Meninggalkan Keraguan

Meninggalkan Keraguan

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ .

[رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح]

Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib –cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesayangannya. Dia berkata:  ‘Aku telah hafal sebuah hadits dari Rasulullah yang berbunyi, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi berkata: Hadits Hasan Shahih)

Penjelasan:

Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali –cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- semoga Allah meridhainya dan meridhai kedua orang tuanya. Beliau adalah anak putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah yang terbaik dari dua Husein (Hasan dan Husein) karena Nabi telah memujinya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Cucuku ini adalah sayyid (pemimpin) dan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin.”

Melalui beliau ini, Allah mendamaikan dua kelompok yang saling bertikai ketika beliau menyerahkan kursi kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Maka dengan apa yang beliau lakukan ini, beliau memperoleh gelar sayyid (pemimpin).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.”

Hadits ini serupa dengan hadits yang terdahulu yang berbunyi,

وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ،

“Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya.”

Hadits ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim ketika melakukan suatu perkara, hendaknya dia melakukan perkara yang ia yakini serta mengatakan sesuatu yang juga telah ia yakini. Adapun terhadap perkara yang ia ragu dengannya maka hendaknya ditinggalkan. Jadi hendaknya kita berjalan di muka bumi ini dan menjalankan syariat ini di atas bashirah (keterangan yang jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya). 

Namun terhadap hal-hal yang masih diragukan apakah perkara tersebut disyariatkan atau tidak, maka hukum asalnya adalah ditinggalkan dan inilah yang disebut Al-Wara’, inilah yang dikatakan oleh ulama sebagai sikap kehati-hatian, dan sikap kehati-hatian ini sebagaian ulama mengatakan hukumnya sunnah (mustahab), dan sebagian yang lain mengatakan hukumnya wajib yakni hal yang harus dikerjakan oleh setiap muslim untuk menjaga dirinya, karena dikhawatirkan orang akan terjatuh kepada apa yang Allah larang tanpa dia sadari.

Kalau kita perhatikan syi’ar dari para Salaf Ash-Sholih, sejarah-sejarah dari ulama kita, maka kita akan dapatkan kehidupan mereka penuh dengan sikap wara’ ini, dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja pemimpin dan sayyid (penghulu) dalam masalah ini, di mana Beliau dalam beberapa riwayat dikatakan kadang menemukan kurma di jalan dan beliau meninggalkannya karena khawatir kalau kurma tersebut adalah barang sedeqah, walaupun kita yakin bahwa kalau kita menemukan barang di jalan atau di tempat-tempat umum yang merupakan barang yang kecil atau tidak terlalu bermanfaat (dalam artian pemiliknya tidak mempersoalkanya), maka tidak mengapa mengambilnya, namun Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya karena khawatir barang sedeqah, dan Rosulullah dan ahlu bait diharamkan untuk mengambil barang sedeqah.

Dan shahabat-shahabat yang lain juga demikian, diantaranya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memakan sebuah makanan yang dibawa oleh budaknya dan ketika sudah makan, budaknya memberitahukan bahwa makanan itu didapatkan dari seorang yang telah diobatinya ketika ia masih jahiliyah, ketika itu ia berlagak seperti dukun walaupun ia tidak mengerti tentang perdukunan dan ketika orang itu sembuh ia diberi upah, dan upah itulah yang digunakan untuk membeli makanan yang telah dimakan oleh Beliau, setelah mendengar hal tersebut beliau langsung mengorek tenggorokannya dan memuntahkan makanan yang telah dimakannya yang menunjukkan sikap wara’ (kehati-hatian) beliau terhadap hal yang syubhat (kisah ini disebutkan dalam hadits Bukhori).

Kisah lain juga disebutkan dalam hadits Bukhori, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu ketika membagi-bagikan harta kepada Muhajirin dengan uang 4000 setiap orang, kecuali anaknya –Abdullah bin Umar- hanya diberikan 3500, lalu orang-orang pun berkata bahwa Ibnu Umar juga ikut hijrah bersama mereka, namun Umar menjawab bahwa Ibnu Umar berhijrah hanya ikut bapaknya saja, jadi beliau mengurangi bagian untuk anaknya, dan ini menunjukkan kehati-hatian beliau untuk tidak mengambil harta yang tidak halal, terutama beliau ingin membersihkan keluarganya dari barang-barang yang sifatnya syubhat.

Di antara faedah dari hadits ini adalah:

1. Apa yang telah ditunjukkan oleh lafazh hadits ini, yaitu hendaknya setiap orang meninggalkan perkara yang terkandung padanya keraguan kepada apa yang tidak mengandung keraguan.

2. Setiap orang diperintahkan untuk menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan stress / kecemasan.

Meninggalkan sesuatu yang ragu, itu merupakan sesuatu yang disebut wara' dalam beragama.
Wara’ adalah sikap yang terpuji dan setiap kita berusaha untuk bisa memilikinya, namun hendaknya kita lakukan dulu hal-hal yang sudah jelas hukumnya. Jadi wara’ adalah sikap kehati-hatian, maka jika ada hukum yang sudah jelas maka yang sudah jelas hukumnya inilah yang wajib untuk segera kita lakukan, dan yang jelas sunnahnya kita lakukan, yang jelas keharamannya kita jauhi sejauh-jauhnya, dan yang  makruh juga kita tinggalkan, dan setelah itu barulah kita masuk ke yang lebih tinggi derajatnya yaitu dengan meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak apa-apa untuk dilakukan untuk bersikap hati-hati /wara’.

Jadi wara’ adalah martabat yang sangat tinggi yang memang setiap kita berusaha untuk mencapainya, namun sebelumnya hendaknya kita iltizam atau komitmen dulu dengan hukum-hukum yang sudah jelas dalam syariat ini. Sebagaimana para imam-imam dari Salaful Ummah dimana mereka melaksanakan syariat ini dengan baik lalu mereka bersikap hati-hati terhadap hal yang masih syubhat. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :  “Tidak ada yang lebih mudah dari wara’ jika kamu ragu terhadap sesuatu maka tinggalkanlah”. Imam Ath Thufi rahimahulloh mengomentari pernyataan  tadi mengatakan : “Hal tersebut mudah bagi yang Allah Azza wa Jalla mudahkan baginya dan bagi kebanyakan manusia hal tersebut lebih sulit dari memindahkan gunung-gunung”.

Setiap manusia pasti memiliki sinyal yang mencegah perbuatan maksiat. Nurani bicara, hatinya tidak tertutup sehingga ragu untuk melakukan perbuatan maksiat. Allohlah yang memberikan petunjuk adanya sinyal itu. 

Wallohu a'lam bishowab.[]

Ditulis kembali oleh Suteki Abdullah*
(Digabung dengan artikel lainnya)

*Kajian Subuh Masjid At Taufiq Srondol Wetan Banyumanik Semarang bersama Ust. Jakfar Shodiq Musawwa. Ngaji Kitab Arba'in Nawawi. Senin, 17 Pebruari 2020.

Posting Komentar

0 Komentar