SAHABATMU ADALAH CERMIN DIRIMU


Seseorang itu bergantung kepada agama sahabatnya, maka perhatikanlah salah seorang dari kamu kepada siapa dia bersahabat (HR Abu Daud). 

Dasar dari sebuah persahabatan adalah psikososial yang secara naluriah telah ada dalam setiap diri manusia. Relasi sosial antara manusia yang terefleksi dalam interaksi sosial adalah sebuah fakta dan keniscayaan. Manusia tidak mungkin bisa hidup sendirian. 

Ibarat binatang yang mencari komunitas dan lingkungan yang membuat dirinya bisa nyaman dan bertahan hidup juga merupakan refleksi dari gharizah atau naluri. Binatang akan cenderung berkumpul dengan binatang sejenis, bukan dengan binatang lain jenis, kecuali dalam kondisi tertentu atau sengaja dikondisikan. Sebab hal ini sifatnya naluriah. 

Seorang laki-laki yang mencari pasangan wanita yang hendak dinikahi, maka akan melakukan pengkondisian psikologi dengan mencari kecocokan batin dan pikiran. Maka terjadilan proses ta’aruf yang intinya mencoba menyamakan visi, pikiran, dan perasaan. Jika tak mendapatkan kecocokan, maka biasanya mereka akan memutuskan untuk tidak jadi menikah. 

Tidak jarang pula setelah menikah justru berujung perceraian, disebabkan ketidakcocokan antara keduanya. Bisa juga dipicu dari faktor luar yang dianggap bisa mengganggu stabilitas komitmen diawal pernikahan. Maka jika seorang suami atau istri berkhianat kepada pasangannya yang sebelumnya telah berjanji, maka bisa berujung kepada perceraian. 

Maka bisa disimpulkan sementara bahwa wajar jika pelacur akan berteman dengan pelacur, pencuri akan berteman dengan pencuri, penjudi akan bersahabat dengan penjudi, pembohong akan bersahabat dengan pembohong, pengkhianat akan bersahabat dengan pengkhianat, pejuang akan bersahabat dengan pejuang, pecundang akan bersahabat dengan pecundang, pecinta olah raga akan bersahabat dengan pecinta olah raga juga, dan seterusnya. 

Maka tidak heran jika ada preman bersahabat dengan preman, penghafal Qur’an bersahabat dengan penghafal Qur’an, pecinta ilmu bersahabat dengan pecinta ilmu, pecandu narkoba akan bersahabat dengan pecandu narkoba, pemabok temannya pemabok juga, copet bergerombol dengan copet juga, bahkan orang gila juga akan mencari temannya yang sama-sama gila, lihatlah di rumah sakit jiwa. 

Hadist diatas lebih jauh lagi mengkaji relasi manusia, bahkan dihubungkan dengan orientasi teologis. Maknanya bahwa seseorang akan cenderung memilih sahabat hidupnya karena kesamaan agamanya. Lebih luas bisa dikembangkan bahwa manusia akan bersahabat karena faktor kesamaan ideologi dan orientasi hidupnya. 

Maka seorang muslim adalah wajar jika bersahabat dengan muslim, orang kafir juga wajar akan bersahabat dengan sesama kafir, begitupun orang munafik akan nyaman bersama dengan orang munafik juga. Begitupun orang liberal akan bersahabat dengan orang liberal, orang nasionalis akan bersahabat dengan nasionalis, pembenci Islam juga akan nyaman bersama dengan pembenci Islam, dan seterusnya. 

Lihatlah dalam sejarah, sejahat-jahatnya fir’aun tetap akan ada pengikutnya yang menjadi sahabat dan pendukungnya. Lihatlah kesombongan namrud, toh tetap ada orang yang rela menjadi pendukungnya. Lihatlah abu lahab dan abu jahal, toh banyak yang rela menjadi mitranya. Bahkan Abdullah bin Ubay yang munafik, ada 300 orang yang mau diajak dia untuk pulang ke Madinah dan tidak ikut perintah Rasul dalam perang Uhud. Begitulah, setiap orang bergantung kepada siapa sahabatnya. Sahabat adalah cermin diri sendiri. 

Sejahat-jahatnya pemimpin suatu negara, tetap akan ada manusia yang rela menjadi sahabat dan pendukung kejahatannya. Pemimpin zolim dimanapun juga akan ada manusia yang rela menjadi pengikutnya dari manusia-manusia zolim. Begitupun para sahabat Rasulullah yang rela jiwa raga mendampingi perjuangan Rasulullah hingga ajal tiba. Para sahabat Rasulullah adalah orang-orang mulia karena bersahabat dengan Rasulullah yang mulia pula. Siapa sahabat kita, itulah cermin diri kita. 

Maka jika seseorang berjiwa muslim akan terus mencari sahabatnya yang muslim dan akan mencari rujukan tokoh-tokoh muslim sebagai timbangan pemikiran, selain tentu sumber-sumber hukum Islam. Orang liberal juga akan mencari orang liberal untuk dijadikan sahabat dan akan mencari tokoh-tokoh liberal untuk dijadikan sumber pemikirannya. 

Orang-orang jahat akan memilih pemimpin yang jahat, orang bodoh akan memilih pemimpin yang bodoh pula dan orang jahiliyah akan memilih pemimpin dari kaum jahiliyah juga. Itulah mengapa dahulu Rasulullah ditolak oleh kaum jahiliyah, dan para Rasul lain pun ditolak oleh orang-orang yang menentang Tuhan dan agama Islam yang dibawa para Rasul. Allah menegaskan bahwa para Nabi dan Rasul memiliki musuh-musuh. 

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami semua adalah muslim [hanya tunduk patuh kepada-Nya]" [QS Al Baqarah : 136] 

Begitulah, bagi setiap Nabi, telah kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong (QS Al Furqon : 31) 

Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain dengan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) (QS Al An’am : 112). 

Untuk itu sebagai seorang muslim, marilah kita renungkan ulang siapa yang kita jadikan sahabat dalam hidup kita. Sebab sahabat adalah mewakili jiwa dan pikiran kita, mewakili visi dan perasaan kita. Renungkan secara mendalam, jangan-jangan sahabat yang selama ini kita miliki adalah cermin dari keburukan diri kita. Jika iya demikian, marilah kita bertobat dan menjadi muslim sejati dan bersahabat dengan muslim sejati pula. 

Islam telah mengajarkan siapa saja manusia yang layak kita jadikan sebagai sahabat. Beberapa hadist berikut memberikan gambaran tentang sahabat dalam pandangan Islam. 

Sahabat yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambah ilmu agama, melihat gerak geriknya teringat mati. Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap temannya dan sebaik-baik tetangga adalah orang yang baik terhadap tetangganya (HR Hakim) 

Di sekitar ‘Arsy Nya ada Menara-menara dari cahaya, di dalamnya ada orang-orang yang berpakaian dari cahaya, wajah-wajah merekapun bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada, hingga para Nabi dan syuhada pun iri kepada mereka. Ketika para sahabat bertanya, Rasulullah menjawab, mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bersahabat karena Allah dan saling berkunjung karena Allah (HR Tirmidzi) 

Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik dari kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh, maka peganglah erat-erat (Quutul Qulub 2/17). 

Sahabat yang baik adalah yang selalu berusaha meluruskan saat kita tersesat, bukan yang selalu membenarkan kita. Sahabat yang baik adalah selalu mendoakan sahabatnya tanpa diketahui. Sahabat yang baik adalah yang selalu berkumpul dengan orang baik. 

Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai (HR Bukhori, no. 6170, Muslim no. 2640). Perbanyaklah teman mukmin, karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat (Ma’alimut Tanzil 4/268). Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, merendahkannya, menyerahkan kepada musuh dan tidak menghinakannya (HR Muslim). 

Sahabat dalam pandangan Islam ternyata tidak hanya sebatas di dunia, namun hingga sampai akherat. Sahabat dengan demikian bisa membawa kita kepada surga atau neraka. Maka, berhati-hatilah memilih sahabat, sebab sahabat adalah cermin diri kita, maka teruslah perbaiki diri agar kelak bisa jadi sahabat Rasulullah di surga.[]

Oleh Ahmad Sastra

Posting Komentar

0 Komentar