INDONESIA DAN DUNIA GAGAP MENGHADAPI WABAH CORONA


1. Apa yang menyebabkan Indonesia dan yang lain seperti gagap mengantisipasi munculnya wabah Corona?

Karena: (1) ini strain virus yang relatif baru, sifat-sifatnya masih asing, pola penyebarannya belum diketahui, serta obat untuk mengatasinya belum ada.  (2) sistem kesehatan di dunia, termasuk di negara-negara maju disiapkan untuk menangani penyakit-penyakit yang sudah dikenal, termasuk penyakit menular, sehingga proporsi SDM, perlengkapan dan obat-obatan yang disiapkan disesuaikan.  Oleh karena itu hampir semua tidak siap ketika ada penyakit baru dan sangat menular.

2. Apa problem mendasar hingga wabah ini begitu cepat menyebar ke seluruh dunia?

Karena: (1) virus menular dari manusia ke manusia lewat droplet, yang bisa tanpa disadari terhirup orang lain ketika kita berbicara dalam jarak dekat (terlebih di ruangan ber-AC), atau melalui percikan batuk atau bersin yang tertinggal di telapak tangan yang lalu dipakai memegang benda-benda yang akan dipegang orang lain. (2) virus ini sudah bisa menular bahkan sebelum pembawanya tampak sakit, sehingga tidak ada kecurigaan.  (3) manusia hari ini sangat mobile sehingga banyak kerumunan baik di angkutan umum, di tempat rekreasi maupun di tempat ibadah.

3. Bagaimana seharusnya sebuah negara mengantisipasi penyebaran wabah dari luar? Apakah Islam mengajarkan?

Rasul mengajarkan, sebuah negeri (bisa negara utuh, bisa pula bagian suatu negara) yang terjangkiti wabah harus diisolasi.  Warga mereka tak boleh pergi, dan warga dari luar mereka tidak boleh masuk.

Kemudian Ijma’ Shahabat terlihat saat Amr bin Ash yang ditunjuk sebagai gubernur wilayah yang sedang terkena wabah, memerintahkan apa yang sekarang disebut sebagai “social distancing” agar wabah yang mirip api itu tidak menghabisi rakyatnya seperti menelan rumput kering.

4. Jika wabah itu sudah masuk ke negara tersebut, bagaimana langkah-langkah awal yang harus di ambil Negara?

Mestinya adalah 3T – Testing, Tracking, Treatment.  Bisa ditambah karantina pada cakupan yang lebih kecil sesuai hasil test.  Jadi tidak perlu seluruh negara di-lock-down, cukup kota-kota tertentu saja.

5. Ada banyak diskursus tentang langkah-langkah yang seharusnya dilakukan dalam menangani wabah corona. Apakah solusi yang di ambil perlu dikaitkan dengan tuntunan nash syariat? Kenapa seperti itu?

Tentu, tetapi nash syariat itu masih sangat umum.  Perlu didetilkan.  Misalnya hadits mengajarkan isolasi.  Persoalannya adalah, seluas apa wilayah yang diisolasi, berapa lama diisolasi, dan bagaimana melayani mereka yang berada di wilayah isolasi, termasuk menyehatkan yang sudah sakit?
 
Ibnu Sina (980-1037), menemukan bahwa untuk mencegah penularan penyakit antar manusia, diperlukan isolasi selama 40 hari.  Ia menyebut metode ini al-Arba'iniya ("empat puluh").  Pelajar dari Venesia (Italia) mendengar suksesnya metode ini dan membawa pengetahuan ini ke Italia. Mereka menyebutnya "quaranta" (40 dalam bahasa Italia) atau “quadraginta” (bahasa Latin).  Dari sinilah kata "karantina" berasal.  Tentu saja 40 hari ini adalah hasil riset empiris untuk jenis wabah saat itu.


6. Solusi Syariah dalam menangani wabah corona ini apakah lock down atau karantina wilayah atau yang lain?

Lockdown atau karantina wilayah itu sebenarnya sama.  Bedanya cuma cakupan luasnya saja, yang harus disesuaikan dengan fakta volume wabahnya.

7. Keputusan lock down atau karantina wilayah tidak di ambil oleh pemerintah karena pertimbangan ekonomi dan yang lain. Bagaimana pendapat Profesor?

Kalau semua penduduk di wilayah yang diisolir ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, apalagi durasinya belum diketahui, jelas ini merupakan tekanan ekonomi yang sangat berat.  Negara-negara makmur di Eropa atau Amerika Serikatpun saya yakin akan kewalahan.  Padahal pada saat yang sama, pajak-pajak juga tidak masuk karena kegiatan industri, perdagangan, pariwisata dll juga berhenti.

Apalagi seperti di Indonesia ini, kita faqir data, sehingga sulit mengidentifikasi ataupun memetakan siapa-siapa saja yang wajib diberikan bantuan sosial.  Yang tidak punya penghasilan saja?  Yang mana?

8. Pengambilan opsi PSBB untuk penanganan wabah corona apakah bisa dibaca sebagai bentuk lepas tanggung jawab negara pada rakyatnya?

Saya membaca memang pemerintah negara ini meremehkan, telat mikir, lalu gagap, lalu pesimis, tidak akan sanggup.  Bahkan seandainya seluruh biaya pembangunan ibu kota baru dikerahkan untuk menghadapi covid-19, di mana di dalamnya ada lockdown selama dua bulan saja, sepertinya 500 Trilyun pun kurang.  Ini karena wilayah yang terinfeksi sudah begitu luas, dan populasi yang terdampak sudah begitu banyak.

Bila satu manusia rata-rata butuh Rp. 1.000.000, per bulan, lalu populasi terdampak ada 100 juta orang, maka itu sudah Rp 100 Trilyun sendiri.  Bila lockdown itu cukup dalam 2 bulan, maka sudah Rp. 200 Trilyun sendiri. Untuk testing massal dengan metode berakurasi tinggi seperti PCR juga biayanya tidak sedikit.  Apalagi bila banyak yang harus dirawat.  Perkiraan para epidemolog, akan ada 2,5 juta orang yang perlu dirawat.

9. Bagaimana ri’ayah Daulah Islam dalam penanganan wabah corona? Apakah semua kebutuhan dasar rakyat di jamin? Adakah contohnya dalam Daulah?

Daulah Islam dalam sejarahnya selalu melibatkan peran individu dan masyarakat. Juga melibatkan aspek ruhiyah dan insaniyah.

Memang di masa awal, misal di masa Khalifah Umar bin Khaththab, baru dikenal satu metode dari Nabi, dan itupun masih bersifat general, belum detil.  Kota Amwaz yang terkena wabah itu diisolasi.  Tapi ternyata wabah tidak berhenti.  Dua gubernurnya yaitu Abu Ubaidah dan Muadz bin Jabbal wafat secara berturutan.  Baru kemudian Amr bin Ash dipanggil untuk memimpin.  Di dalam kota yang diisolasi itu dilakukan social distancing.  Orang disuruh tinggal berpencaran.  Baru wabah berhenti.

Mungkin orang bertanya, selama diisolasi atau disuruh berpencaran, itu logistiknya bagaimana?  Ya, mereka yang masih berpunya akan berbagi miliknya.  Dengan motivasi spiritual.  Kemudian dari luar, petugas negara mengantar logistik, ditaruh di gerbang kota.  Mereka yang di dalam kota mengambilnya.  Jadi soal logistik terpenuhi.
 
Selain ikhtiar material ini, pemimpin umat mengajak umat untuk berikhtiar spiritual.  Semua wabah ini dari Allah.  Maka umat diajak muhasabah dan kembali kepada Allah, agar Allah berkenan menarik wabah ini.

Ketika peradaban material umat Islam makin maju, mereka lalu menemukan hubungan kebersihan lingkungan dengan wabah.  Di kota-kota Islam yang bersih mulai jarang ada wabah pest, karena pest ini ditularkan oleh tikus.  Di kemudian hari, umat Islam juga mempelopori penemuan vaksin, sebagai tindakan pencegahan tertular wabah.

10. Bagaimana jaminan sistem kesehatan dalam Daulah Islam sehingga mampu menangani sebuah wabah?

Jaminan sistem kesehatan dalam Islam melibatkan peran individu, keluarga, masyarakat dan negara.  Yang pertama individu didorong untuk hidup sehat dan seimbang jasmani – rohani – sosial.

Yang kedua, setiap keluarga memperhatikan seluruh anggota keluarganya, bahkan kerabatnya.  Banyak ayat al-Qur’an atau pun hadits yang menyebut kemuliaan memperhatikan karib kerabat ini.
  
Yang ketiga, masyarakat memperhatikan bila ada fuqara dan masaakin di lingkunganya.  Memberi shadaqah pada mereka adalah pembebas dari api neraka.  Dan menyelamatkan nyawa satu manusia itu laksana menyelamatkan nyawa seluruh manusia.

Baru kalau kemampuan masyarakat ini tak sanggup lagi mengatasinya, kewajibannya beralih ke negara.  Negara bisa memobiliasi anggaran dari harta milik umat, bahkan bisa menggalang donasi dari bagian masyarakat yang lain yang berlebih.

Kewajiban negara ini terkait seluruh hukum syara’ yang lain.  Terkait hukum-hukum ekonomi, hukum-hukum edukasi, hukum-hukum pergaulan, dsb.
  
Termasuk tugas negara juga menyelenggarakan tindakan medis preventif seperti vaksinasi, dan tindakan kuratif dengan sains dan teknologi terkini.

11. Negara-negara kapitalis kelimpungan keuangan dalam menghadapi wabah corona ini. Seperti tidak punya cukup cadangan devisa untuk memback up itu. Apa penyebabnya?

Volume wabah ini memang “beyond expectation”, baik dari sisi jumlahnya maupun kecepatannya.  APD atau ventilator untuk yang sudah sesak nafas tidak cukup.  Kalau alat-alat ini bisa diproduksi massal, maka tidak dengan SDM tenaga medisnya.  

Dan banyak tenaga medis tumbang, karena banyak pasien yang datang tanpa gejala covid-19, sehingga ditangani tidak dengan standar pencegahan covid19.

Negara-negara kapitalis itu terlalu mengandalkan solusi kapitalistiknya.  Mereka sudah lama terbiasa hidup individualistik, sehingga jejaring keluarga atau tetangga sudah pelan-pelan teramputasi.  Akibatnya jejaring sosial natural ini tak lagi dapat diandalkan.  Bebannya menumpuk pada negara.

12. Bagaimana mekanisme keuangan dalam Daulah sehingga mampu memberi jaminan ri'ayah kepada rakyatnya ketika wabah?

Dalam Daulah, negara tidak ambil untung dalam melayani warganya.  Dalam kondisi darurat wabah, negara bisa menggerakkan semua kemampuan negara, semisal industri berat (industri militer) untuk membuat APD, ventilator atau alat medis lainnya secara massal.  Anggaran yang semula masuk kategori “sunnah” bagi negara, atau bahkan “fardhu” namun tidak mendesak, semisal memperbarui alat persenjataan pasukan jihad, bisa diubah prioritasnya di bawah riayah kepada rakyat terdampak wabah.

Bahkan bila uang yang dimiliki negara masih juga belum cukup, negara bisa meminjam kepada warga yang aghniya, atau negara mengumpulkan donasi atau bahkan pajak sementara, untuk bersama-sama menyelematkan rakyat yang terdampak wabah.

13. Apakah ancaman krisis ekonomi global ini akibat langkah-langkah keliru yang secara simultan di ambil oleh negara kapitalis ini?

Tanpa pandemi juga krisis pasti terjadi.  Krisis di dunia kapitalis itu selalu berulang, yakni ketika bubble ekonomi seperti di pasar valas, pasar modal atau pasar property meletus, ketika nilai nominal sudah jauh diatas nilai realnya (over-valued).  Kedatangan wabah ini memperparah, sehingga pasti akan dibuat alibi tentang gagalnya sistem ekonomi kapitalis.

14. Apa sikap yang perlu dilakukan oleh individu muslim dalam menghadapi wabah corona ini?

Secara individu kita wajib sabar dan ridha atas qadha dari Allah, bahwa semua ini ujian untuk membuat kita “naik kelas” dengan melakukan amal-amal yang terbaik, baik hablum-minallah maupun minannaas.

Kita juga wajib introspeksi, lalu menarik pelajaran, apa yang wajib segera kita perbaiki di masa depan.  Agar yang jelek di masa lalu tak terulang.  Agar di masa depan semua lebih baik.  Dan agar sekarang, di kita bisa menyikapinya wabah dengan bijak.
  
Kita juga wajib empati pada orang-orang yang tidak seberuntung kita.  Di luar sana banyak tenaga medis yang sudah lama tak bisa bertemu keluarga.  Juga ada pekerja jalanan yang sudah hampir menjual rumahnya agar tetap bisa makan.

Kita juga harus terus ikhtiyar agar wabah ini bisa dihadapi lebih baik.  Stay@home.  Ada yang membuat sendiri masker atau ventilator alternatif.  Ada yang bikin posko layanan dengan mengantar sembako hingga pintu rumah korban.  Walaupun ini sifatnya parsial, namun ikhtiyar ini tetap wajib dihargai.

Dan kemudian kita juga wajib terlibat pada upaya global.  Bencana ini bukan hanya lokal di Indonesia atau di negeri muslim.  Kita wajib menunjukkan bahwa Islam lebih mampu mengatasi ini semua, dengan hukum-hukumnya yang berdimensi pribadi, keluarga dan masyarakat, maupun negara yang tentu mensyaratkan infrastrukturnya global, yaitu Khilafah.  Baru setelah ikhtiyar makro ini, kita bisa maksimal tawakkal kepada Allah.

15. Bagaimana pula sikap seorang muslim ketika melihat solusi keliru yang di ambil oleh pemerintah?

Mengingatkan pada shohibul sholahiyah tersebut. Solusi keliru itu ada yang di tingkat pelaksana, semisal petugas RT yang memaksa warga melewati disinfectan-chamber, meski ini tidak berguna, dan oleh Kemenkes dianjurkan tidak dipakai.  Solusi keliru itu juga ada di tingkat pengambil kebijakan, yaitu pemerintah.  Namun kita juga wajib menunjukkan solusi yang lebih baik, hingga rinci.  Insya Allah upaya ini menjadi alibi kita di Hari Pengadilan Allah nanti.[]


Prof. Dr. Fahmi Amhar
Sumber artikel: al-Waie edisi Mei, 2020

Posting Komentar

0 Komentar