Antara Ketakwaan dan Landasan Kehidupan


Pernahkah kalian mendengar kisah sang Khalifah Umar bin Khattab, pemimpin umat Islam yang tidak punya pasukan penjaga? Beliau sangat kharismatik juga bersahaja. Sangat merendah. Disaat dua imperium yang mengapitnya, Persia dan Romawi memiliki istana yang sangat megah dan pasukan yang berlapis untuk melindungi rajanya, Umar bin Khattab hanya memakai pakaian lusuh tanpa penjagaan.

Tidak berbeda dengan khaifah sebelumnya, Abu Bakar Ash-shidiq. Juga penerusnya, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Bahkan para sahabat Rasulullah, semua memiliki sifat yang sama, bersahaja. Tidak tampak dari mereka cinta dunia. Pakaian mahal, makanan enak dan kenikmatan dunia mereka tinggalkan. Apa kiranya yang menyebabkan itu semua?

Rupanya Islam telah memenuhi hati mereka, hingga tidak silau lagi dengan dunia. Mereka begitu jatuh cinta pada Islam hingga tunduk dengan syari’atnya. Islam mensyariatkan agar umat Islam tidak terperdaya oleh dunia, namun justru harus menjadikan akhirat sebagai tujuan akhirnya. Maka segala kenikmatan dunia kalah dengan kenikmatan surga yang terus menari di pelupuk mata. 

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah Azza Wa Jalla berfirman dalam hadits qudsi:
“Demi kemulian-Ku, Aku tidak akan menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberikannya rasa aman di Hari Kiamat. Jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya di Hari Kiamat.” (HR Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya)

Rasulullah dan para shahabatnya mengajarkan kita untuk takut kepada Allah di dunia, agar Allah memberi rasa aman kepada mereka di hari akhirat kelak. 

Semua harta yang melimpah dan kedudukan yang menjanjikan tidak bisa memalingkan mereka dari Allah. Sehingga mereka hanya melakukan pekerjaan yang halal, mendapatkan nafkah dari jalan yang halal. Mereka tidak akan mudah melakukan maksiat yang berbuah dosa, karena takut akan azab Tuhannya.
Suasana penuh ketakwaan ini terbentuk karena adanya pengurusan yang baik dari negara kepada rakyatnya. Negara Islam yang berlandaskan syariat Islam, akan senantiasa menjaga ketakwaan rakyatnya. Sehingga akan terbentuk pribadi-pribadi bertakwa serta masyarakat yang bertakwa pula.

Keadaan seperti itu sangat berbanding terbalik dengan saat ini. Saat ini kita menyaksikan kebanyakan umat Islam sangat jauh dari tujuan hidup yang seharunya. Mereka terlena dengan gemerlap dunia yang fana ini. Larut dalam kegiatan keduniawian sehingga melupakan akhiratnya.

Hari ini mereka tidak saling berkasih sayang, saling menghujat dan menjatuhkan. Mereka melakukan kejahatan yang tidak semestinya dilakukan seorang muslim. Mereka membunuh, merampok, membegal dan lainnya. Para wanita muslimah sudah lupa dengan kodratnya, tidak mau menutup auratnya malah mempertontonkannya demi pundi rupiah.

Orangtua menganiaya anak-anaknya, anak-anak membunuh orang tuanya. Para siswa tidak menghormati gurunya, bahkan ada yang membunuh gurunya. Para pemimpin merampok rakyatnya, mebuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Semua itu seperti lumrah hari ini.

Kiranya apa yang membuat kita begitu jauh dengan kondisi pada masa Rasulullah dan para sahabatnya? Mengapa kondisi ketakwaan itu serasa jauh untuk digapai saat ini? Padahal Islam kita sama mereka.
Jika kita lihat lebih dalam, maka kita akan temukan bahwa Islam saat ini masih sama dengan Islam yang dibawa oleh baginda Rasulullah. Hanya kita yang berbeda dengan para shahabat. Para shahabat menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, sedangkan kita tidak. Landasan kehidupan yang kita pakai saat ini adalah sekulerisme, yaitu landasan hidup yang memisahkan agama dari kehidupan.

Landasan hidup menjadi sangat penting untuk membentuk karakter seseorang. Landasan hiduplah yang menjadikan seseorang bisa menentukan arah dan tujuan hidupnya. Jika landasan kehidupan yang dipakai adalah sekulerisme, maka bagaimana bisa kita memiliki ketakwaan penuh seperti para shahabat? Sekulerisme memisahkan agama dari kita. Memisahkan sangat jauh. Bagi sekulerisme agama adalah candu yang harus dijauhkan dari manusia.

Sekali lagi kita tidak akan pernah temukan kondisi penuh ketakwaan jika kita masih memakai landasan hidup sekulerisme. Kita hanya akan digiring menjadi manusia yang lupa dengan Tuhannya. Lalu apa yang terjadi jika manusia lupa dengan Tuhannya? Yang terjadi adalah saat seperti saat ini. Manusia saling menyakiti, saling merampok, saling membunuh. Wanita direndahkan, dilecehkan bahkan sering jadi korban kekerasan fisik  maupun mental. Bayi dalam kandungan diaborsi, anak yang lahir dibunuh, anak-anak dalam asuhan dianiaya.

Dengan jauh dari Tuhannya, manusia akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Berbuat apapun demi mendapatkan kekayaan walaupun harus menghilangkan nyawa orang lain. Manusia akan saling menipu untuk dapat bertahan hidup, atau bahkan tidak punya alasan hidup lagi lalu bunuh diri. Semua profesi manusia hanya dijadikan ajang untuk memperkaya diri tanpa melihat apakah itu merugikan orang lain atau tidak. Dokter menipu pasiennya, guru memanfaatkan siswanya, pejabat mengkorupsi uang rakyat semua dilakukan demi uang. 

Begitulah saat manusia jauh dari Tuhannya, manusia hanya akan kehilangan sisi kemanusiaannya. Tentu ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi 5 atau 10 tahun lagi dari sekarang jika landasan hidup seperti ini terus dilanjutkan. Hanya akan menjadi hukum rimba, tidak ada lagi rasa aman, nyaman, tawa anak kecil bahagia. Semua akan sirna.

Padahal baginda Rasulullah telah membawa solusi dari permasalahan manusia ini seribu empat ratus tahun yang lalu. Solusi yang sangat tepat karena berasal dari sang Khaliq. Islam.

Maka marilah kita umat Islam saat ini kembali kepada fitrah kita, yaitu menggunakan Islam sebagai landasan kehidupan kita. Marilah kita tinggalkan sekulerisme yang tidak ada gunanya, malah hanya akan membuat kita sengsara jauh dari kondisi ketakwaan. Dengan Islam sebagai landasan kehidupan kita akan merasakan kembali suasana ketakwaan yang dulu dicontohkan Rasulullah dan para shahabatnya. Suasana yang mendukung kita untuk meraih cita-cita tertinggi kita, yaitu surga Allah.

Landasan kehidupan Islam akan menuntun kita untuk merealisasikan kehidupan pribadi yang unggul dan shalih. 
Juga tatanan masyarakat islami yang rukun penuh kepedulian dan rasa kasih sayang. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Serta akan mewujudkan sebuah negara yang memiliki sistem yang khas, yang akan mengurus rakyatnya dengan bersunguh-sungguh. 

Negara yang akan menjaga ketakwaan setiap rakyat muslimnya dengan segala peraturannya. Negara yang akan memberlakukan kebijakan yang akan melindungi rakyatnya dari kelaparan dengan sistem ekonomi yang khas. Menjaga pergaulan dan tumbuh kembang anak-anak dengan sistem pendidikan dan pergaulan yang khas. 

Negara yang akan membantu para suami untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Negara yang akan memastikan para wanita tetap dirumah untuk belajar dan mendidik anak-anak calon penerus perjuangan, dan akan memastikan semua anak-anak dapat bersekolah dan mendapat pendidikan yang baik. 

Semua itu pernah terjadi saat Islam dijadikan landasan kehidupan. Selama empat belas abad, mulai sejak baginda Rasulullah hijrah ke Madinah, dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, lalu Bani Ummayah, Bani Abbasiyah hingga Bani Utsmaniyah terakhir di Turki tahun 1924. Sejarah yang dituliskan dengan tinta emas saat keshalihan manusia berada dipuncaknya, ahli hadist, ahli tafsir, pendidikan terbaik, kedokteran terbaik, peneliti-peneliti terbaik, ilmuwan terbaik, semua ada saat Islam dijadikan landasan kehidupan.

Kita hanya tidak menyadarinya, bahwa kita adalah bibit-bibit itu. Kita bisa mengulanginya kembali, karena Islam kita sama dengan mereka. Kini hanya kesungguhan yang kita butuhkan, untuk mewujudkan Islam sebagai landasan kehidupan, serta doa yang tidak pernah terputus kepada Allah agar memberikan kita kemuliaan itu. Menjadi Ummat terbaik, dengan Islam sebagai landasan kehidupan.

Wallahu A’lam Bishawab. 

Oleh: Aisyah Farha


Posting Komentar

0 Komentar