Industri Hukum: Mungkinkah Dipraktikkan Dalam Penanganan Perkara Novel Baswedan?


Beberapa hari terakhir ini, publik dihebohkan dengan pemberitaan yang menyatakan bahwa Rahmat Kadir Mahulette, terdakwa penyiraman air keras jenis asam sulfat kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan, dituntut satu tahun penjara (Kompas.com, 11 Juni 2020). Tuntutan itu disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang yamg disiarkan langsung melalui akun YouTube Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020). "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dengan pidana selama 1 tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan," kata JPU yang membacakan tuntutan Rahmat.

Tuntutan itu dilayangkan karena JPU menganggap Rahmat Kadir terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan terlebih dahulu dan mengakibatkan luka berat. Tindak pidana itu sesuai dengan Pasal 353 KUHP Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.

Publik banyak yang bertanya, dengan fakta hukum yang melingkupi kasus Novel Baswedan itu layakkah terdakwa hanya dituntut selama 1 (satu) tahun. Yang dianiaya bukan sembarang orang, melainkan penyidik KPK. Perencanaanya jelas, penganiayaannya jelas dengan disengaja. Mengapa tuntutan jaksa hanya 1 (satu) tahun. Publik pun masih meragukan vonis yang akan dijatuhkan hakim. Sama dengan tuntutan jaksa kah? Lebih rendahkan? Atau hakim memutus secara ultra petita?

Berikut ada perbandingan kasus yang lain, seperti kasus yang menimpa Lamaji (39),  Warga Randubango, Mojokerto Jawa Timur yang melakukan tindakan yang sama terhadap seorang warga biasa bernama Dina. Lamaji divonis 12 tahun penjara. Jika pemberitaan tersebut benar, bagaimana saya sebagai seorang ahli hukum harus menjelaskan kepada masyarakat dan para mahasiswa saya terhadap dua perkara yang mirip sama namun sungguh beda tuntutan dan vonis yang diterapkan?

Inikah cara berhukum yang baik, menerapkan equality before the law? Sesuai dengan Pancasila? Menerapkan asas keadilan? Menerapkan asas kepastian hukum saja?

Anda bisa menjelaskan fenomena hukum ini? Saya mencoba mengaitkan kasus ini dengan analisis penerapan asas equality before the law dalam kerangka adanya praktik hukum yang mirip dengan adanya industri hukum.

A. Equality Before The Law: Diterapkan untuk siapa?

Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Demikian pula antar sesama warga negara, juga memiliki persamaan di depan hukum. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backing terhadap yang benar. 

Sebagai seorang guru besar di bidang hukum saya juga prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. Seringkali suatu kasus diframing dengan menggunakan media yang dapat mengaburkan esensinya. Trial by the the press terkesan lebih dipercaya dibandingkan dengan trial by the rule of law sehingga yang muncul adalah trial without truth sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. Keadaan ini akhirnya akan berakhir dengan trial without justice. Kita tidak berharap hal ini yang akan terjadi untuk kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan.

Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: berani menuduh atau mendakwa harus mampu membuktikan. Jangan menuduh dan mendakwa tanpa bukti yang bisa dipertanggung jawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. Di mana tempat menguji dan mempertanggungjawabkan tuduhan? Tidak lain di pengadilan melalui due process law. Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana vandalisme: hantam dulu, urusan belakangan. Kasih sanksi dulu, urusan belakangan. Itu eigenrichting. Itu akan menjadikan pemerintah sebagai Extractive Institution sebagai lambang negara kekuasaan bukan negara hukum. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya bersifat represif. 

B. Tuduhan Jaksa Tidak Berdiri Sendiri

Tuduhan atau dakwaan oleh Jaksa tentu tidak berdiri sendiri. Dakwaan itu pasti terkait dengan proses hukum sebelumnya, yakni proses penyelidikan, dan penyidikan ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Pada umumnya, proses inj terjadi di kepolisian. Pertanyaannya, mengapa kadang kita temukan adanya proses penegakan hukum yang "bopeng", tidak utuh dan patut diduga adanya ketidakberesan dalam penanganan suatu perkara?

Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng itu dapat dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma. 
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Dan hal itu disinyalir akan merembet ke jenjang peradilan selanjutnya. Bahkan, sekalipun advokat itu seharusnya memperjuangkan pula keadilan klien, mereka bisa terjebak dalam perangkap pragmatis dunia kepengacaraan yakni: maju tak gentar membela yang bayar, bukan maju tak gentar membela yang benar untuk access to justice. Akhirnya sesuai kata Marc Galanter bahwa "a good advocate is like a good prostitution, if the price is right, she will warm client completely". 

C. Industri Hukum: Praktik Hukum yang Menegasikan Keadilan dan Kebenaran

Apa yang dikhawatirkan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD pada tahun 2019 tentang tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Berdasarkan keteranga Menkopolhukam dapat disinyalir Industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri.

Menko Polhukam Mahfud Md dalam ILC tanggal 11 Pebruari 2020 menyebut industri hukum masih terjadi dalam praktik penegakan hukum. Dia menyebut masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya. Ia mencontohkan dagang hukum bisa berupa mengalihkan perdata ke pidana, pidana ke perdata. Bahkan ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri supaya dapat menceraikan istrinya sendiri. 

Industri hukum yang dimaksud Mahfud MD yaitu penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan. Sindiran ini dilontarkan Mahfud kepada penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim.

Kalau ada industri hukum berarti ada:

1. POLICE CORPORATION
2. PROSECUTOR CORPORATION
3. COURT CORPORATION
4. PRISON CORPORATION dan
5. ADVOCATE CORPORATION

Bukankah begitu logika sederhananya?

Yang terakhir akan terjadi: Indonesia Corporation. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. Itukah maunya Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?

Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum pun tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state. Kita tentu tidak menghendaki keadaan ini terjadi, bukan?


Penutup


Menjadi penegak hukum yang memiliki sense of crisis terhadap pemberantasan koruspi sebenarnya tidak sulit selama penegak hukum itu memiliki dua syarat yaitu keberanian (braveness) dan jiwa pejuang kebenaran dan keadilan (vigilante). Praktik industri hukum hanya bisa diatasi dengan komitmen terhadap kedua syarat tersebut. 

Maka kata kuncinya adalah akhlak! Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang harus, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan.

Jadi, bagaimana hasil identifikasi Anda setelah menyimak analisis singkat tentang sisi lain praktik penegakan hukum di negeri ini? Adakah fenomena industri hukum dalam kasus tindak pidana penganiayaan Novel Baswedan, sang penyidik KPK? Jawabannya ada di benak Anda sendiri.[]

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar