PANDEMI CORONA: Mungkinkah Menjadi Sarana Penyatuan Umat Menyongsong Kebangkitan Peradaban Islam?


Kejatuhan Peradaban Islam beberapa abad lalu dan kondisi umat Islam di seluruh belahan dunia yang begitu mengenaskan dan menghinakan menjadi inspirasi penulis untuk menyusun materi kuliah kali ini. Bukannya untuk meratap menangisi keadaan yang memang sudah menjadi ketentuan Allah, tetapi justru untuk memotivasi diri sendiri khususnya dan kaum Muslimin agar tumbuh ghiroh semangatnya, bergelora Ruh Jihad di dalam dadanya untuk menegakkan kembali peradaban yang begitu mulia.

Terjadinya pandemi wabah virus Corona atau disebut juga Covid-19 saat ini seharusnya bisa dijadikan momen untuk saling mengeratkan persatuan antara semua kelompok, golongan dan mazhab dalam umat Islam untuk bersama-sama menghadapi wabah penyakit yang bisa mengancam seluruh umat manusia di dunia, tentu termasuk umat Islam juga. Sebagaimana dinyatakan oleh Arnold Joseph Toynbee bahwa jatuh bangunnya peradaban itu ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengatasi tantangan-tantangan besar yang dihadapi, diantaranya adalah wabah penyakit.

Namun yang kita saksikan saat ini, bersamaan dengan merebaknya virus Corona bermunculaan pula perbedaan pandangan diantara umat Islam dalam menyikapi wabah tersebut. Perbedaan yang diinisiasi  oleh para Ulama dengan mengajukan pandangan sesuai keyakinan tafsir masing-masing ini selain memunculkan pengelompokan baru dari Ulama juga menimbulkan kebingungan umat mengenai pendapat mana yang sebaiknya diikuti.


A. Perbedaan Sikap Umat Islam Menghadapi Pandemi Wabah Virus Corona.

Tidak  bisa dipungkiri lagi bahwa dalam menghadapi pandemi wabah virus Corona, sikap umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok didasarkan pada pendapat Ulama yang menjadi panutannya. Hal ini sekaligus menunjukkan juga adanya perbedaan pendapat diantara para Ulama. Perbedaan tersebut terlihat nyata di dunia medsos, yaitu berwujud saling posting pendapat masing-masing dengan mengajukan dalil  masing-masing pula yang kemudian diamini dan dishare lagi oleh pengikutnya.

1. Perbedaan pendapat Ulama dalam menyikapi pandemi wabah virus Corona.

Ulama dalam menyikapi pandemi Corona ini terbagi menjadi 3 (tiga) golongan :

Pertama golongan Jabbariyah, yaitu yang menganggap bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah, sehingga meremehkan bahkan menafikan adanya ikhtiar yang bisa dilakukan oleh manusia. Demikian juga dengan adanya wabah virus Corona yang merupakan makhluk-Nya, siapapun tidak bisa menghindar dari takdir terkena virus meski dia tinggal di dalam rumah sekalipun. Oleh karena itu mereka memberikan fatwa (tidak resmi) untuk tetap melaksanakan sholat Jum’at, sholat berjama’ah di masjid maupun mengadakan pengajian atau istighosah, dan tidak menganjurkan untuk melakukan physical distancing.

Kedua golongan Qadariyah, yang lebih mengedepankan kemampuan akal dalam menyikapi setiap permasalahan, dengan cara melakukan ikhtiar sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan cenderung meremehkan peran usaha secara vertikal. Mereka memilih berdiam diri di dalam rumah dan sangat berdisiplin melaksanakan physical distancing, bahkan mengusulkan untuk dilakukan lockdown. Karena menurut mereka obat untuk melawan virus Corona belum ada, maka satu-satunya cara melawan adalah dengan memutus rantai penularan. Panutan mereka adalah para ilmuwan.

Ketiga golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang pendapatnya merupakan gabungan dari pendapat kedua golongan di atas. Golongan ini menyikapi permasalahan baik dari sisi takdir maupun ikhtiar yang dilakukan berdasarkan akal  pikiran. Mereka menyadari adanya takdir Allah yang meliputi manusia dan sudah tertulis jauh sebelum manusia tercipta, tetapi juga melakukan ikhtiar sesuai dengan yang dianjurkan oleh para ilmuwan. Dalam menyikapi wabah virus Corona, golongan ini terpecah dalam dua kelompok. Kelompok pertama tetap melakukan sholat Jum’at dan sholat berjama’ah di masjid tetapi dengan membuat perlakuan khusus seperti: jaga jarak, memakai masker, disemprot desinfektan dan yang lainnya. Kelompok kedua melakukan physical distancing dengan tetap  tinggal di rumah dan mengkonsumsi makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh, serta memperbanyak ibadah-ibadah sunnah seperti sholat dan puasa serta selalu berdo’a berharap agar Allah segera menghentikan wabah ini.

Keputusan resmi atau fatwa resmi dari Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana yang juga difatwakan oleh mayoritas Ulama dunia, menyatakan bahwa orang yang sehat dan berada di kawasan dengan potensi penularan rendah tetap wajib menjalankan ibadah seperti biasa dengan protokol sesuai ketentuan physical distancing. Sedangkan jika dia berada di kawasan dengan potensi penularan tinggi maka dilarang menyelenggarakan ibadah yang melibatkan orang banyak yang diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19.

2. Kebingungan umat dalam menyikapi perbedaan pendapat para Ulama.

a. Munculnya “ulama dadakan”.  

Perpecahan diantara para Ulama tersebut diperkeruh lagi oleh adanya _“ulama dadakan”_ yang bermunculan dengan berbagai pendapat yang saling berbeda dan tidak didasari oleh hujjah yang jelas sehingga semakin membuat kebingungan umat. Bagaimana mau memberikan hujjah kalau pemahaman agamanya saja diragukan...? Ada Bupati, Camat, Lurah yang tetiba menjadi juru dakwah, lalu Polisi, pengurus masjid, aktivis Islam, atau orang yang tidak jelas statusnya mendadak viral di  medsos berceramah bak seorang utadz ataupun da’i berpengalaman tetapi tidak disertai dengan dalil  agama yang kuat. 

Akibat yang ditimbulkan dari kemunculan “ulama dadakan” tersebut adalah adanya pertikaian dan selisih paham diantara sesama umat Islam. Perselisihan tersebut terlihat jelas di dunia medsos dengan masing-masing kelompok menshare postingan yang diunggah beserta saran-saran dalam menyikapi wabah virus Corona yang tentu saja saling bertentangan, terkadang dibumbui  dengan sikap saling mengejek dan menyalahkan kelompok lainnya. Ini biasanya terjadi  pada umat yang masih awam masalah ilmu agama tetapi merasa paling beriman, mengingatkan kita pada fenomena “Cebong Kampret” yang memalukan...

b. Adanya selisih paham diantara pengurus masjid.

Banyak masjid yang pengurusnya mempunyai pandangan berlainan antara satu dengan lainnya yang berdampak pada kebijaksanaan pelaksanaan pengelolaan masjid yaitu antara menutup masjid atau tetap mengadakan kegiatan peribadatan. Sebagian masjid menyelesaikan perbedaan ini dengan cara masjid tetap dibuka tetapi dengan dilakukan protokol pengamanan untuk mencegah penularan, sedangkan sebagian lagi beribadah di rumah.  Tetapi ada juga yang melakukan penutupan masjid.

Tentu saja hal tersebut sedikit banyak telah menimbulkan perpecahan, baik antara sesama pengurus masjid ataupun dengan umat pada umumnya. 

B. Perlawanan Terhadap Covid-19 Dijadikan Sebagai Motivasi Untuk Kebangkitan Peradaban Islam.

Ancaman persatuan terlihat nyata dengan adanya perbedaan pendapat para Ulama dalam menyikapi pandemi wabah Covid-19. Padahal penanggulangan bencana wabah itu sendiri sangatlah berat untuk dilakukan mengingat begitu massifnya tingkat penularan virus tersebut. Hanya dalam waktu sekitar 4 (empat) bulan saja sudah lebih dari 1.000.000 (satu juta) orang positif Covid-19 yang menimpa lebih dari 200 negara di dunia dengan angka kematian sebanyak lebih dari 83.000 orang. 

1. Covid-19 sebagai common enemy.

Begitu massifnya serangan wabah virus Corona terhadap kelangsungan hidup manusia di seluruh dunia tentunya sudah lebih dari cukup bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk menganggap Covid-19 sebagai common enemy (musuh bersama). Dengan begitu tidak cukup perlawanan ini hanya diandalkan pada satu atau beberapa negara saja ataupun diserahkan kepada masing-masing negara terdampak. Harus ada perlawanan bersama yang melibatkan semua negara di dunia.

Khusus bagi umat Islam, pandemi wabah virus Corona ini seharusnya bisa dijadikan momentum untuk menggalang persatuan demi tegaknya kembali Peradaban Islam. Sudah terbukti dari data sejarah bahwa Islam pada masa jayanya berhasil mengatasi berbagai tantangan alam diantaranya adalah wabah penyakit.  Beberapa kali umat Islam dilanda oleh wabah penyakit yang mematikan, tetapi semua wabah tersebut tidak mampu menjatuhkan pemerintahan Islam waktu itu meskipun banyak sekali korban yang berjatuhan. 

Dengan menganggap pandemi Covid-19 itu sebagai musuh bersama, maka diharapkan seluruh kelompok, golongan maupun mazhab Islam yang ada bersatu padu melupakan segala perbedaan paham dan kepentingan untuk menghimpun kekuatan bersama melawan wabah tersebut demi untuk  menegakkan kembali Peradaban Islam yang agung.

2. Covid-19 sebagai ujian keta’atan umat pada pemimpinnya.

Adanya perbedaan sikap umat Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat Ulama terkait dengan Covid-19 seperti yang disebutkan di atas sebenarnya mencerminkan ketidak ta’atan umat terhadap pemimpinnya. Sikap tidak ta’at inilah yang mengakibatkan perjuangan selalu kandas di tengah jalan, karena dengan sikap tidak  ta’at tersebut umat selalu akan mempertanyakan kepemimpinan umat, siapapun dia. Maka bisa jadi pandemi wabah virus Corona sekarang ini dijadikan Tuhan sebagai ujian bagi keta’atan umat Islam.

Ujian keta’atan ini ternyata sudah ada pada masa Nabi SAW. 

Pertama pada saat peristiwa pemindahan kiblat. Pada saat itu umat Islam merasa sangat berat menerima pemindahan Kiblat tersebut, setelah sekitar 14 tahun berkiblat ke Masjidil Aqsha. Sebagian umat Islam, terutama orang Yahudi berbalik arah menjadi murtad kembali kepada ajaran agamanya semula.
Kedua, di saat perang Uhud. Pasukan Muslim saat itu merasa sudah memenangkan pertempuran dan melihat di depan matanya rampasan perang telah memanggil-manggil mereka, termasuk sekitar 40 orang pemanah yang juga tergiur oleh harta yang tak bertuan tersebut. Sebagian pasukan pemanah yang ada di Jabal Rumah menyelisihi perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam agar tidak turun baik menang maupun kalah. Namun mereka malah turun sehingga Allah berikan kekalahan.
Ketiga, Perjanjian Hudaibiyah. Para sahabat saat itu tersinggung dan menolak perjanjian itu, karena selain isi materi, perjanjian tersebut juga dirasa tidak adil bagi umat Islam. Tetapi akhirnya terbukti bahwa perjanjian tersebut menjadi awal penaklukan kota Makkah.

Di sinilah keta’atan umat Islam diuji, seberapa besar keta’atannya apakah pada sang pemimpin, Nabi SAW. ataukah lebih kepada hawa nafsunya...

Oleh karena itu dalam menyikapi perbedaan pendapat para Ulama, sebaiknya umat Islam patuh kepada fatwa yang telah diumumkan oleh Majelis resmi dari para Ulama yang pasti telah melewati pengkajian yang mendalam dari para Ulama yang berkompeten dalam bidang keilmuan Islam. Dengan bersatu di bawah satu kepemimpinan, umat Islam bisa memfokuskan perhatian dan menggalang kekuatan bersama daripada harus membuang-buang waktu dan energi hanya untuk saling bertengkar demi mempertahankan pendapatnya masing-masing. Dengan begitu cita-cita untuk membangkitkan kembali Peradaban Islam bisa terwujud.

C. Strategi Umat Islam Memanfaatkan Momen Pandemi Corona Untuk Menyongsong Kebangkitan Peradaban Islam Sedunia

1. Perihal  jatuh bangunnya suatu peradaban.

Arnold Joseph Toynbee, seorang sejarawan Inggris melalui buku yang bertitel A Study of History yang diterbitkan pada tahun 1934, merumuskan sebuah teori kompleks mengenai kemunculan dan kejatuhan berbagai peradaban di dunia. Dia menyatakan bahwa: 

"A society develops into a civilization when it is confronted with a challenge which it successfully meets in such a way as to lead it on to further challenges. The challenge may be a difficult climate, a new land, or a military confrontation (even being conquered). The challenge must not be so difficult as to be insurmountable or even so difficult that the society does not have sufficient human resources and energy to take on new challenges."

Di sini Toynbee mengemukakan bahwa lahirnya suatu peradaban tidak terlepas dari adanya tantangan-tantangan tertentu yang dihadapi suatu masyarakat atau society – sebagai cikal bakal peradaban – dan respons masyarakat tersebut terhadap tantangan-tantangan itu. Tantangan yang dimaksud dapat berupa  cuaca ekstrim, penaklukan wilayah baru, konfrontasi militer dan sebagainya. Apabila masyarakat berhasil mengatasi tantangan tersebut, maka keberhasilan itu akan membawa masyarakat untuk berhadapan dengan tantangan baru lainnya. Dari keberhasilan dalam menghadapi tantangan itulah akan muncul suatu peradaban.

Wabah Covid-19 yang saat ini melanda dunia merupakan salah satu dari  tantangan yang dimaksud dalam teori di atas. Keberhasilan umat Islam dalam menghadapi wabah tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan Peradaban Islam untuk ditegakkan kembali.

2. Mengantisipasi segala kemungkinan.

Adanya pandemi wabah Covid-19 ini pasti akan membawa banyak kemungkinan adanya sebuah perubahan yang sangat mendasar, khususnya bagi negara yang kurang kuat daya tahannya. Faktor yang mempengaruhi daya tahan tersebut adalah kekuatan dalam segala bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Kebudayaan dan Pertahanan Keamanan atau disingkat IPOLEKSOSBUDHANKAM. Negara seperti ini pasti akan mengalami goncangan yang sangat hebat dan ada potensi untuk mengalami kejatuhan, atau paling tidak  akan terjadi chaos.

Banyak pihak yang punya kepentingan pasti telah memperhitungkan kemungkinan di atas, dan pasti telah membuat rencana-rencana dan persiapan untuk menghadapi peristiwa yang bisa terjadi. Baik itu Pengusaha, Politisi, Akademisi dan yang tidak pernah ketinggalan adalah para oportunis.

Oleh karena itu para Ulama juga harus jeli memperhatikan hal tersebut, bukannya malah saling berpecah diri. Peran Ulama sangat penting dalam hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi yang pasti berdampak pula terhadap segala sendi kehidupan umat Islam. Hal ini karena Ulama dipercaya sebagai sosok yang mempunyai kekuatan ilmu agama yang sangat dibutuhkan sebagai solusi berbagai persoalan kemanusiaan yang saat ini berada sangat jauh dari fitrah kemanusiaannya.

3. Munculnya Mujahid Islam sebagai agen utama tegaknya Peradaban Islam.

Bagaimana sebuah masyarakat bisa berhasil mengatasi tantangan yang dihadapi, dijawab oleh Toynbee dalam bukunya:

"The ideas and methods for meeting the challenges for a society come from a creative minority. The ideas and methods developed by the creative minority are copied by the majority. Thus there are two essential and separate steps in meeting a challenge: the generation of ideas and the imitation/adoption of those ideas by the majority. If either of those two processes ceases to function then the civilization breaks down".

Yaitu dengan menelorkan gagasan-gagasan dan metode dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut yang datangnya dari sekelompok kecil masyarakat yang disebut sebagai Creative Minority. Gagasan-gagasan dan metode yang dikembangkan oleh Creative Minority tersebut kemudian dijadikan contoh untuk diadopsi oleh masyarakat umum. Di sini ada dua langkah penting yang harus dilakukan dalam mengatasi suatu tantangan yaitu: terciptanya gagasan-gagasan oleh Creative Minority dan penerapan gagasan-gagasan tersebut oleh masyarakat luas. Salah satu saja dari kedua langkah tersebut berhenti, maka bisa mengakibatkan jatuhnya sebuah peradaban.

Konsep Creative Minority ini kemudian dimaknai sebagai kelompok kaum pemimpin, yang merupakan golongan kecil, namun karena superioritas jiwa dan rohnya serta kekuatan dan keteguhan keyakinannya, sanggup menunjukkan jalan dan membimbing massa yang pasif, kehilangan arah dan mengalami kebingungan. The Creative Minority ini adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki idealisme, jiwa kepemimpinan sejati, kemampuan, kemauan dan keberanian, untuk melawan arus pendapat dan perilaku umum yang kacau dan kehilangan nilai-nilai serta norma-norma hukum dan etika yang luhur. 

Umat Islam bisa mengadopsi teori di atas menjadi Islamic Creative Minority dengan para Mujahid Islam sebagai kelompok kecil pemimpin Islam yang mempunyai superioritas dengan memiliki 4 (empat) karakter hebat: Tangguh secara aqidah, Mencintai ilmu, Kuat ibadah dan Zuhud.

Ulama merupakan sosok yang sangat ideal sebagai salah satu Mujahid Islam karena diyakini telah memiliki keempat karakter hebat di atas, dan tinggal bermuhasabah melihat kekurangan apa pada dirinya serta mulai memperbaiki  kekurangan tersebut. 

Peran Mujahid Islam sangat dibutuhkan untuk membimbing umat yang pasif, kehilangan arah dan mengalami kebingungan dalam berhadapan dengan berbagai ideologi sesat buatan manusia yang semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Juga ketika berhadapan dengan ilmu pengetahuan yang berbasis sekulerisme yang melepaskan diri dari bimbingan agama, serta dari godaan fitnah dunia dengan berbagai kemewahan dan kenikmatan yang memanjakan nafsu syahwat dan selera rendah lainnya.

Mujahid Islam sungguh sangat diharapkan segera muncul memimpin umat Islam menggapai cita-cita luhur menegakkan Peradaban Islam yang agung untuk mengembalikan manusia kepada fitrah kemanusiaannya, mengembalikan ilmu pengetahuan agar selalu berada di bawah bimbingan syariat Islam yang bisa memuliakan manusia,  serta menciptakan masyarakat Islami dengan ketinggian moral dan kepatuhannya dalam beribadah kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.[]

Oleh Christiono
Dosol UNIOL 4.0 DIPONOROGO



Posting Komentar

0 Komentar