PEMIMPIN QURANI


HAKIKAT kepemimpinan tercermin dalam sabda Rasulullah saw. berikut, “Sayyid al-qawm khâdimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).”(HR Abu Nu‘aim).

Sejak Rasulullah saw. diutus, tidak ada masyarakat yang mampu melahirkan para pemimpin yang amanah dan adil kecuali dalam masyarakat yang menerapkan sistem Islam. 

Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum Muslim. Mereka adalah para negarawan ulung. Sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya.  Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur.

Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut.  Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka. Meskipun pendapatnya sempat disanggah oleh Umar bin al-Khaththab, beliau tetap bergeming dengan pendapatnya. Stabilitas dan kewibawaan Negara Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang.

Khalifah Umar bin al-Khaththab sendiri terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (Lihat: Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).



Dalam sejarah Islam yang panjang, para khalifah—utamanya Khulafaur Rasyidin—adalah para ulama. Umumnya para khalifah pada masa lalu bukan hanya imam (pemimpin) dalam urusan kenegaraan, tetapi sekaligus juga imam dalam urusan keagamaan. 

Pada masa Khulafaur Rasyidin, misalnya, imam shalat jumat atau shalat id adalah khalifah. Demikian pula dalam shalat-shalat fardhu. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw., “Ya'ummu al-qawma aqra'uhum li kitabilLah (Imam suatu kaum adalah yang paling banyak membaca/menguasai Kitabullah [al-Quran]).” (HR Malik).

Terkait hadis ini, para ulama bersepakat, bahwa imam (kepemimpinan) shalat suatu kaum harus dipegang oleh orang yang paling banyak membaca, memahami dan menghapal al-Quran; atau yang paling faqih di antara mereka (Lihat: Al-Muntaqa’ Syarh al-Muwaththa’' I/424).

Dengan demikian pemimpin negara, termasuk para pejabat negara di bawahnya, idealnya adalah para ulama. Merekalah orang-orang yang paling banyak membaca, memahami dan menguasai al-Quran. Merekalah orang-orang yang paling faqih dalam ilmu-ilmu agama. Merekalah yang diharapkan bisa mengurus negara dan umat berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Dengan kata lain, yang mesti menjadi pemimpin umat sejatinya adalah penguasa yang ulama.

Terkait itu, ada sebuah riwayat dari penuturan Abu Thufail, dari az-Zuhri. Disebutkan bahwa Nafi bin al-Harits pernah mendatangi Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Nafi adalah penguasa wilayah Makkah yang diangkat oleh Khalifah Umar ra. Khalifah Umar ra. bertanya kepada Nafi’, “Siapa pemimpin di daerah Al-Wadi?” Jawab Nafi’, “Ibnu Abza.” Khalifah Umar bertanya lagi, “Siapa Ibn Abza?” Jawab Nafi’ lagi, “Dia adalah seorang qari dan seorang alim dalam bidang fara’idh.” (HR Muslim).

Orang yang juga pernah menjadi penguasa wilayah Makkah adalah Muhammad bin Abdurrahman. Dia menjadi wali Makkah selama 20 tahun. Dia juga adalah seorang alim. Tentang kehebatan ulama yang satu ini, Al-Harbi mengisahkan, “Jika lawan debatnya sudah ada di dekatnya, lawan debat itu pun gemetar…” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. XIX).

Sayangnya, di tengah-tengah kehidupan yang diatur dengan aturan-aturan sekular dan bukan aturan-aturan Islam, pertimbangan orang memilih dan dipilih sebagai pemimpin (baik kepala negara/kepala daerah ataupun para wakil rakyat) bukanlah didasarkan pada tolok ukur Islam atau berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Mereka yang terpilih hanyalah yang paling populer di tengah-tengah masyarakat. 

Ironisnya, popularitas mereka sebagian ka

rena keartisan mereka atau ketokohan mereka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tingkat ketakwaan ataupun keilmuan Islam. Bahkan sebagian besar dari mereka populer dan mempopulerkan diri hanya karena selembar spanduk atau baliho yang kebetulan dipasang di ratusan bahkan ribuan tempat. Umat sendiri hanya mengenal nama dan gambar/fotonya. Tak pernah tahu visi-misinya, penguasaannya atas ilmu-ilmu Islam, apalagi kesalihan dan ketakwaannya. 

Akibatnya, wajar saja jika dalam sistem demokrasi sekular yang jauh dari Islam ini, lahir para pemimpin dan wakil rakyat yang juga jauh dari Islam. Bahkan sering berlawanan dengan Islam.

Alhasil, saatnya kita menyadari, bahwa sistem demokrasi selamanya hanya akan melahirkan para pemimpin hipokrit. Hanya baik dalam pencitraan, tetapi buruk dalam kenyataan. Apalagi jika diukur dengan standar al-Quran.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh!.[]

Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had An-Nahdhah al-Islamiyah)


 


Posting Komentar

0 Komentar