed, the economy is being rebooted, schools are reopening, religious mass gathering(s) are being allowed – all in the name of this ‘New Normal’ narrative”. (kita memiliki masalah berat dalam pengujian dan pelacakan. Kapasitas kita untuk melakukan pengujian PCR jauh dari target 20.000 tes per hari. Tetapi sekarang semuanya santai, ekonomi sedang dihidupkan lagi, sekolah akan dibuka kembali, pertemuan keagamaan diizinkan – Semua atas narasi yang bernama new normal).

Membaca data dan perkembangan kasus corona di Indonesia yang masih tinggi, dapat disimpulkan bahwa lomba inovasi new normal tidak urgen dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa alasan berikut,

Pertama, pemerintah seharusnya fokus pada penanganan wabah corona, bukan malah menjadikan hal tersebut menjadi kompetisi yang dilombakan demi mendapat DID (Dana Intensif Daerah). Karena, menjaga keselamatan nyawa adalah kewajiban negara. Bagaimana bisa urusan yang menyangkut hidup matinya rakyat dijadikan ajang perlombaan? Wajar ini cukup melukai nurani dan akal insan yang berpikir.

Kedua, pemerintah seharusnya membagi dana secara adil dan merata kepada daerah yang membutuhan dana untuk penanganan wabah corona, tanpa melalui mekanisme perlombaan tata nomal baru. Justru sangat aneh jika pemerintah akhirnya memberikan bantuan dana kepada kepada daerah yang belum siap melakukan new normal karena korban masih terus bertambah. 

Ketiga,menurut hemat penulis, perlombaan ini bukan malah memotivasi daerah agar terbebas dan terhindar dari wabah pandemi corona secara total. Melainkan membuat tiap daerah terburu-buru mengikuti kompetisi lomba tersebut, walaupun jumlah kasus pandemi di daerahnya makin bertambah.

Oleh karena itu, sangat sangat tidak urgent sekali perlombaan ini diadakan di tengah tren grafik yang masih tinggi. Begitupun wacana untuk mengadakan lomba serupa yaitu lomba penurunan angka penularan Covid-19. Bisa dibayangkan jika demi pemenangan lomba data persebaran wabah tidak sesuai fakta di lapangan. Walhasil, kasus corona semakin tak terkonfirmasi oleh data.

Relevansi  Kompetisi New Normal terhadap Upaya Pemerintah Daerah dalam Penanganan Pandemi Corona

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan penghargaan kepada 84 daerah pemenang Lomba Inovasi Daerah Tatanan Normal Baru "Produktif dan Aman Covid-19" pada Senin (22/6/2020). Penghargaan tersebut diserahkan oleh Mendagri Tito Karnavian kepada para kepala daerah atau yang mewakili di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat. "Kami bersama Kemenkeu, Kemenkes, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Kemen PANRB, Kemendag dan BNPP berinisiatif untuk mengadakan lomba antar daerah untuk membuat protokol kesehatan Covid-19," ujar Tito dalam pidatonya pada Senin.(kompas.com 22/6/2020)

Tak hanya itu pemerintah juga menyiapkan 168 Milyar sebagai hadiah yang akan diberikan berupa DID (Dana Insentif Daerah) kepada peserta lomba yang menang. Di sisi lain Jatim sebagai provinasi jumlah Covid-19 tertinggi kedua telah didapuk menjadi pemenang lomba tersebut. Setelah ini pemerintah kembali merencanakan akan mengadakan lomba untuk melandaikan kurva penularan Covid-19  antar daerah.

Dikutip melalui kompas.com 22/6/2020 Tito Karnivian (Mendagri) menyampaikan, "Kita harapkan dengan perlombaan ini ada iklim kompetitif antar daerah untuk mempersiapkan tata kehidupan baru yang produktif dan aman dari Covid-19. Agar saling berlomba menurunkan penyebaran, membuat warnanya bisa menjadi hijau tanpa memanipulasi data," ujar Tito dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Senin (22/6/2020).

Jika memang benar adanya berita yang demikian, maka kondisi ini sungguh sangat ironis. Dengan dalih apapun, perlombaan ini sulit untuk diterima dengan akal sehat. Biaya yang tidak kecil sebagai hadiah, hanya akan menumbuhkan kesan penghambur-hamburan dana di tengah efisiensi penganggaran dan alokasi dana oleh lembaga pemerintahan. Terlebih di tengah kondisi serba sulit yang dialami oleh negara dalam penanganan wabah.

Jika dicermati lebih dalam, sebenarnya pemerintah begitu tergesa-gesa mewacanakan dan menghimbau untuk melakukan tatanan normal baru (new normal). Alih-alih menurunkan kurva, yang terjadi jumlah paparan virus corona semakin liar tak terkendali. Lantas aneh jika tatanan normal baru ini malah dijadikan ajang perlombaan. Apalagi daerah yang menunjukkan korban tertinggi kasus corona malah menjadi juara dalam perlombaan, yaitu Jatim. Tentunya ini sangat kontradiktif dengan fakta di lapangan. Bagaimana bisa menang lomba tatanan hidup normal baru tetapi angka kasus corona masih tinggi? Wajar jika publik bertanya-tanya. Jangan sampai lomba yang ada mematikan nalar publik seperti yang terjadi saat ini.

Adalah sebuah kewajaran jika pemerintah pusat dan daerah berkolaborasi sekuat tenaga untuk menyelematkan nyawa rakyat dari ancaman tertularnya virus corona Covid-19. Jika ada daerah yang memang menjadi pusat episentrum penularan covid 19 dan butuh biaya lebih dalam penangananya, maka sudah sewajarnya dibantu dengan dana berlebih dibanding daerah lain oleh pemerintah pusat tanpa ada embel-embel hadiah perlombaan new normal. 

Lebih dalam lagi, jika memang ada daerah yang menjadi pusat episentrum corona, yang setiap hari jumlah kasusnya mengalami penambahan, maka bukan berdamai dan bersahabat dengan corona yang dipilih, tetapi berupaya dengan sekuat tenaga untuk berperang melawannya. Inilah pilihan yang terbaik, bukan terburu-buru untuk memburu sesuatu yang sejatinya belum teraih. Hal ini selaras dengan apa yang dipesankan oleh epidemolog Universitas Hasanudin, Prof Ridwan Amirudin, Ph.D yang dimuat dalam republika.co.id (30/05/2020). Beliau berpesan untuk tidak terburu-buru memberlakukan new normal.

Prof Ridwan Amirudin, P.hD menyatakan bahwa Negara-negara yang ingin memberlakukan new normal, diharapkan bisa memenuhi keenam kriteria dari WHO. Bila kriteria-kriteria ini tak bisa dipenuhi, negara disarankan untuk berpikir ulang mengenai rencana penerapan kelaziman baru. Beliau menyatakan, "Sebelum melonggarkan pembatasan, Anda harus memastikan kriteria-kriteria tersebut diterapkan. Jika tidak bisa, mohon Anda pikirkan kembali," ujarnya menirukan ucapan Direktur Regional WHO Eropa Dr Hans Henri P Kluge. 

Dengan demikian, maka kompetisi new normal adalah aktivitas yang sia-sia dan tidak relevan sama sekali dengan penanganan corona yang masih massif penyebarannya. Kompetisi New normal adalah bukti nyata matinya nalar ditengah matinya nalar yang lain seperti ketergesaan untuk memberlakukan new normal yang syarat-syaratnya masih dipertanyakan terpenuhi atau tidak. Bahkan publik telah mencium bahwa new normal adalah siasat busuk untuk menyelamatkan bisnis para kapitalis semata, bukan menyelamatkan nyawa rakyat jelata.   

Strategi Islam dalam Penanganan Pandemi melalui Program New Normal tanpa melalui Kegiatan yang Dikompetisikan secara Kapitalistik

Islam adalah agama yang agung. Tak hanya sekedar ritual, tapi Islam mampu mengatur segala aspek kehidupan. Islam memiliki solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia. Maka wajar bila ada ungkapan bahwa islam adalah cara pandang kehidupan (the view of live) sekaligus jalan kehidupan (the way of life). Oleh karenya kita harus memandang segala sesuatu dengan menggunakan sudut pandang islam. Hal pertama yang harus kita pastikan dalam konteks pembahasan ini adalah memandang new normal dengan pandangan islam. 

New normal sendiri  dipahami sebagai pola hidup adaptif terhadap ancaman virus Covid-19 dalam bentuk pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pusat-pusat kegiatan ekonomi, pusat-pusat ibadah, sarana dan prasarana transportasi, sudah mulai berjalan meski dengan berupaya menerapkan protokol kesehatan. Masalahnya, banyak pihak yang memandang bahwa kebijakan ini sangat tidak tepat dan berbahaya jika diterapkan dalam situasi sekarang. 

Dalam islam, setidaknya ada empat hal yang harus kita perhatikan dengan saksama, sehingga kita tidak salah dalam mengambil keputusan, yang satu dengan lainnya sesungguhnya saling berkaitan, bahkan bisa dikatakan bermuara pada satu hal. Keempat hal ini adalah kaidah “as-sababiyah” (kausalitas = sebab akibat), memperhatikan pendapat ahli, memperhatikan ahkam dharar, dan konsep tawakal. Dan jika kita peras, sesungguhnya semua bermuara pada kaidah as-sababiyah. (Najma Saiidah dalam MuslimahNews.id, 2020).  

Pertama berikaitan dengan kaidah sababiyah, Syekh Abdul Karim as-Saamiy dalam kitabnya As-Sababiyah, Qoidatu Injazi al’Amali wa Tahqiqi al Ahdafi menyatakan bahwa as–sababiyah adalah upaya mengaitkan sebab-sebab fisik dengan akibat-akibatnya yang juga bersifat fisik dalam rangka mencapai target dan tujuan tertentu. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengetahui seluruh sebab yang mampu menghantarkan pada tercapainya tujuan serta mengaitkannya dengan seluruh akibat secara benar.

Dalam perspektif syariat Islam, upaya menjalani as–sababiyah merupakan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Dalilnya adalah sabda Rasulullah (Saw.) tentang orang Badui yang salah dalam memahami konsep bertawakal. Hadis tersebut berbunyi: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi (Saw.) yang hendak meninggakan untanya. Ia berkata, “Aku akan membiarkan untaku, lalu aku akan bertawakal kepada Allah.” Akan tetapi Nabi (Saw.) bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakkalah kepada Allah.” Hadis tersebut mengandung shighat amr pada kata i’qilha(ikatlah). Berarti terdapat tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan sesuatu. Maka dipahami dari maudhu’ hadis tersebut bahwa terdapat kewajiban untuk melakukan hukum sebab akibat bersama kewajiban bertawakal.

Kedua terkait pendapat ahli, Rasulullah SAW sebagai pemimpin, telah mencontohkan kepada kita agar memperhatikan pendapat orang-orang ahli atau ahlil khubroh jika itu berkaitan dengan pemikiran, strategi, atau pada hal-hal yang diperlukan adanya pendapat ahli. Salah satu contohnya adalah berkaitan dengan penentuan markas kaum muslimin ketika perang Badar, maka Rasulullah merujuk pada pendapat sahabat Khubab. (Syakhshiyah Islamiyyah jilid 1, karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhaniy).

Ketiga terikait dengan kaidah dhoror, syariat Islam telah melarang seseorang mengerjakan sesuatu aktivitas yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan orang lain, terutama saudaranya sesama muslim, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Semakin kuat larangan tersebut jika dharar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib kerabat, istri, tetangga, dan semisalnya.

Dalam kitabnya Taysir Al-Wushul Ilaa Al- Ushul, Syaikh Atha’ bin Khalil Abu Rusytah mengungkapkan bahwa kaidah dharar mencakup dua hal: Pertama, Asy-Syâri’ telah mengharamkan sesuatu yang membahayakan (dharar). Artinya, setiap perkara yang mengandung dharar wajib ditinggalkan. Sebab, adanya dharar tersebut merupakan dalil atas keharamannya.

Keempat berkiatan dengan konsep tawakal, bahwa keimanan terhadap qadha akan berpengaruh positif terhadap aktivitas manusia dalam keadaaan apa pun. Keyakinan tersebut akan mendorongnya untuk melakukan aktivitas, bukan malah menjadikannya sebagai fatalis. Karena selama sebab-sebab yang menghantarkan terhadap tujuan itu masih berada dalam lingkaran yang dikuasainya, dia masih bisa untuk mengupayakannya.

Mengenai mafhum tawakal, seorang muslim wajib melakukannya karena perbuatan tersebut merupakan natijah keimanan, yakni keyakinan kalbu bahwa Allah-lah satu-satunya Al-Wakil (Zat yang Mahakuasa untuk mewakili segala urusan). Sebagaimana firman Allah SWT: “Apabila kamu ditolong oleh Allah, maka tidak akan ada yang sanggup mengalahkan kamu dan menghinakan kamu. Maka siapakah yang dapat menolong kamu setelah (pertolongan) Allah? Dan kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal.” (QS Ali-Imran: 160).

Namun bukan berarti dengan bertawakal kepada Allah berarti meninggalkan hukum sebab-akibat. Sebab mesti dibedakan antara akidah dan hukum syara’. Tawakal termasuk wilayah akidah, sedangkan kewaji ban mengusahakan as–sababiyah adalah masalah hukum syara’.

Demikianlah tuntunan Islam untuk kita semua –siapa pun kita– mengharuskan kita tunduk dan patuh terhadap syariat. Islam dengan rinci menuntun kita untuk merujuk kepada setidaknya empat poin ini ketika kita hendak bersikap berkaitan dengan rencana new normal life ini. Terlebih kepada penguasa atau kepala negara, ketika hendak mengambil kebijakan ini, sudah seharusnya ia memperhatikan bahkan bertanya kepada ahlil hubrah ‘orang-orang ahli/pakar’ terkait masalah ini, dalam hal ini tenaga medis, ahli epidemiologi, dan sebagainya, seharusnya mempertimbangkan dengan saksama apakah akan memberikan kemudharatan pada rakyatnya atau tidak.

Secara gholabatu dzon (dugaan kuat), apakah akan menimbulkan korban jiwa lebih banyak atau tidak. Haram hukumnya penguasa memudaratkan rakyatnya, haram pula penguasa menzalimi rakyatnya, bahkan bisa menjerumuskannya kepada kebinasaan. Satu nyawa kaum muslimin saja yang hilang, maka ia harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Di tengah pandemi yang kurvanya justru masih tinggi bahkan masih terus meningkat, kita bisa menilai sendiri bagaimana keputusan new normal ini.

Terlepas dari kebijakan new normal berikut atributnya seperti kompetisi yang ada di dalamnya yang penuh dengan tanda tanya, kita mendapatkan pelajaran berharga bahwa kapitalisme (sekulerisme) beserta para pengasongnya telah gagal dalam melindungi nyawa warganya secara maksimal. Kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang bersandar pada aqidah sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), tidak mampu memberikan solusi atas permasalahan pandemi secara komprehensif. Bahkan solusi-solusi yang ditawarkan oleh agama (baca: islam) seperti karantina wilayah (lockdown), tidak diadopsi untuk diterapkan. 

Jauh lebih dalam lagi, sekulerisme telah gagal membentuk pribadi-pribadi yang beriman dan bertaqwa secara sempurna. Motivasi kehidupan yang ada, dominan oleh motivasi materiil. Cara-cara menumbuhkan kesadaran pun juga dominan didorong oleh dorongan materiil. Meskipun dorongan materiil disini tidak semuanya keliru. Namun alangkah baiknya jika kesadaran yang ada pada penguasa untuk meriayah rakyat adalah kesadaran ruhiyah yang semata-mata didorong oleh motivasi ilahiyah bahwa kelak kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggung jawaban di yaumul akhir. Begitupun masyarakat terutama yang muslim, kesadarannya untuk mematuhi protokol kesehatan semata-mata harus didorong oleh motivasi ruhiyah yaitu bagian dari ikhtiar untuk mandapatkan takdir yang terbaik dari Alloh SWT, selamat dari wabah ini.  Jika motivasi ruhiyah ini telah mendominasi, maka niscaya wabah yang begitu berat ini akan terasa lebih ringan. Sekali lagi, hal yang demikian akan sulit lahir dari rahim sistem kapitalisme sekulerisme. 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama. Kompetisi tatanan normal baru atau new normal tidak urgent sama sekali di tengah wabah corona yang masih tinggi. Penguasa harusnya fokus pada penanganan wabah bukan sebaliknya mengadakan kompetis dan membagi kebutuhan dana untuk daerah secara adil tanpa melalui mekanisme kompetisi.

Kedua. Kompetisi new normal adalah aktivitas yang sia-sia dan tidak relevan sama sekali dengan penanganan corona yang masih massif penyebarannya. Kompetisi New normal adalah bukti nyata matinya nalar ditengah matinya nalar yang lain seperti ketergesaan untuk memberlakukan new normal yang syarat-syaratnya masih dipertanyakan terpenuhi atau tidak.

Ketiga. New Normal dalam pandangan islam harus bisa memenuhi unsur kaidah sababiyah, lolos pandangan ahli, ahkam dhoror dan kaidah tawakal. Maka jika unsur ini tidak terpenuhi, maka new normal tidak boleh diterapkan apalagi malah melakukan kegiatan yang kikompetisikan secara kapitalistik.

Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol UNIOL 4.0 Diponorogo dan Analis Muslimah Voice

Matkulol Rabu 24 Juni 2020


Posting Komentar

0 Komentar