TINDAK PIDANA DUGAAN PENCEMARAN NAMA BAIK ATAU MENGHINA TOKOH DAN/ATAU PENGUASA MELALUI SARANA ITE


[Catatan Hukum Atas Penanganan Perkara ITE dan/atau Delik pidana yang peredarannya melalui sarana ITE]

Akhir-akhir ini marak proses hukum kepada rakyat karena dianggap mencemarkan atau menghina tokoh bangsa dan/atau Penguasa melalui sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Yang paling mutakhir adalah apa yang dialami oleh Zikria, netizen yang dianggap menghina Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.

Zikria ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) UU RI nomor 19 tahun 2016. Selain dijerat pasal pidana ITE, Zikria juga dikenakan Pasal 310 KUHP ayat (1) dan (2) tentang pencemaran nama baik. 

Sebagai praktisi hukum, penulis merasa miris dengan proses penyidikan perkara ini. Pasal 27 ayat (3) UU ITE (UU No.19 tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008), dan pasal 310 KUHP terkategori delik aduan. Sifat delik aduan baru bisa di proses perkaranya jika ada pelaporan (pengaduan) dari pribadi atau pihak yang merasa dihina, difitnah atau dicemarkan.

Dalam kasus ini, Tri Rismaharini tidak membuat laporan langsung sebagai pribadi yang dicemarkan. Perkara ini diproses oleh Penyidik Polres Surabaya karena ada aduan Pemkot Surabaya melalui kepala bagian hukumnya.

Ira Tursilowati, dalam jabatan selaku Kabag Hukum Pemkot Surabaya yang mewakili Risma. Meski mendapat kuasa dari Risma, namun kedudukan Kepala Bagian Hukum tidak bisa mewakili pribadi Risma, tetapi representasi institusi Pemerintah Kota Surabaya. Dengan demikian, patut  diduga ada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam kasus ini.

Selain Kasus ini, di Polda Jawa Barat pada tanggal 5 Februari 2020, di sosial media (Facebook) juga beredar laporan polisi No. LPB/125/II/2020/JABAR, atas adanya dugaan pencemaran nama baik dua tokoh bangsa, yang dibuat oleh Faizal Sukma. Laporan ini juga bukan dilakukan langsung oleh pihak yang merasa dicemar, Faisal Sukma selaku pelapor juga tidak mendapat kuasa dari dua tokoh bangsa yang dianggapnya telah dicemarkan nama baiknya. 

Jika proses penyelidikan ini berlanjut, secara hukum kasus di Polda Jabar ini pelapornya tak memiliki legal standing. Karena bukan pihak yang merasa dicemarkan dan tidak pula mendapat surat kuasa dari pihak yang merasa dicemarkan.

Secara politik, kasus ini jika diteruskan hanya akan menimbulkan kegaduhan. Sebab, sebagai pejabat publik atau tokoh bangsa, sudah wajar mendapat kritik dan koreksi dari publik. 

Sejak awal, tokoh atau pejabat publik wajib menginsafi bahwa dirinya menjadi sorotan publik. Sudah wajar, jika perilaku dan tindakannya mendapat kritik dan sorotan publik.

Apa jadinya bangsa ini, jika para pemimpin dan tokohnya tak memiliki kearifan publik ? Mudah tersinggung, dan membuat laporan yang memenjara rakyatnya ? 

Apa jadinya masa depan hukum di negeri ini, jika delik aduan yang semestinya hanya bisa diproses jika ada laporan langsung dari pihak yang tercemar, baik menggunakan pasal 27 ayat (3) UU ITE atau pasal 310 KUHP, diproses hanya berdasarkan aduan orang-orang yang tak memiliki legal standing ?

Padahal, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, menjelaskan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.

Pasal 310 dan pasal 311 KUHP terkategori sebagai delik aduan, yakni delik yang hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban. Maka dari itu, polisi tidak dapat berinisiatif untuk menindaklanjuti suatu kasus seperti dalam delik biasa, dan dalam delik aduan korban dapat mencabut laporannya jika permasalahan berhasil diselesaikan tanpa menempuh jalur hukum.

Bahwa Delik aduan ini terkategori absolut (mutlak), ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310, dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, tanpa adanya pengaduan maka ketentuan pasal Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak dapat diproses secara hukum.

Jadi akan menjadi sumir dan merusak tatanan hukum, jika delik pasal 27 ayat (3) UU ITE dan/atau pasal 310 KUHP dipaksa diterapkan tanpa aduan dari pihak yang merasa dicemarkan. Terlebih lagi, sebagai tokoh bangsa, pejabat publik atau pemimpin, tak layak dan tak bijak menyikapi kritik rakyatnya dengan membuat laporan polisi. Ini sama saja, pemimpin atau tokoh bangsa sengaja memenjarakan rakyatnya. Lantas, jika rakyat dipenjara karena mengkritik tokoh atau pemimpin, apa hebatnya tokoh dan pemimpin seperti ini ? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin SH
(Ketua LBH Pelita Umat)

Posting Komentar

0 Komentar