RUU Minerba, Karpet Merah Para Korporat?

sumber foto: telingasemut.com

Kabar mengejutkan kembali hadir di tengah gegernya dunia diterpa badai covid-19. Dilansir melalui laman katadara.co.id mengabarkan bahwa DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) pada 13 Februari lalu.

Keputusan ini diketok dalam rapat kerja antara Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto sebagai pimpinan rapat menyatakan, anggota Panja RUU Minerba sebanyak 86 orang. 26 orang perwakilan DPR dengan diketuai Bambang Wuryanto dari Fraksi PDIP dan 60 orang perwakilan Pemerintah diketuai Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono. (https://katadata.co.id/berita/2020/04/17/deretan-pasal-bermasalah-ruu-minerba-dan-alasan-dpr-tetap-kebut-bahas)
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menyebut revisi Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara sama halnya memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang terutama batu-bara.

Faisal mengatakan dengan revisi UU Minerba ini, maka sama halnya membentangkan karpet merah kedua, setelah yang pertama melalui UU Cipta Kerja atau yang dikenal dengan sebutan omnibus law. Di UU omnibus law pun mengatur ketentuan terkait pertambangan minerba.

"Karpet merah dua kali dibentangkan, pertama di omnibus law, lalu karpet merah digelar lagi dengan diangkatnya revisi UU Minerba," kata Faisal dalam virtual diskusi, Rabu, 15 April 2020.(https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/yKXAAWON-revisi-uu-minerba-beri-karpet-merah-bagi-konglomerat-tambang)

Menurut dia, UU tersebut memang perlu direvisi karena beberapa aturan turunannya pun sudah banyak mengalami perubahan. Hanya saja, terdapat beberapa beleid dalam draf rancangan revisi UU tersebut yang perlu dicermati dan dibahas secara lebih dalam.

Faisal menilai bila tidak dicermati dan dibahas terburu-buru, maka akan menguntungkan pengusaha batu bara kakap yang mencoba menghindari rezim kepemimpinan selanjutnya. Seperti yang sudah-sudah, dia bilang, di negeri ini ketika rezim berganti maka akan diikuti oleh pergantian kebijakan dan aturan yang kerap kali bertentangan.

Dirinya menjelaskan setidaknya ada enam perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B) yang masa kontraknya akan habis, di antaranya PT Arutmin Indonesia pada November 2020, PT Kaltim Prima Coal pada September 202, PT Multi Harapan Utama pada April 2022, PT Adaro Indonesia pada Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung pada Maret 2023, serta PT Berau Coal pada April 2025.

Keenam perusahaan tersebut menguasai hampir 70 persen produksi batu bara nasional dan menurut Faisal pandai melobi pemangku kebijakan.

Dari pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri, jelas sekali tercium aroma licik antara korporat dengan pemangku jabatan.

Wajar jika banyak yang menilai bahwa pemerintah terkesan terburu-buru untuk segera mengesahkan RUU ini. 

Jelas RUU ini berpotensi memuluskan syahwat dan birahi para korporat asing dalam menguasa sumber daya alam di negeri ini.

Apalagi jika terus dikebut, RUU ini akan disahkan di tengah pandemi Covid-19. Bisa-bisa RUU ini akan menjadi kado menyakitkan untuk rakyat di tengah wabah yang kian banyak memakan korban.

Jika ditelisik lebih dalam kenapa hal zalim ini bisa terjadi, tidak lain dan tidak bukan adalah karena diterapkan sistem ekonomi Kapitalisme liberal. Sistem ini telah menjadikan penguasa bisa dengan longgar berselingkuh dengan para kapitalis asing. 

Walhasil, bukan kebijakan pro rakyat lagi yang diputuskan, melainkan kebijakan yang sarat akan kepentingan para pemilik modal.

Seharusnya pemerintah tidak boleh mengesahkan RUU Minerba ini, karena memang dalam pandangan Islam sumber daya alam termasuk Minerba adalah wajib dikuasai oleh negara untuk digunakan sepenuhnya demi kepentingan seluru rakyat. Tidak boleh serta merta atas nama kerjasama atau investasi diberikan kepada personal para Kapitalis.


Jika SDA banyak yang dikuasai para Kapitalis, lantas negara akan mendapatkan sumber dana segar darimana untuk mensejahterakan rakyatnya? Jangan sampai negara hanya mengandalkan pajak yang mencekik rakyat, dan membiarkan Kapitalis berhura-hura menikmati kekayaan SDA yang dimiliki negeri ini.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri segala tipu daya busuknya Kapitalisme liberal, sudah saatnya hijrah total menuju syariat secara totalitas. Karena hanya dengan syariah Islam, negara bisa menjadi berdikari dan tidak bisa disetir oleh kapitalis. Hanya Allah SWT melalui syariah Islam yang menjadi patokan. Tentunya hukum dari Yang Maha Adil ini akan menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Tunggu apalagi, saatnya hijrah kaffah menuju syariah Islam, demi merebut kembali segala SDA yang telah digarong oleh para kapitalis asing. Wallahu'alam.[]

Oleh Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice


Posting Komentar

0 Komentar