BUNUH DIRI DI MASA PENDEMI: Abaikah Negara Bertanggung Jawab Atas Kesejahteraan Rakyatnya?


I. Pengantar

Di tengah hikmatnya umat Islam dalam menjalani ibadah puasa di bulan suci Ramadhan sekaligus masih dalam masa pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di sejumlah daerah guna untuk memutus mata rantai pandemi virus Corona yang masih merebak saat ini, dada kita disesakkan oleh berbagai kejadian yang sangat memprihatinkan sekaligus teramat disayangkan. Yakni terjadinya berbagai aksi bunuh diri oleh beberapa anggota masyarakat. 

Sebagaimana diberitakan oleh Liputan6.com, Jakarta - ada seorang pengemudi taksi online ditemukan tewas di sebuah kebun kosong, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, pada Senin 6 April 2020 malam di tengah wabah Corona.
JL (33) diduga nekat mengakhiri hidup karena tak sanggup membayar cicilan kendaraan. Hal itu berdasarkan keterangan dari istri korban.

Demikian pula berita yang dilansir dari media CNN Indonesia -- adanya seorang pria berinisial JT ditemukan meninggal dunia karena gantung diri di sebuah kamar kos yang berlokasi di Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (21/4). Adik korban dan suaminya lalu melaporkan kejadian itu ke Ketua RT dan tetangga korban. Informasi itu kemudian dilaporkan ke Polsek Kembangan.

Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Kembangan AKP Niko Purba mengatakan jasad korban pertama kali ditemukan oleh adik korban. Niko menuturkan sampai saat ini pihaknya masih mendalami alasan korban nekat mengakhiri hidupnya. Namun, berdasarkan keterangan adik korban, yang bersangkutan memiliki masalah pekerjaan. Menurut adiknya memang sebulan lalu korban dirumahkan atau di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Tidak cukup sampai di situ, kejadian yang tidak kalah memilukan juga terjadi pada seorang pria yang ditemukan tewas dengan gantung diri di Taman Manula yang berada di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Sukabumi, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo membuat warga geger, Selasa (21/4/2020).

Diketahui jika pria yang tewas gantung diri tersebut adalah Moch Syahron Syah (48), warga asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Kejayaan, Kabupaten Pasuruan. - Jatimnow.com - Peristiwa tersebut dilaporkan ke Polsek Mayangan Kota Probolinggo. Tim identifikasi Polres Probolinggo Kota membawa pria itu ke kamar mayat RSUD dr Mohammad Saleh untuk dilakukan autopsi dengan melakukan penyemprotan disinfektan sebelum diturunkan.

Sungguh berbagai kejadian tersebut tentu membuat kita sebagai umat Islam dan masyarakat umum secara luas merasa sedih dan prihatin, terlebih-lebih ketika berbagai aksi nekad bunuh diri tersebut diduga karena ditengarai akibat dampak dari masa pandemi yang membuat masyarakat banyak yang kian terpuruk dan tertekan secara ekonomi akibat diberlakukannya karantina di hampir seluruh wilayah Indonesia guna menghindari penularan wabah virus corona yang tengah mendera di seluruh dunia. 

Situasi pandemi corona dengan kebijakan PSBB, pada akhirnya membuat masyarakat dihadapkan oleh berbagai persoalan hidup terutama kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang setiap hari harus tetap dipenuhi sebagai akibat tiadanya pekerjaan dan sumber penghasilan lainnya. Sehingga membuat sebagian dari mereka putus asa dan frustasi hingga mengambil keputusan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Haruskah keadaan seperti ini dibiarkan selalu terjadi? Siapa yang bertanggung jawab atas aksi-aksi bunuh diri sebagai akibat kekurangan biaya hidup? Negara, umat ataukah kolaborasi keduanya? Dalam bentuk apa? Berpuluh problematika hidup berkelindan dalam peristiwa ini.

II. Permasalahan

Berdasarkan ilustrasi fakta di muka, kami hendak mengajukan beberapa permasalahan yang layak diuraikan di antaranya sebagai berikut:

1. Mengapa Negara wajib bertanggung jawab terhadap rakyatnya ketika terjadi pandemi?

2. Mengapa rakyat berputus asa dalam menghadapi kesulitan hidup di masa pandemi sehingga melakukan bunuh diri?

3. Bagaimana strategi kolaboratif antara negara dan umat Islam menghadapi pandemi sehingga kesejahteraan rakyat terjamin?

III. Pembahasan

A. Kewajiban dan Tanggung jawab Negara Terhadap Kesejahreraan Rakyatnya di Tengah Pandemi Corona.

Sejatinya datangnya sebuah musibah yang melanda suatu negara adalah merupakan ketetapan dari Sang Maha Kuasa dan tentu saja di balik semua itu yang maha kuasa tentu juga mempunyai maksud dari setiap apa yang ditetapkannya. Oleh karena itu adalah sesuatu yang sangat penting sekali ketika keberadaan negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang berkarakter tegas, kuat (baik secara mental maupun spiritual) teramat dibutuhkan suatu dalam menghadapi musibah nasional seperti halnya musibah serangan wabah Corona di negeri kita saat ini. 

Lihat saja, kini virus corona Covid-19 yang awalnya merebak di Wuhan kini telah sampai menyerang secara "membabi buta" di Indonesia, sehingga ditetapkan statusnya menjadi pandemi nasional hingga pandemi global yang menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Indonesia yang awalnya dengan percaya diri mengatakan zero case, kini berpacu dengan waktu untuk membendung dan menanggulangi penyebaran virus ini. Pemberitaan demi pemberitaan lokal maupun global tampak memenuhi linimasa media sosial kita. Dari mulai pemberitaan tentang jumlah korban yang terinfeksi berat dan ringan hingga meningkatnya jumlah kematian yang hingga kini belum mampu ditekan.

Tidak cukup sampai di situ, efek dari pandemi virus corona juga ikut memunculkan masalah-masalah baru, seperti menjadi lambannya roda perekonomian, polemik terbatasnya persediaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk para tenaga medis, bermunculannya kasus dugaan tindak pidana hate speech melalui jejaring sosial media akibat dari berbagai bentuk kritik masyarakat terhadap penanganan dari pemerintah yang berujung pada tindak pidana. Hingga sejumlah aksi bunuh diri oleh masyarakat yang terpapar frustasi berat akibat dari dampak menghadapi masa pandemi.

Kian parahnya kondisi penyebaran virus Corona di Indonesia menyiratkan sebuah asumsi akan sebuah penanganan yang dari awal dinilai oleh beberapa pihak terkesan santai dan lambat oleh negara/pemerintah yang menjadi faktor tersendiri penyebab meningkatnya perkembangan wabah ini di berbagai wilayah Indonesia. Hingga berakibat pula pada bertambahnya masalah demi masalah yang mengiringinya di negeri kita hingga saat ini. 

Hal tersebut dikuatkan oleh argumentasi dari Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar. Dia menilai upaya pemerintah Indonesia lamban, karena terlalu menganggap enteng virus COVID-19. Ketika awal virus ini merebak di Wuhan, Tiongkok, alih-alih melakukan mempersiapkan diri untuk mitigasi, pemerintah lebih mengedepankan gimmick populisme, seperti memulangkan WNI dari Tiongkok. 

Presiden Jokowi memang sempat berseru bahwa virus Corona tidak masuk ke Indonesia berkat kesiapan Kemenkes. Hal itu disampaikan pada saat memimpin sidang kabinet paripurna mengenai antisipasi dampak perekonomian global di Istana Kepresidenan Bogor pada 11 Februari 2020. Alih-alih melakukan mitigasi, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani justru lebih mencegah kejatuhan perekonomian dari sektor pariwisata, sehingga diberlakukan diskon harga tiket pesawat pada 25 Pebruari 2020. Presiden Jokowi sendiri mendaku diskon itu diberikan bagi wisatawan yang berasal dari daerah bebas virus Corona. Padahal hal tersebut justru berpotensi mendorong meningkatnya penularan wabah corona yang dapat dibawa oleh para wisatawan tersebut seperti apa yang sudah terjadi saa ini.

Sementara itu masyarakat sudah kadung panik dan kebingungan. Kebingungan masyarakat sebagai akibat dari wujud rasa tanggungjawab negara yang kurang optimal. Dalam mengurusi masyarakat saat menghadapi masa pandemi, dalam konteks kebijakan physical distancing misalnya, pemerintah lebih fokus untuk mengimbau masyarakat untuk jaga jarak dan stay di rumah namun tidak disertai dengan ikut menjamin ketahanan hidupnya secara penuh, seperti kebutuhan dasar semisal pangan, obat-obatan, dan lain-lain. 

Tidaklah heran ketika berbagai aturan dari himbauan pemerintah masih belum ditaati sepenuhnya oleh masyarakat. Karena di saat mereka harus sama-sama harus menjaga mata rantai penularan wabah, namun di sisi lain masyarakat tetap harus keluar mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan pokoknya yang belum dipenuhi oleh negara. Oleh karena itulah langkah perberlakuan PSBB ini hingga kini belum mampu menjadi solusi efektif dalam menekan atau memutus mata rantai Corona.

Bila kita bercermin pada masa kejayaan Islam, di zaman Rasululullah SAW juga pernah terjadi pandemi wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Dan kabar itu itupun menyeruak ke segala penjuru dunia dan sampai juga ke pada Rasulullah Saw. Rasulullah SAW yang bertindak sebagai kepala negara sebuah pemerintahan saat itu langsung bertindak secara sigap dan cepat dengan memerintahkan masyarakat untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami kusta atau wabah lepra yang menular tersebut.

Dalam sebuah hadist, Rasullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ

Artinya: "Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta." (HR Bukhari).

Nabi Muhammad SAW juga pernah memperingatkan masyarakat dan umatnya untuk tidak dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah tersebut. Dan sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar.

Seperti diriwayatkan dalam hadits berikut ini:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)

Jadi di zaman Rasulullah SAW jikalau ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha'un atau wabah menular, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sebagai seorang pemimpin memerintahkan untuk segera melakukan lockdown wilayah serta mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, yang jauh dari pemukiman penduduk. Bukan sebaliknya malah terkesan bersikap santai dan justru ada dugaan mempermudah akses warga negara asing yang berpotensi pembawa wabah tersebut untuk masuk ke negaranya.

Selain dari kepemimpinan Rasulullah Saw, contoh lain ada di zaman kekhalifahan khalifah Umar bin Khattab juga pernah terjadi musibah wabah penyakit menular. Dalam sebuah hadist diceritakan, Umar sedang dalam perjalanan ke Syam lalu ia mendapatkan kabar tentang wabah penyakit. Hadist yang dinarasikan Abdullah bin 'Amir mengatakan, Umar kemudian tidak melanjutkan perjalanan. Berikut haditsnya:

"Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhori).

Dalam hadits yang sama juga diceritakan Abdullah bin Abbas dan diriwayatkan Imam Malik bin Anas, keputusan Umar sempat disangsikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dia adalah pemimpin rombongan yang dibawa Khalifah Umar. Menurut Abu Ubaidah, Umar tak seharusnya kembali karena bertentangan dengan perintah Allah SWT. Umar menjawab dia tidak melarikan diri dari ketentuan Allah SWT, namun menuju ketentuanNya yang lain. Jawaban Abdurrahman bin Auf ikut menguatkan keputusan khalifah Umar untuk tidak melanjutkan perjalanan karena wabah penyakit. 

Dan sesegera itu juga Umar memerintahkan jajaran perangkat pemerintahannya untuk memberlakukan kebijakan Lockdown terhadap wilayah-wilayah yang diduga telah berada dalam zona penyebaran wabah. Langkah tepat yang berasal dari wahyu dan sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya bagaimana para pemimpin pada suatu negara dalam menangani pandemi wabah.

Atas dasar kedua riwayat tersebut maka dapat diambil sebuah pelajaran bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin atau kepala negara ketika mendengar atau menghadapi adanya wabah yang berpotensi akan membahayakan kehidupan rakyat dan negaranya. Rasulullah Saw dan Khalifah Umar adalah hamba-hamba Allah yang tidak perlu diragukan lagi bagaimana keshalihan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT berikut kepercayaan mereka terhadap takdir Allah SWT atas mereka.

Rasulullah dan Khalifah Umar mampu menempatkan antara keimanan, sikap dan pola pikir pada tataran yang tepat dan dibenarkan. Tidak memandang dan menganggap musibah wabah ini dengan sikap yang santai dan cenderung meremehkan. Apalagi malah mempermudah akses-akses yang berpotensi dapat mempercepat penularannya. Akan tetapi mereka bertindak selaku seorang pemimpin dengan sikap yang tanggap dan cepat disertai rasa tanggungjawab yang besar guna melindungi kehidupan rakyat dan negaranya dari resiko yang lebih besar di kemudian hari.

Negara bertanggungjawab dengan tidak menunda-nunda untuk membatasi serta mengunci wilayah-wilayah yang diduga telah tercemar dan terjadi pandemi wabah serta mengisolasi orang-orang yang telah positif terinfeksi wabah, melakukan karantina lebih awal untuk menjaga penyebarannya yang lebih luas. Dan merupakan sesuatu yang tak kalah wajib dilakukan yakni memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang berada dalam wilayah karantina atau lokcdown tersebut. 

Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan Khalifah, sebagai gambaran bagaimana Idealnya tanggungjawab para pemimpin dalam sebuah negara ketika menghadapi serangan wabah seperti halnya virus Corona. Alhasil penyebaran wabah tersebut dapat dicegah dan tidak sampai menyebar lebih luas ke wilayah-wilayah yang lain di negara yang diri'ayahnya.

Sangat disayangkan, ketika pemerintah Indonesia yang merupakan bagian dari negeri kaum muslimin ini sedari awal hingga kini terkesan tidak tergerak untuk melakukan hal serupa, pemerintah masih bersikukuh untuk tidak melakukan lockdown atau karantina wilayah. Pemerintah malah menilai cara tersebut memiliki risiko yang tinggi seperti meningkatkan jumlah kasus virus corona.

Justru sekarang yang diadopsi Pemerintah adalah kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang tidak disertai dengan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat agar mempermudah mereka dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Sehingga pada akhirnya malah kekacauan dan penanganan yang terkesan buruk yang saat ini justru terjadi. Dan terbukti ketika kebijakan yang diambil negara keliru dan tidak berpijak pada petunjuk yang benar maka membuat pandemi corona ini justru makin meluas dan sulit untuk ditanggulangi. 

B. Keputusasaan masyarakat dalam menghadapi kesulitan hidup di masa pandemi hingga berujung melakukan aksi bunuh diri.

Buruknya penanganan dari negara dalam menangani pandemi wabah hingga kini begitu berimbas pada pola kehidupan sosial masyarakat, terutama dari segi perekonomian masyarakat yang kian hari kian memprihatinkan. Banyak perusahaan-perusahaan yang terpaksa meliburkan hingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja PHK) para karyawannya menambah buruk keadaan perekonomian masyarakat yang sebagian besar tergolong pada komunitas masyarakat ekonomi menengah ke bawah. 

Sementara kebutuhan hidup mereka tetap haruslah dipenuhi. Biaya sekolah, listrik, dan kebutuhan pangannya, sehingga mau tidak mau mengharuskan masyarakat untuk berusaha lebih keras memutar otaknya dalam mencari solusi agar kebutuhan-kebutuhan dasar mereka masih dapat terpenuhi. Namun, hidup dalam naungan sistem ekonomi kapitalisme, apa-apa serba mahal dan mengandalkan materi ini menjadikan hal tersebut bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani oleh masyarakat yang pada akhirnya membuat kehidupan mereka kian tertekan. Sehingga tak heran ketika banyak bagian dari masyarakat yang terpapar stress berat dan mengalami keputusasaan yang berbuntut pada munculnya sejumlah aksi nekad bunuh diri seperti yang nampak pada ilustrasi di muka artikel ini.

Kondisi individu-individu masyarakat yang rapuh secara mental maupun akidah, menjadikan mereka tanpa memiliki filter atau pegangan hidup yang benar sehingga rentan terpapar stress dan keputusasaan dalam menjalani kehidupan. Minimnya pula pemahaman umat tentang konsep takdir maupun rezeki yang ia miliki menambah dorongan seseorang terjerumus pada tindakan menyimpang, bodoh dan merugikan dalam menghadapi persoalan ekonomi yang tengah dihadapinya. Selain dari pada itu ada beberapa faktor utama yang menyebabkan seseorang memilih melakukan tindakan bunuh diri, di antaranya:

Pertama, faktor individu.

Seperti yang telah penulis sebutkan di muka tadi bahwa faktor individu yang rapuh secara mental maupun akidah menjadi pemicu utama dorongan untuk melakukan tindakan atau aksi bunuh diri pada seseorang, kondisi individu yang memiliki cara pandang hidup yang keliru, cenderung liberal dan sekuler, jauh dari Tuhan dan tuntunan agamanya. Sehingga menjadikannya seorang pribadi yang gampang terpapar depresi dan mudah putus asa ketika dihadapkan pada suatu musibah atau persoalan. Depresi terjadi biasanya ketika ia merasa gagal dalam mencapai apa yang diinginkannya, sementara pada saat yang sama, kesabaran dan ketawakalannya kepada Allah Swt begitu lemah. 

Kedua, faktor keluarga.

Dalam setiap keadaan keluarga seharusnya adalah tempat berbagi segala hal dan apa yang dirasakan, entah itu orang tua, pasangan, anak, atau lainnya sebagai tempat seseorang dalam menunjukkan apa yang dia rasakan. Namun yang paling menjadi pemicu utama adalah ketika kondisi keluarga tersebut juga jauh dari Islami. 

Kondisi keluarga yang jauh dari tuntunan dan pengamalan agama pada tiap anggotanya akan mudah sekali dihadapkan pada rasa kebingungan bahkan rasa emosi yang kerap memicu pertengkaran dan ketidakharmonisan di antara masing-masing anggota keluarga dibanding membicarakan dan mencari solusinya secara bersama-sama. Hal itulah yang terkadang menjadikan seseorang untuk lebih memilih menyimpannya sendiri sehingga menjadikan ia tidak kuat dan depresi hingga mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Ketiga, faktor masyarakat.

Lingkungan masyarakat yang cenderung acuh dan individualis juga merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya depresi sosial pada seseorang, terutama dalam menghadapi masa pandemi ini setiap orang fokus kepada kebutuhannya masing-masing sampai lupa terhadap keadaan sekitarnya. Pola masyarakat yang jauh dari Islami karena diatur oleh sistem sekuler liberal ini menjadikan tingkat kepedulian dan keimanan rendah pada suatu kehidupan masyarakat yang berakibat pada gampangnya seseorang terpapar stress berat dan depresi.

Pola pikir masyarakat alam kapitalis diperparah oleh rangsangan-rangsangan dari berbagai media yang menggambarkan sebuah kehidupan yang bahagia yaitu yang terpenuhi segala kebutuhan materinya sehingga timbullah keinginan menjadi kaya pada seseorang yang menginginkan kehidupan yang serba enak tanpa harus bekerja keras, kebahagiaan yang seakan hanya akan ia dapat semasa di dunia.

Kehidupan yang serba instan dan jauh dari tuntunan Islam terus dijejalkan pada pola pikir masyarakat yang merupakan bibit lain dari munculnya depresi sosial Hingga pada akhirnya sering memicu berbagai kerusakan seperti halnya keinginan bunuh diri, pemakaian narkoba, seks bebas yang berujung hamil di luar nikah dan lain-lainnya sebagai jalan pintas dalam mencari jalan keluar atas berbagai permasalahan yang mendera. 

Keempat, faktor negara 

Ketika Negara cenderung abai dari tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, maka sebenarnya ada andil negara untuk mendorong terjadinya depresi warganya. Misalnya, negara kurang peduli terhadap masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan beban hidup masyarakat lainnya yang seharusnya menjadi urusan negara. 

Banyaknya kebijakan negara cenderung membebani rakyat seperti biaya sekolah makin mahal, harga BBM yang melonjak dan berimbas juga pada kenaikan harga bahan pokok lainnya, tagihan tarif listrik yang dinaikkan, penggusuran, dan segudang kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat merupakan faktor pemicu lain depresi sosial. 

Terutama di dalam menghadapi masa pandemi ini, kebutuhan masyarakat terasa lebih meningkat, sementara patut diduga Negara cenderung mengabaikan kesigapan tanggungjawabnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Rasa frustasi dan depresi sosial yang dialami masyarakat juga akan mendorong seseorang bisa melakukan kompensasi dengan jalan agresi, kekerasan, dan kejahatan yang akan menambah pelik persoalan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

C. Strategi kolaboratif antara negara dan umat Islam menghadapi pandemi sehingga kesejahteraan rakyat dapat terjamin.

Dalam pandangan Islam, hadirnya pandemi wabah merupakan musibah yang sunatullah dalam kehidupan manusia apalagi bagi orang yang mukmin yang beriman, musibah merupakan satu keniscayaan untuk melihat potensi keimanan yang ada pada dirinya. Maka penting bagi masyarakat khususnya umat dan para pemimpin muslim untuk bersinergi dengan sikap yang tepat sebagaimana orang-orang yang beriman ketika menghadapi ujian atau musibah yang menimpanya.

“Allah SWT berfirman: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 15”

Di dalam ayat tersebut bagaimana Allah SWT menyuruh kita sebagai orang yang beriman untuk bersabar agar kelak mendapatkan balasan kabar gembira di sisi Allah. Sabar dalam arti ridha dan meyakini bahwa setiap musibah yang menimpa suatu kaum melainkan semua atas izin Allah sebagai Sang Maha Pencipta. 

Negara yang dalam pengawalan para pemimpin muslim hendaknya bersama umat untuk senantiasa mendekatkan diri dan merendahkan diri di hadapan Tuhannya. Bermuhasabah dan menyadari kesalahan, patuh pada setiap apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang dan saling menyeru untuk kembali kepada hukum-hukum Islam secara total dan keseluruhan, kembali pada konsep kehidupan Islam.

Para pemimpin dalam institusi negara mempunyai peran sentral untuk memberikan perlindungan dan pelayanan warga negaranya. Apalagi saat terjadi pandemi wabah penyakit menular seperti sekarang, tentu rakyat butuh perlindungan yang optimal. 

Negara tidak boleh abai, dan wajib memberi edukasi serta support kepada masyarakat (warganya) yang sedang bersama-sama menghadapi pandemi wabah, baik secara material maupun spiritual, baik secara kesehatan badan maupun kesehatan pemikiran, agar tidak perlu terjadi adanya kasus masyarakat yang putus asa, frustasi hingga melakukan tindakan bunuh diri yang merupakan perbuatan dosa besar dan besar pula pertanggungjawabannya di sisi Allah, terlebih-lebih jika diakibatkan dari lalainya negara dalam mengurusi rakyatnya.

Agar kesemua itu dapat tercipta maka layak bagi negara untuk menengok bagaimana jejak gemilang sistem peradaban Islam dalam sistem Khilafah yang tidak dimiliki oleh peradaban lainnya yaitu kesempurnaan Islam dalam menjamin kesejahteraan hidup yang terbaik bagi rakyatnya yang bertahan hingga seribu tiga ratus tahun lebih yang telah diruntuhkan oleh kaum kafir dan munafik pada 03 Maret 1924 M.

Jaminan kesejahteraan di era kepemimpinan Islam dapat terwujud bukan karena kebetulan, namun karena Islam memiliki seperangkat aturan atau kebijakan . Aturan maupun kebijakan ini bersumber dari kitabullah dan sunnah. Aturan-aturan tersebut mencakup ranah individu, keluarga, masyarakat dan negara. Sehingga secara sederhana semua keagungan dalam sistem Islam, khilafah terwujud karena hukum-hukum Islam diterapkan secara total dan keseluruhan.

Beberapa bentuk aturan atau kebijakan dalam Islam sehingga ada keterjaminan kesejahteraan bagi rakyat yang diterapkan dalam sebuah institusi negara antara lain: 

Pertama, Islam menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab, wajib untuk bekerja guna memberikan nafkah baginya dan bagi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.

Kedua, Islam mengatur ketika masih ada kekurangan atau kemiskinan yang menimpa seseorang, maka tanggung jawab itu menjadi tanggung jawab sosial. Maksudnya keluarga, kerabat dan tetangga turut dalam membantu mereka yang masih dalam kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam seperti zakat, sedekah dan lainnya.

Ketiga, Islam melalui pemimpin tertingginya yaitu seorang khalifah adalah pihak yang mendapatkan mandat untuk mengayomi dan menjamin kesejehteraan rakyatnya. Dia yang akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan, terutama dalam urusan pengaturan masyarakat seperti sistem ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lainnya.

Dalam sistem ekonominya, Islam memiliki kebijakan dalam mengatur kepemilikan kekayaan negara sesuai aturan syara'. Yang terbagi dalam tiga macam kepemilikan: kepemilikan individu, umum dan negara yang kesemuanya diatur sedemikian rupa untuk kemakmuran rakyat. 

Pengaturan tersebut kemudian akan masuk dalam Baitul Mal yang menjadi pusat kekayaan negara Islam. Yang akan didistribusikan kepada rakyat agar terjamin kehidupan per-individunya sehingga benar-benar mendapatkan jaminan sandang, pangan dan papan dari negara. Serta yang tak kalah wajib juga untuk mewujudkan jaminan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya. Dalam era kepemimpinan Islam, khilafah dulu ataupun yang akan tegak kembali nantinya, sistem ekonomi Islam menjadi salah satu paket dari sistem lainnya seperti politik-pemerintahan, hukum dan sebagainya yang akan diterapkan secara utuh dan menyeluruh.

Melalui serangkaian strategi dari rekam jejak bagaimana kegemilangan sistem pemerintahan Islam dalam menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya tersebut maka sungguh tidak ada alasan bagi negeri ini dan para pemangku kebijakan negara ini untuk tidak mengambil langkah yang serupa. Agar keamanan dan kesejahteraan rakyat benar-benar akan terjamin sehingga tidak perlu lagi ditemukan adanya rakyat yang kelaparan, depresi karena faktor kesulitan ekonomi hingga melakukan tindakan menyimpang dengan aksi bunuh diri.

IV. Penutup

Berdasarkan uraian pada artikel ini, kami hendak menarik beberapa kesimpulan sebagai penutup, di antaranya:

1. Wajib bagi Negara untuk bertanggungjawab sepenuhnya dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Saw dan para Khalifah Pemimpin Islam dalam menghadapi dan menangani serangan wabah seperti halnya virus Corona. Sehingga penyebaran wabah tersebut dapat dicegah dan tidak sampai menyebar lebih luas ke wilayah-wilayah yang lain di negara yang diri'ayahnya. Namun, ketika langkah atau kebijakan yang diambil negara keliru dan tidak berpijak pada petunjuk yang benar maka membuat pandemi corona ini justru makin meluas dan sulit untuk ditanggulangi.

2. Kondisi individu-individu masyarakat sekuler yang rapuh secara mental maupun akidah, menjadikan mereka tanpa memiliki filter atau pegangan hidup yang benar sehingga rentan terpapar stress dan keputusasaan dalam menjalani kehidupan. Minimnya pula pemahaman umat tentang konsep takdir maupun rezeki yang ia miliki menambah dorongan seseorang terjerumus pada tindakan menyimpang, bodoh dan merugikan dalam menghadapi persoalan ekonomi yang tengah dihadapinya. Selain dari pada itu dari rapuhnya individu, keluarga yang jauh dari Islam, masyarakat yang individualis serta abainya negara dalam mengurusi rakyatnya menjadi faktor tersendiri menjadikan seseorang memilih melakukan tindakan bunuh diri sebagai jalan keluar atas permasalahan hidup yang menimpanya.

3. Strategi kolaboratif antara negara dan umat Islam dalam menghadapi pandemi sehingga kesejahteraan rakyat juga dapat terjamin adalah bersabar terhadap ujian berupa musibah pandemi wabah, bermuhasabah, bertaubat dan kembali kepada hukum-hukum Allah melalui penerapan aturan yang bersumber dari kitabullah dan sunnah. Aturan-aturan tersebut mencakup ranah individu, keluarga, masyarakat dan negara yang diterapkan secara total dan keseluruhan.

Bertumpu kepada sistem perekonomian Islam yang menjadi salah satu paket dari sistem lainnya seperti politik-pemerintahan, hukum dan sebagainya yang akan diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Demi terwujudnya jaminan kesejahteraan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya.

Oleh: Prof. Suteki dan Liza Burhan

Posting Komentar

0 Komentar