Corona dalam Lingkaran OLIGARKI dan DEMOKRASI


Dalam sistem demokrasi secara hakiki tidak mungkin bisa menghindari apa yang disebut dengan oligarki. Apa itu oligarki? Oligarki berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata Oligon yaitu sedikit dan arkho yang berarti memerintah. Dan defenisi lain yaitu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. 

Proses oligarki dapat terjadi dalam sistem demokrasi. Karena memang sistem ini membuka kesempatan terjadi oligarki begitu besar, baik secara konsep (teori) maupun praktik. Bagaimana olgikargi dapat terjadi? 

Pertama, secara konsep dan historis, kemunculan demokrasi pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran yaitu sekulerisme, liberalisme, dan kapitalisme. Pemikiran-pemikiran tersebut muncul untuk melawan pemikiran lain yaitu pemikiran monarki absolut (otokrasi) dan teokrasi. Berikutnya terjadilah perdebatan antara konsep “kedaulatan tuhan” dari para raja dan pihak gereja berhadapan dengan konsep “kedaulatan rakyat” yang diwakili para filosof dan kaum borjuis. (Matla, 2009)

“Kedaulatan tuhan” bersamaan dengan konsep raja sebagai manusia terpilih adalah perkara yang tidak bisa diganggu gugat selama ratusan tahun. Titah raja adalah titah Tuhan. Sebaliknya kedaulatan rakyat dengan ide sekulerisme sendiri menyatakan rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Adapun liberalisme menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat berdasarkan kehendak rakyat. Sedangkan pada konsep kapitalisme menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi oleh kerajaan namun diserahkan kepada mekanisme pasar bebas.

Demokrasi muncul berasaskan pada teori “kedaulatan rakyat” sebagai lawan dari “kedaulatan Tuhan” dan konsep manusia terpilih. Demokrasi juga menegaskan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Tidak ada ketentuan Tuhan yang mengatur rakyat dalam kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu sendirilah yang harus diakui sebagai pencerminan “suara tuhan”.

Kedua, secara fakta, apabila kita melihat fakta “kedaulatan rakyat” maka rakyat lah yang paling kuat. Rakyat sendiri yang berhak menentukan, apa dan bagaimana mereka mengatur dan membuat aturan. Namun siapa rakyat yang paling kuat tersebut? tentu saja kaum borjuis yaitu para kaum kapitalis dan para pemilik modal. 

Karena, kaum kapitalis menguasai ekonomi dengan modal yang dimilikinya. Dan rakyat yang tidak kuat berada dalam kekuasaan kaum borjuis ini. Sementara ekonomi merupakan faktor kekuatan suatu negara. Dengan ekonomi, suatu negara akan menguasai teknologi dan berubah menjadi kekuatan militer. Berarti “Kedaulatan rakyat” berarti kedaulatan para pemilik modal (korporatokrasi).

Akhirnya, demokrasi bukan lagi pada kedaulatan rakyat secara umum. Namun telah berubah menjadi kedaulatan pemilik modal, atau kedaulatan para kapitalis. Berarti telah terjadi perubahan dari konsep teokrasi dan otokrasi menjadi korporatokrasi. Dan korporatokrasi ini sejatinya adalah oligarki dalam kekuasaan, karena di tangan mereka lah kedaulatan rakyat akan dikendalikan.

Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) menyatakan demokrasi adalah “from people, by the people, and for the people”. Namun pada tahun 1876 sebelas tahun setelah Lincoln meninggal, Presiden Rutherford B.Hayes menyatakan “from company, by company and for company”. Kita juga bisa lihat bagaimana perusahaan VOC mampu berkuasa ratusan tahun di Indonesia. Termasuk hari ini VOC-VOC baru menguasai ekonomi Indonesia. Terlebih lagi dalam kondisi merebaknya wabah pandemi.

Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia (14/04) bahwa kebijakan pemerintah yang memangkas tunjangan guru sebesar 3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 adalah salah satu kebijakan yang mementingkan para pemilik kepentingan. 

Padahal masih ada pos-pos anggaran yang layak dipotong, misalnya anggaran infrastruktur fisik, anggaran belanja perjalanan dinas, anggaran bimbingan teknis, serta anggaran rapat di jajaran pemerintah. Terlebih lagi program-program yang belum jelas diantaranya kartu pra-kerja yang disinyalir akan mendapatkan keuntungan bagi para pengusaha dengan program 56 triliun. (tribunnews.com, 14/04).

Kebijakan lainnya yang dianggap tidak efektif adalah menjadikan dana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) agar dapat digunakan dalam penanganan wabah. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tertulis bahwa dana abadi pendidkan bisa dijadikan sumber anggaran untuk penanganan Covid-19. (kabar24.bisnis.com, 15/04). 

Termasuk wacana menggunakan dana haji untuk penanganan virus corona muncul dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama. (cnnindonesia.com, 13/04), padahal di sisi lain banyak dana-dana yang layak dipangkas, namun karena dikhawatirkan merugikan para pemilik modal maka kebijakan tersebut tidak diambil.

Walaupun akhirnya pemerintah tidak dapat juga menahan dampak wabah dan berencana menunda beberapa pekerjaan proyek infrastruktur. Sebagaimana dilansir dari money.kompas.com (22/04) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang akhirnya harus menunda pengerjaan sejumlah proyek infrastruktur tahun 2020, namun seakan terlambat karena wabah sudah terlanjur semakin meluas. 

Namun di sisi lain, anggaran untuk proyek prioritas seperti Kawasan Pariwisata Strategis Nasional, PON XX dan Asrama di Papua, dan World Cup U-20 tahun 2021, serta padat karya tunai tidak dipangkas nasional.kontan.co.id (21/04). Padahal pembangunan infrastruktur di masa-masa seperti ini tidak efektif, karena di sisi lain daya beli masyarakat yang mengalami penurunan.

Situasi dan keadaan oligarki dalam demokrasi dapat juga kita lihat pernyataan David Fromkin, salah seorang profesor dan ahli dalam sejarah ekonomi di University of Chicago. Beliau menyatakan :

“....With centuries of mercantilist experience, Britain and France created small, unstable states whose rulers needed their support to stay in power. The development and trade of these states were controlled and they were meant never again to be a threat to the West. These external powers then made contracts with their puppets to buy Arab resources cheaply, making the feudal elite enormously wealthy while leaving most citizens in poverty”
(Fromkin, David, A Peace to End All Peace : Creating The Modern Middle East, 1989)

Pernyataan tersebut telah menunjukkan bahwa berabad-abad pengalaman merkantilis, Inggris dan Perancis telah menciptakan negara-negara kecil dan tidak stabil yang para penguasanya dikendalikan agar tidak pernah lagi menjadi ancaman bagi Barat. Kekuatan-kekuatan eksternal itu lalu membuat kontrak dengan para bonekanya untuk dapat membeli berbagai sumber daya alam Arab dengan murah, membuat elit feodal sangat kaya dengan meninggalkan sebagian besar warga dalam kemiskinan. 

Hal ini berarti bahwa elit feodal atau kaum borjuis yaitu para kapitalis sendiri akan dibentuk bersamaan dengan penguasa yang dikendalikan. Inilah oligarki. Dan oligarki ini tidak melihat situasi pandemi wabah, yang ada adalah meraih keuntungan dalam setiap kesempatan. Wallahu’alam.[]

Oleh : W. Irvandi

Posting Komentar

0 Komentar