Dampak Kegagalan Sistem Kesehatan ala Kapitalisme terhadap Usaha Mengatasi Pandemi Corona



Penyebab utama maju mundurnya banyak negara melakukan lockdown total adalah karena mereka ketakutan ekonomi lumpuh dan berantakan. Kembali ke konsep kapitalisme bahwa mereka menganggap ‘time is money’, apalagi Adam Smith mengatakan prinsip kapitalisme adalah dengan modal yang sekecil-kecilnya dapat mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lumrah karena prinsip ini banyak para kapitalis menabrak segala aturan demi memenuhi birahinya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Solusi lockdown jelas membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena negara bertanggungjawab penuh menjaga hajat hidup seluruh rakyatnya ketika lockdown dilakukan. Terlepas dari lockdown yang membutuhkan biaya yang cukup besar, sebenarnya penyelenggaraan kesehatan juga membutuhkan biaya yang cukup mahal dan tinggi. Karena nyawa seseorang lebih berharga dari apapun. Maka wajib negara menjaga nyawa dan darah rakyatnya jangan sampai tertumpah.

Tapi dalam lanskap kapitalisme, kesehatan dikapitalisasi masuk dalam industri untuk dijadikan bahan komoditas jualan layanan kesehatan. Beban negara menjaga kesehatan warganya dalam mainset kapitalisme dikembalikan kepada rakyatnya, sehingga beban biaya yang mahal dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas diserahkan ke pasar. Bagi rakyat yang banyak uang tentunya mereka bisa membeli pelayanan kesehatan yang bagus dan mahal. Bagi rakyat jelata harus siap meregang nyawa karena tidak mampu membeli pelayanan kesehatan yang mahal dan berkualitas.

Sekalipun kapitalisme menawarkan solusi jaminan kesehatan negara terhadap rakyat, tapi rakyatlah yang harus membayar iuran berdasarkan kemampuannya. Ini adalah bukti bahwa dalam pelayanan kesehatan ala kapitalisme dibedakan berdasarkan kemampuan rakyat dalam membayar iuran. Salah satu bentuk kejam dan zalimnya sistem kesehatan kapitalisme. Nyawa seseorang tak ada harganya dibanding dengan uang.

Selain itu, kapitalisme menjadikan pengobatan, sarana dan prasarana dalam dunia kesehatan masuk ke dalam pasar industri Kapitalisme. Kejamnya di saat pandemi covid-19 terjadi para kapitalis sibuk menguasai APD dan mampu merekayasa barang menjadi langka dan harga APD menjadi berlipat-lipat. 

Begitu kejam bukan? Nakes sebagai pejuang di garda terdepan dalam melawan covid-19 harus kehilangan nyawanya karena minimnya APD dan asupan imun dalam menangani pasien yang terdampak covid-19. Begitu pula masyarakat yang seharusnya dibekali dengan APD wajib seperti masker dan sanitizer dalam membentengi diri dari covid-19 harus kesulitan mencari APD tersebut dan harganya pun juga fantastis jika mereka harus membelinya.

Gagalnya kapitalisme dalam menangani pandemi covid-19 dapat dikerucutkan sebagai berikut,

Pertama, karena mereka tidak punya sumber pendapatan negara yang besar untuk menyelenggarakan kesehatan. Contohnya sumber daya alam yang seharusnya mampu dijadika sumber pendapatan negara dalam bidang kesehatan telah dikapitalisasi alias diserahkan kepada para korporat atas nama kerjasama dan investasi.

Kedua, walhasil kapitalisme menyerahkan pembiayaan kesehatan kepada rakyat itu sendiri. Di saat yang sama kesehatan juga masuk dalam industri kapitalisme yang dijadikan lahan basah para kapitalis meraup keuntungan.

Keitga, karena konsep dasar kapitalisme adalah sekulerisme yaitu memisahkan antara agama dan kehidupan. Kapitalisme melakukan pendekatan yang keliru dalam menangani pandemi covid-19. Seolah mereka berusaha mengentaskan wabah ini tanpa berpikir bahwa ada kekuatan Yang Maha Besar menguasai alam dan seisinya. Tentunya segala musibah datang tidak tanpa alasan, pasti ada sebabnya.

Disana kapitalisme menafikan adanya Yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur Allah SWT sehingga mereka dengan angkuhnya memutar otak dan berusaha mencari solusi diluar dari yang telah Allah SWT wahyukan melalui Rasul dan kitab-Nya.

Dalam Islam datangnya musibah hanya karena dua alasan, pertama karena ujian bagi kaum atau negeri yang beriman dan taat. Tapi bagi kaum dan negeri yang maksiyat, zalim, dan munkar mengabaikan segala syariat-Nya. Musibah datang sebagai teguran. Supaya umat manusia berbondong-bondong taubat dan kembali kepada pangkuan syariat-Nya. Hal ini jelas tidak diambil dalam kacamata kapitalisme dalam mengani pandemi dan mengatasi penyakit yang mewabah.

“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” QS. An-Nisa;: 79

“Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” HR. Bukhori, (5641) dan Muslim, (2573).

Berkaca pada zaman Khalifah Umar Bin Khattab sebagai pemimpin negara saat Madinah ditimpa musibah gempa beliau mengatakan,

Ketika Madinah terguncang gempa, Khalifah Umar bin Khattab mengetukkan tongkatnya ke Bumi dan berkata, ''Wahai Bumi adakah aku berbuat tidak adil?'' lalu Umar berkata lantang, ''Wahai penduduk Madinah, adakah kalian berbuat maksiat? Tinggalkan perbuatan itu, atau aku akan meninggalkan kalian!'' (Ibnu Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari. IX/244).

Begitulah sedikit contoh pemimpin negara yang senantiasa ingat dan taat pada Al Khaliq, sedihnya belum ada pemimpin negara yang mampu meneladani ajaran Nabi Saw secara kaffah, mereka masih terbelenggu oleh sistem kapitalisme global yang dimotori oleh Amerika dan sekutunya. Semoga kapitalisme segara berakhir dan bisa hijrah kaffah menuju Syariah.[]

Oleh Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice

Posting Komentar

0 Komentar