Kita tentu masih ingat betul dengan program asimilasi dan integrasi yang diluncurkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Program asimilasi dan integrasi ini ternyata tidak membuat narapidana mensyukuri kebebasannya serta hukuman yang dijalani di lapas tidak juga menjerakannya. Pasalnya, beberapa napi yang bebas tak segan kembali berulah.
Dirangkum detikcom, Kamis (15/4/2020), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkum HAM membenarkan masih ada sejumlah narapidana yang baru saja dibebaskan, kembali melakukan kejahatan. Ditjen PAS menyebut setidaknya ada 13 narapidana yang baru bebas melakukan kejahatan lagi.
"Kedua yang menonjol melakukan tindak pidana lagi. Sampai hari ini ada 12 atau 13 yang lakukan tindak pidana. Kami juga sedang pusing," kata Plt Dirjen PAS Nugroho dalam diskusi online, Selasa (14/4).
Ulah para narapidana yang kembali melakukan kejahatan tentu saja menciptakan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly akhirnya angkat bicara, melalui tempoco, Senin (20/04/2020), Yasonna Laoy meminta bawahannya memperketat pengawasan terhadap narapidana yang bebas lewat program asimilasi dan integrasi pencegahan Covid-19 di penjara.
Yasonna meminta Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham dan Kepala Divisi Pemasyarakatan seluruh Indonesia berkoordinasi dengan kepolisian untuk memantau para napi. Yasonna memerintahkan warga binaan yang mengulangi tindak pidana untuk segera dikembalikan ke penjara.
Sejauh ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah membebaskan 38.822 narapidana atau napi dan anak melalui program asimilasi dan integrasi selama pandemi Covid-19.
Ini adalah salah satu bukti bahwa hukuman di negara yang menganut sistem demokrasi-kapitalisme jauh dari menjerakan. Alih-alih mampu memberikan efek jera, memberikan pengampuanan yang sesungguhnya atas perilaku dosa besar yang telah diperbuatnya, baik mencuri, membunuh atau kejahatan lainnya, tidak juga memberikan jaminan itu.
Seorang muslim pasti paham betul, bahwa kelak setiap perbuatannya di dunia akan menghadapi satu hari yang disebut sebagai hari penghisaban, yaumul hisab. Lalu adakah sistem sanksi yang ketika pelaku mendapatkan sanksi itu di dunia, maka sebenar-benar pengampunan akan diperolehnya?
Tentu saja ada, Allah menciptakan manusia dengan seperangkat aturanNya, yang sudah seharusnya wajib ditaati dan diterapkan untuk seluruh umat manusia.
Sanksi dalam Hukum Islam Memberikan Efek Jera dan Jaminan Pengampunan serta Kehidupan di Dunia dan Akhirat
“Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)
Sanksi (uqubat) ini disyariatkan bagi umat manusia demi untuk mencegah manusia dari melakukan tindak kejahatan. Di dalam hukum (qishash) ini terdapat hikmah yang besar, yang menjerakan dan penjaminan pengampunan serta penghidupan di dunia dan akhirat.
Contohnya untuk hukum (qishash) bagi seorang pembunuh adalah dibunuh, hikmah besar dari diterapkan hukum ini adalah penjagaan jiwa. Islam sangat menjaga jiwa manusia, bahkan Rasulullah bersabda, " Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. Nasai)
Seseorang yang tahu bahwa hukuman bagi seorang pembunuh adalah dibunuh, maka dia akan merasa takut dan berpikir 1000 kali untuk berani melakukan pembunuhan. Inilah makna yang dimaksud dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa manusia. Dengan kata lain uqubat (sanksi) ini berfungsi sebagai pencegahan karena dapat mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan.
Seperti halnya hukuman bagi pezina adalah dicambuk (dijilid) 100 kali bagi pezina yang belum menikah dan rajam bagi yang telah menikah. Hukuman ini harus dilakukan dihadapan khalayak ramai, sehingga hukuman ini memberi efek jera bagi pelaku dan juga dapat mencegah orang lain yang menyaksikan hukuman tersebut untuk berpikir ulang ketika akan melakukan perzinahan.
Sanksi di dunia bagi pelaku kejahatan atas kejahatan yang dilakukannya di dunia dapat menghapuskan sanksinya di akhirat. Mereka yang melakukan kejahatan dan telah mendapatkan sanksi sesuai Al Qur’an dan Sunnah yang dilaksanakan oleh imam (khalifah) atau yang mewakilinya, maka pelaku kejahatan telah memperoleh pengampuanan di dunia dan akhirat, dosanya telah diampuni dan tidak akan dihisab lagi kelak di yaumul hisab.
Sanksi (uqubat) memiliki fungsi sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus (jawabir).
Keberadaan uqubat sebagai zawajir (pencegahan), karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindak pelanggaran. Sedangkan keberadaannya sebagai jawabir (penebus), karena uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Hal ini yg mendorong pelakunya untuk datang mengakui kejahatannya dan meminta disucikan dengan dijatuhi uqubat, satu hal yg tidak dijumpai dalam sistem sanksi selain Islam.
Allah Swt memerintahkan untuk penjagaan terhadap harta, lalu Allah Swt mensyariatkan hukum potong tangan untuk menerapkan ketentuan Allah ini, yakni memelihara dan menjaga harta.
Allah Swt memerintahkan penjagaan dan pemeliharaan darah, kemudian Allah Swt juga mensyariatkan hukum qishash untuk menerapkan penjagaan darah. Allah Swt memerintahkan penjagaan kehormatan, lalu Allah Swt mensyariatkan hukum cambuk bagi orang yg melakukan qadzaf (menuduh wanita baik-baik berzina) yg tdk dpt mendatangkan empat orang saksi.
Begitu pula Allah Swt melarang zina, maka Allah Swt mensyariatkan hukum cambuk bagi pezina yg belum menikah dan hukum rajam bagi pezina yg sudah menikah untuk menerapkan larangan Alalh Swt tersebut.
Seorang muslim yang di dalam dirinya telah terinstall mabda Islam, hanya menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya, pola pikir dan pola sikapnya adalah Islam, tentu akan meyakini bahwa hanya hukum Allah lah yang berhak terterap di bumi ini. Meyakini hanya hukum Allah lah yang benar-benar memberikan keadilan dan menciptakan ketentraman, terlebih dapat memberikan berkah dari langit mau pun bumi, mereka akan rindu dihukumi dengan hukum Illahi yang akan mengatur mereka dari bangun tidur hingga bangun negara.
Dampak Diterapkannya Sanksi dalam Hukum Islam untuk Kehidupan di Dunia dan Akhirat
Diriwayatkan oeh Bukhari dari Ubadah bin Shamit ra berkata:
Kami bersama Rasulullah Saw. dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau (mungkin) mengazab.”
Inilah hadist yang menjelaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan negara (khalifah) bagi pelaku dosa dapat menggugurkan sanksi akhirat. Demi meraih pengampunan inilah, dahulu pada masa Rasulullah mereka yang tergelincir melakukan perbuatan dosa datang kepada Rasulullah untuk mengakui dosanya dan bersedia mendapatkan sanksi dunia yang akan dapat menebus dosanya kelak di akhirat.
Seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik suatu kali tergelincir dalam dosa zina, padahal saat itu ia telah menikah. Kerisauan hati akibat dosanya membuatnya datan kepada Umar bin Khaththab menceritakan dosa yang telah dilakukannya.
Di luar dugaan, Umar yang terkenal tegas ini berkata, “Bertaubatlah kepada Allah, dan tutupilah itu, karena sesungguhnya Allah telah menutupinya. Bertaubatlah, sesungguhnya Allah selalu menerima taubat hamba-Nya. Orang-orang biasanya hanya bisa mencela, tetapi itu tidak mengubah apapun (kecuali jika engkau bertaubat)!!”
Walaupun nasehat Umat itu begitu jelasnya, tetapi belum bisa menyembuhkan kerisauan hatinya. Karena itu ia datang kepada Abu Bakar untuk menceritakan kerisauan hatinya, tetapi ia memperoleh jawaban yang lebih kurang sama dengan jawaban Umar.
Ma’iz menemui seorang sahabatnya yang bernama Huzal dan menceritakan permasalahan yang dialaminya, termasuk pertemuan dan nasehat yang diberikan oleh Umar dan Abu Bakar. Huzal yang juga salah seorang sahabat itu hanya berfikir logis. Jika ia telah menemui Umar dan Abu Bakar tetapi tidak memperoleh solusi, mengapa tidak diteruskan mencari solusi kepada Rasulullah SAW. Huzal menyarankannya menemui Rasulullah SAW dan Ma’iz menyetujuinya.
Ma’iz segera mendatangi Rasulullah SAW yang saat itu sedang bersama beberapa sahabat lainnya. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina!!”
Nabi SAW memandangnya tajam, kemudian berpaling dari Ma’iz tanpa berkata apa-apa. Ma’iz kembali berdiri di hadapan beliau dan mengulang ucapannya. Tetapi sekali lagi beliau hanya menatapnya kemudian berpaling tanpa berkata apapun.
Ketika peristiwa itu telah berulang sampai ke empat kalinya, Nabi SAW bersabda kepada para sahabat lainnya, “Apakah ia telah gila atau sinting? Atau kalian meragukan kesehatan akalnya?”
“Tidak, ya Rasulullah!!” Kata para sahabat.
Kemudian Nabi SAW menghadapkan wajah kepada Ma’iz dan berkata, “Benarkah engkau telah menyetubuhinya?”
Walau telah cukup alasan untuk menjatuhkan vonis “rajam”, tetapi beliau masih bersabda lagi kepada Ma’iz, “Apa yang sebenarnya engkau inginkan dengan mengaku seperti ini?”
Ma’iz berkata, “Saya ingin, engkau menyucikan dosa-dosa saya, ya Rasulullah!!”
Beliau kemudian berpaling kepada sahabat lainnya dan bersabda, “Bawalah ia ke lapangan mushalla (lapangan untuk shalat id) dan rajamlah di sana…!!”
Jenazah Ma’iz dibawa kepada Rasulullah SAW di dalam masjid, kemudian beliau berdiri di mimbar dan berkhotbah, “Wahai manusia, jauhilah perbuatan zina yang dilarang Allah ini, dan barang siapa yang terjerumus, hendaklah ia menutupinya…!!”
Sambil memandang jenazah Ma’iz, beliau bersabda lagi, “Tutupilah perbuatan jahat kalian dari aku, selama Allah masih menutupinya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam kejahatan hendaklah ia menutupinya (dan bertaubatlah) !!”
Nabi SAW bersabda, “… Demi Allah, sungguh ia sedang berenang di sungai-sungai di surga!!”
Demi meraih ampunan Allah, sahabat Ma’iz bin Malik rela merasakan sakit di dunia untuk menebus dosanya, hingga memperoleh surgaNya.
Ada kisah lain dari seorang wanita suku Juhainah yang datang kepada Rasulullah mengaku telah berzina. “Wahai Rasulullah, aku telah berzina. Aku layak mendapatkan hukuman rajam. Maka tegakkanlah hukuman had atas diriku,”
Rasulullah tidak langsung menjawab. Sebab dalam Islam, dosa zina yang tidak diketahui orang lain, pengadilan tak bisa menuntutnya. Secara Fiqih, hukuman had atas zina ditegakkan jika ada empat saksi yang melihat perbuatan keji tersebut. Tapi wanita ini datang sendiri mengakui.
“Janin dalam perut ini adalah buktinya ya Rasulullah,” lanjut wanita itu meyakinkan bahwa ia pantas dirajam.
“Pulanglah. Setelah bayimu lahir, barulah engkau kembali ke sini,” demikian keputusan Rasulullah. Sungguh, beliau adalah Nabi yang selalu dibimbing wahyu. Beberapa bulan kemudian, wanita itu melahirkan. Lalu ia pun kembali menghadap Rasulullah. “Ya Rasulullah, aku wanita yang beberapa bulan lalu menghadapmu meminta ditegakkan had atasku. Maka rajamlah aku,” demikian kira-kira pinta wanita itu. Dan kembali Rasulullah menolak permintaan itu. Beliau memintanya untuk merawat dulu anaknya, hingga masa persusuan selesai.
Ternyata wanita itu tidak lupa. Ia datang lagi setelah masa menyusui anaknya ia anggap cukup. “Ya Rasulullah, aku wanita yang dulu datang menghadapmu meminta ditegakkan had atasku. Maka rajamlah aku.” Permintaan itu akhirnya dikabulkan Rasulullah. Beliau pun menegakkan hukum had atasnya. Hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Ketika Rasulullah menshalati jenazah wanita itu, Umar bin Khatab heran. “Wahai Rasulullah, mengapa Engkau menshalatinya padahal wanita itu telah berzina?”
Beliau pun menjawab, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”
Penegakan uqubat (sanksi) dalam hukum Islam membuat para pelaku dosa dengan penuh keyakinan dengan keimanannya rela menebus dosanya demi memperoleh ampunan di dunia dan akhirat.
Sanksi ini juga memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya, terbukti dengan kisah seorang Yahudi yang mencuri baju besi khalifah Ali bin Abi Thalib. Karena hakim menolak kesaksian anak dan istri khalifah Ali, maka saat itu hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut milik orang Yahudi meskipun tahu betul bahwa baju besi tersebut milik Khalifah Ali. Ketakjuban orang Yahudi tersebut akan keadilan hukum Islam, menggerakkan hatinya untuk memeluk Islam.
Will Durant seorang sejarahwan berkebangsaan Amerika dalam buku yang ia tulis bersama istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, ia mengatakan : "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka."
Jenis-Jenis Uqubat (Sanksi) dalam Hukum Islam
Di dalam Islam jenis-jenis uqubat ada empat macam yaitu hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat.
1. Hudud adalah sanksi-sanksi yang ditetapkan kadarnya secara jelas oleh syariat. Kejahatan yang dijatuhi hudud ada 7 yaitu:
- Zina, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra ayat 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” Uqubat bagi pelaku zina yang belum pernah menikah, didera 100 kali deraan (An Nur:2) dan pelaku zina sudah menikah, baik laki-laki mau pun perempuan dirajam dengan batu sampai mati. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah (fi’lu al-rasul) SAW yang merajam seorang wanita dari suku Juhainah dan Maiz bin Malik al-Islami setelah berzina.
- Liwath (homoseksual), sanksinya adalah hukuman mati baik muhsham maupun bukan muhsham.
- Qadzaf (menuduh zina), sanksinya didera sebanyak 80 kali deraan
- Minum khamr, yaitu setiap sesuatu yang memabukkan. Kata Nabi, setiap yang memabukkan adalah khamr , dan setiap khamr adalah haram. Hukuman bagi peminum khamr adalah dicambuk 80 kali di tempat umum.
- Pencurian, yaitu mengambil barang yang tersimpan yang telah mencapai nishabnya secara sembunyi-sembunyi. Hukuman bagi pencuri adalah dipotong tangan sampai pergelangan tangan.
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Al Maidah:38)
- Murtad, yaitu ketika seorang muslim yang keluar dari agama Islam, kemudian memeluk kekufuran. Uqubat untuk orang murtad adalah hukuman mati.
2. Jinayat adalah penganiayaan fisik terhadap tubuh yang mewajibkan adanya qishas atau hukuman denda harta. Jinayat ada dua yaitu pembunuhan dan penganiayaan selain pembunuhan seperti pelukaan dan pemotongan anggota tubuh. Pembunuhan dikategorikan menjadi:
- Pembunuhan sengaja, dengan hukuman mati jika keluarga korban tidak menerima diyat (tebusan) atau tidak memaafkan.
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh" (Al Baqarah;178)
Sabda Nabi SAW, “Barang siapa dibunuh maka keluarganya mempunyai dua pilihan: mengambil tebusan atau menuntut hukuman mati” (HR.Bukhari).
- pembunuhan seperti sengaja, sanksinya adalah membayar diyat kepada keluarga korban, sesuai dengan sabda Nabi “Perhatikanlah sesungguhnya orang yang terbunuh dalam pembunuhan seperti sengaja yaitu orang yang membunuh dengan cambuk atau tongkat, maka dalam perkara ini harus membayar 100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya sedang mengandung anaknya”
- pembunuhan tidak sengaja
uqubat pembunuhan tidak sengaja adalah membayar diyat 100 ekor unta tanpa syarat dan wajib membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika tidak memperoleh budak, wajib nerpuasa selama dua bulan berturut-turut.
3. Ta’zir adalah sanki syar’iyah terhadap suatu perbuatan maksiat yang tidak ada had dan kaffarah padanya. Persyaratan ta’zir didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah menahan seseorang dalam kasus terhadap penuduhan orang lain. Penentuan besar kecilnya ta’zir menjadi hak khalifah atau qadhi. Namun khalifah boleh memberikan wewenang kepada para qadhi untuk menentukan kadar ta’zir .
Jenis-jenis uqubat (sanksi) ta’zir, adalah
- Hukuman mati, misalnya hukuman mati pada mata-mata Negara kafir atau orang yang menimbulkan disintegrasi permusuhan umat Islam.
- Cambuk atau dera yaitu pukulan dengan cambuk atau tongkat . untuk ta’zir tak boleh lebih dari 10 kali cambukan, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “tidak didera (seseorang) diatas sepuluh kali, kecuali pada salah satu had dari had-had Allah”
- Tahanan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW telah menahan seseorang dalam kasus penuduhan selama sehari semalam. Penetapan masa tahanan diserahkan kepada qadhi.
- Pengasingan yaitu pengasingan atau pembuangan .
4. Mukhalafat adalah sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh khalifah selaku kepala Negara Islam. Mentaati khalifah adalah wajib, maka siapa saja yang melanggar aturan itu berarti telah meninggalkan kewajiban. Dan itu termasuk kategori maksiat yang harus dikenai hukuman. Mengenai jenis dan besarnya hukuman mukhalafat sama dengan ta’zir. Sebagaimana ta’zir, penentuan hukuman mukhalafat menjadi wewenang khalifah atau orang yang diberi wewenang oleh khalifah untuk berijtihad menentukan kadar ta’zir
Keempat jenis uqubat diatas baik hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat dapat diterapkan bilamana suatu negara menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah. Sebuah institusi negara yang seluruh sistemnya diatur dengan sistem Islam.
Strategi Islam untuk Menerapkan Sanksi dalam Hukum Islam
Islam mengatur sistem peradilan yang akan menyelesaikan setiap perkara atau kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Al-qadha' (peradilan) merupakan lembaga yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum yg bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya.
Al-Qadla menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama'ah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan aparat pemerintah, penguasa atau pegawainya, Khalifah atau lainnya.
Para hakim ini diketuai oleh seorang Qadhi', yang disebut Qadhi' Qudhat. Dia harus seorang pria, baligh, berakal, merdeka, Muslim, adil dan ahli fikih. Dia diberi hak untuk mengangkat, membina, dan bahkan memecat para Qâdhî sesuai dengan ketentuan administrasi.
Para Qadli terbagi dalam tiga golongan:
1. Qadli (biasa) yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan uqubat. Diantara perkara mu'amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli dan sebagainya. Dan juga uqubat, seperti sanksi bagi pezina, orang yang murtad, penganut aliran sesat, penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan, dan sebagainya. Qadhi (biasa) membutuhkan mahkamah, dimana melibatkan dua pihak, penuntut dan tertuduh.
2. Qadli Al-Muhtasib, Qadli yang berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jama'ah/masyarakat. Tugasnya untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut, kecuali perkara hudud dan jinayat. Juga bertugas menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemungkaran, di mana pun tanpa membutuhkan majelis. Qadli ini dapat dibekali dengan polisi yang bertugas mengeksekusi keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat, dan harus dilaksanakan seketika itu juga.
3. Qadli Madzalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara, yaitu menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.
Jika ini terkait dengan kebijakan, maka Qadhi' Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, dll. Jika ini terkait dengan sikap atau tindakan semena-mena, maka Qadhi' Madzalim juga akan menghentikan sikap dan tindakan tersebut. Qadhi' Madzalim berhak memberhentikan pejabat, pegawai negara, bahkan khalifah jika harus diberhentikan, sebagaimana ketentuan hukum syara'. Termasuk, jika pengangkatan khalifah dianggap tidak sah, maka Qadhi' Madzalim bisa menghentikannya.
Seluruh sanksi dalam hukum islam yang dijalankan oleh para qadhi (hakim) hanya dapat diterapkan secara maksimal dan mampu memberikan efek jera serta jaminan pengampunan serta kehidupan di dunia dan akhirat ketika seluruh sistem di atur dengan Islam secara kaffah. Dimana baik sistem ekonomi, social budaya, pendidikan, kesehatan, politik dalam negeri maupun luar negeri menggunakan sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah.[]
Oleh : Dewi Srimurtiningsih, Analis Mutiara Umat, Dosol Uniol 4.0 Diponorogo
0 Komentar