DEMOKRASI: Sistem Pemerintahan yang Baik atau Burukkah di Tengah Upaya Umat Menerapkan Syariat Islam Secara Kaffah?

Tahukah anda bahwa saat ini kita tengah menikmati demokrasi, sadar atau tidak? Anda harus berterima kasih kepada demokrasi, karena berkat demokrasi anda bisa bebas menyuarakan pendapat anda, bebas menyelenggarakan berbagai acara, dan bebas menyebarkan berbagai tulisan anda. Jika anda tidak hidup di alam demokrasi, niscaya gerakan anda tidak akan dibiarkan hidup oleh penguasa. Anda telah menikmati demokrasi, dan anda seharusnya bersyukur.

Begitulah “nasehat” yang sering kita dengar dari mereka yang ingin agar kita menghentikan serangan terhadap konsep dan praktek demokrasi. Poin yang kita tangkap adalah stigma inkonsisten yang tertuju kepada mereka yang menolak demokrasi tapi masih hidup dan menikmati alam demokrasi. 

Menurut Anda, apakah pernyataan mereka itu rasional atau tidak? Sebagian orang secara meyakinkan menyatakan bahwa pernyataan tersebut sangat rasional dan sangat bijak. Hanya orang bodoh saja yang tidak berpikir seperti itu. Hanya orang yang tidak intelek yang tidak berpikir seperti itu. Hanya orang-orang yang berpikiran picik yang tidak memahami hal itu. Namun tunggu dulu, jangan terburu-buru. Pernyataan tersebut rasional, jika hanya dipahami sebatas permukaannya saja. Pernyataan itu logis jika kita tidak mendalami makna di dalamnya. Jika kita mencermati pernyataan tersebut dengan seksama maka kita akan terkaget-kaget dengan konsekuensi yang ditimbulkannya.


Sistem Demokrasi Pilihan Banyak Negara

Demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi berasal dari dua kata Yunani demos (orang) dan kratos (pemerintahan). Dengan demikian demokrasi berbeda dengan  monarki (kediktatoran) dan juga aristokrasi (oligarki). Demokrasi mewakili pemerintahan oleh rakyat berbeda dengan monarki yang dikuasai oleh seorang raja (diktator, otokrat) dan  juga aristokrasi yang dikuasai oleh segelintir orang, kelompok elit (bangsawan, bisnis atau jenis elit lainnya). 

Semua sistem pemerintahan ini didasarkan pada manusia yang berdaulat yaitu memiliki kekuatan tertinggi dalam pengambilan keputusan dan pemerintahan. Berbeda dengan sistem teokrasi di mana manusia memerintah atas nama Tuhan, atau nomokrasi keagamaan seperti sistem Islam di mana hukum Allah dianggap berdaulat. 

Perbedaan antara sistem-sistem itu adalah kedaulatan dapat menjadi milik seseorang dari rakyat (monarki) atau milik sebagian kecil dari rakyat yakni kelompok elit (aristokrasi) atau milik rakyat secara keseluruhan (demokrasi). Dalam kasus raja atau otokrat, kedaulatan itu diekspresikan oleh kehendak dan keinginan individu dari mereka, sedangkan dalam sistem di mana kedaulatan milik kelompok elit atau penduduk secara keseluruhan, kedaulatan itu akan diekspresikan oleh kehendak mayoritas (baik itu kelompok elit, atau penduduk secara keseluruhan). Ini adalah elemen esensial dari demokrasi yang membedakannya dari ide-ide lain tentang pemerintahan bahwa kedaulatan terletak pada rakyat secara keseluruhan dan bukan satu individu atau satu bagian kecil rakyat, dan bahwa kedaulatan rakyat ini kemudian diekspresikan melalui kehendak kelompok mayoritas penduduk itu.

Sistem demokrasi banyak diterapkan di berbagai negara dikarenakan sistem ini melindungi kepentingan rakyat dimana kekuasaan yang sesungguhnya berasal dari warga negara atau rakyat itu sendiri yang diwujudkan melalui pemilu. Sistem ini juga berdasarkan pada prinsip kesetaraan dimana setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.

Selain itu, dalam sistem ini stabilitas dan tanggung jawab pemerintah yang hanya akan stabil apabila hal ini di dukung oleh publik serta dalam sistem ini rakyat bakal selalu berperan serta dalam menyampaikan aspirasi mengenai berbagai kebijakan demi menciptakan kesadaran di kalangan masyarakat.

Dengan sistem demokrasi, peluang revolusi bakal lebih sedikit sehingga pemerintahan akan menjadi lebih stabil juga membantu masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.

Banyaknya negara yang menerapkan sistem demokrasi bukan berarti demokrasi sesuai dengan Islam. Di dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, bahwa demokrasi itu kufur, bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut Aqidah Islam yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia.

Allah SWT berfirman:

 اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗ  

"Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 57)

Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran.

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

"Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir."

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 44)

Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain:

1. Dari segi sumber: Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw.

2. Dari segi asas: Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2: 208).

3. Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.

4. Dari segi ide kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.

Meski bertentangan dengan Islam, sistem demokrasi ini banyak dianut oleh banyak negara hingga saat ini. Ada beberapa alasan mengapa sistem pemerintahan demokrasi banyak dianut oleh negara di seluruh dunia, antara lain :

1. Hukum publik yang demokratis, dimana di negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis semua warga negara sama di mata hukum dan tidak dibeda-bedakan.

2. Demokrasi menjamin persamaan hak, dimana setiap warga negara memiliki hak yang sama, tidak berbeda apapun agama, ras, suku maupun warna kulit.

3. Demokrasi mampu menjamin tegaknya keadilan karena negara demokrasi adalah negara yang berdiri dengan memegang teguh hukum serta UUD.

4. Demokrasi mampu menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga karena negara demokrasi selalu menggunakan landasan hukum dalam setiap penyelesaian masalahnya serta menggunakan bantuan lembaga ahli dalam penyelesaian masalahnya.

Namun sayangnya, alasan-alasan tersebut hanya sekedar teori di atas kertas tanpa bisa dibuktikan secara nyata.

Sistem Demokrasi Menyengsarakan Rakyat?

Memang saat ini telah terjadi pemujaan berlebihan terhadap demokrasi. Demokrasi sebenarnya adalah sistem pemerintahan, tidak lebih dari itu. Demokrasi bukan Tuhan. Namun, ia dikultuskan seakan sebagai Tuhan. 

Sebagai sebuah sistem pemerintahan, demokrasi sebenarnya telah menorehkan prestasi yang "mengagumkan", yaitu membuat korupsi merajalela dan penderitaan masyarakat. Terkadang hal ini pun dipahami oleh para pemujanya. Saat mereka diingatkan hal ini, mereka biasanya akan mengatakan, " Demokrasi memang bukan sempurna, tetapi yang terbaik dari yang terjelek" atau mengatakan "Kita masih belajar demokrasi, wajar ada kesalahan di sana sini". Inilah dua mantra paling ampuh para pemuja demokrasi, saat mereka tidak punya hujjah lagi.

Sementara di sisi lain, mereka ngotot bahwa demokrasi itulah satu-satunya yang akan menyejahterahkan masyarakat. Benarkah demikian? Secara teoritis dan faktual, sebenarnya demokrasi tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya. Berdasarkan laporan penelitian Michael Ross, yang diberi judul, "Is Democracy Good for the poor?" pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum miskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. 

Di Indonesia sendiri yang mendapat penghargaan sebagai "negara demokratis", angka kemiskinan tetap sangat tinggi. Berdasarkan data BPS
persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018.

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89 persen, turun menjadi 6,69 persen pada Maret 2019. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 13,10 persen, turun menjadi 12,85 persen pada Maret 2019.

Dibanding September 2018, jumlah penduduk miskin Maret 2019 di daerah perkotaan turun sebanyak 136,5 ribu orang (dari 10,13 juta orang pada September 2018 menjadi 9,99 juta orang pada Maret 2019). Sementara itu, daerah perdesaan turun sebanyak 393,4 ribu orang (dari 15,54 juta orang pada September 2018 menjadi 15,15 juta orang pada Maret 2019).

Garis Kemiskinan pada Maret 2019 tercatat sebesar Rp425.250,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp313.232,- (73,66 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp112.018,- (26,34 persen).

Pada Maret 2019, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp1.990.170,-/rumah tangga miskin/bulan.

Selama ini yang dilakukan pemerintah demokratis hanya mengotak atik standart kemiskinan, sehingga tampak seakan-akan kemiskinan berkurang.

Apakah pemerintah demokratis berpihak pada rakyat? Sesuatu yang tidak mungkin dalam sistem demokrasi. Sudah bukan rahasia lagi biaya politik dalam sistem demokrasi sangatlah mahal. Siapa yang bisa mengantarkan pemimpin untuk meraih kursi kekuasaan menjadi tuannya. 

Para cukong dan pemodal asing yang bisa membiayai biaya politik yang mahal, sehingga pemimpin tidak berdaya dihadapan orang-orang yang sudah membiayai aktifitas politiknya untuk meraih kekuasaan. Jadi tidak heran banyak pemimpin kita memiliki harta kekayaan fantastis jumlahnya karena kedekatannya dengan para pemilik modal dengan memberi kemudahan pada pemodal untuk menguasai kekayaan milik umat.

Pemimpin dalam sistem demokrasi berfikir sekular dan kapitalistik. Korupsi dianggap alternatif mencari rezeki. Selama tidak ketahuan kecurangan dibolehkan. Tujuan politiknya untuk meraih kursi kekuasaan. Sehingga rakyat didekati hanya ketika menjelang pemilu disaat suara rakyat memiliki arti untuk mengantarkan mereka mencapai kursi kekuasaan. Namun rakyat ditinggalkan dan tidak diurusi setelah kekuasaan ada pada genggaman. Jadi sangat tidak mungkin seorang pemimpin dalam alam demokrasi ini memikirkan urusan rakyat. 

Sangat jauh berbeda dengan pemimpin dalam Islam yang selalu berpihak pada rakyat, karena itu adalah tujuan politiknya, mengurusi urusan rakyat. Pemimpin sangat memperhatikan rakyat dan kepentingan mereka menjadi skala prioritas. Sehingga wajar pemimpin dalam Islam sangat dicintai rakyatnya. Tidak perlu melakukan pencitraan agar mendapat simpati dari rakyat.

Dalam satu kisah seorang khalifah bahkan rela memanggul bahan makanan pokok pada rakyat yang sangat membutuhkannya karena dia menyaksikan sendiri ada rakyatnya yang tidak memiliki sesuatu untuk dimasak. Dalam kisah yang lain seorang khalifah enggan menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi. 

Sungguh, pemimpin dalam Islam sangat amanah dalam memimpin karena kesadaran hubungannya dengan Allah setiap waktu bukan hanya saat melakukan ritual keagamaan. Pemimpin hidup sederhana karena takut pada Allah jika menggunakan harta rakyat secara dzalim. Selama menjabat apa yang dimiliki adalah milik rakyat bahkan dirinya sendiri didedikasikan untuk rakyat.

Di Indonesia sendiri, meski pemilu sudah diselenggarakan dengan tertib dan lancar, sebagian pihak mengatakan, demokrasi Indonesia di era reformasi justru sedang mengalami kejumudan. Demokrasi hanya memanjakan para elit politik sehingga rakyat belum merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan, terutama terhadap kesejahteraan dan kemakmurannya.

Secara umum pasca reformasi, demokrasi bukan bertambah baik. Tak mengherankan kemudian banyak orang yang marah kepada demokrasi yang sedang berlangsung. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berkembang cenderung liberal, karena tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat. Alhasil, kedaulatan rakyat berkembang tidak sejalan dengan kedaulatan hukum. Demokrasi prosedural seperti sekarang ini justru membuat pemilu dilaksanakan sebagai rutinitas demokrasi belaka. 

Faktanya, PEMILU diselenggarakan bukannya semakin meningkat kualitas demokrasi, tetapi justru semakin memilukan, dimana pemilu diramaikan oleh perilaku-perilaku yang mencederai nilai-nilai demokrasi, politik uang, suap menyuap, cedera janji, dan kecurangan seolah terjadi biasa dalam tahapan pemilu. Demokrasi di sepanjang era reformasi masih bersifat prosedural, belum substansial. Pemilu dilaksanakan belum dilakukan secara luber dan jurdil sehingga belum menghasilkan wakil rakyat atau pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Oleh karena itu demokrasi belum mampu membentuk pemerintahan yang mampu mensejahterakan rakyat.

Kebebasan berpendapat, pemilu dan demokrasi ternyata tidak berlaku bagi orang miskin. Mereka memilih menjual hak-hak demokrasinya untuk memenuhi kebutuhan hidup kepada politisi. Tidak ada demokrasi di kalangan orang miskin. Yang ada demokrasi sesuap nasi. Yang ada pertemuan antara calon anggota DPR dan orang miskin dalam transaksi politik sederhana. Tidak ada money politics karena masyarakat juga yang membutuhkan uang.

Kalau kita konsisten dengan demokrasi, yang mengutamakan sistem perwakilan, tentu yang memerintah adalah orang-orang miskin. Tapi kenyataannya lain, orang-orang yang duduk di sistem pemerintahan sekarang adalah orang-orang kaya. Orang-orang miskin tidak bisa, mustahil, dan tidak mungkin duduk di sana. Sekalipun di DPR yang merupakan singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat, di sana tidak ada konstituen yang bisa mewakili mayoritas orang miskin dari rakyat Indonesia.

Di DPR semua anggotanya adalah orang-orang kaya, bahkan secara tidak tertulis, syarat pokoknya adalah anggota DPR harus beruang-beruang. Esensi demokrasi itu perwakilan, tapi yang diwakili bukan lagi mayoritas rakyat, tapi segelinitir minoritas rakyat beruang.

Melihat fakta DPR semuanya orang kaya,  dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan representasi perwakilan kekayaan. Semakin besar kekayaan orang, akan semakin besar pula pengaruh mereka di ajang perdebatan dan pembuatan peraturan undang-undang di DPR. Jika anggota DPR dan orang-orang pemerintahan adalah orang kaya, maka : 

1. Wajar kalau mereka berpihak kepada orang kaya, dan membela mati-matian nasib orang-orang kaya supaya tidak jatuh miskin.

2. Orang miskin hanya dijadikan komoditas untuk janji-janji biar ada legitimasi seolah-olah demokrasi itu mewakili seluruh rakyat, padahal saat ini perwakilannya memakai sistem proporsional sesuai dengan tingkat kekayaan seorang rakyat.

 3. Orang miskin diperalat hanya saat pengumpulan suara, mereka disuruh menjalani ritual pemilu secara periodik sebagai upacara peribadatan untuk melanggengkan kekayaan (dan kekuasaan)  minoritas orang-orang kaya atas mayoritas orang-orang miskin. 

Strategi Menghadapi Sistem Demokrasi dalam Mewujudkan Syariah Islam secara Kaffah

Pernyataan agar kita berterima kasih pada demokrasi seperti pernyataan, "Kita harus berterima kasih pada pencuri yang mencuri rumah kita. Mereka hanya mencuri televisi, hp, kendaraan, dan uang kita. Sementara kita diberi kebebasan untuk hidup. 

Betapa hebatnya pencuri rumah kita, yang memberi tawaran sangat fair, yaitu kita diberi kebebasan pilih nyawa atau harta. Kita diberi kebebasan, bukan dipaksa. Hebat kan? Coba bayangkan, pencuri rumah sebelah, mereka bukan hanya mencuri harta, tapi juga membunuh pemilik rumah. Sungguh pencuri rumah sebelah, sangat tidak fair dan sangat tidak terdidik".

Ada beberapa hal yang membuat kita harus berpikir ulang untuk mengucapkan terima kasih, baik pada demokrasi atau pencuri, diantaranya:

1. Baik pencuri maupun demokrasi sama-sama diharamkan Allah.

Allah melarang demokrasi tetapi tentu saja tidak langsung menunjuk kata "demokrasi". Hal yang sama pada pencuri, Allah SWT tidak langsung menggunakan kata "pencuri", Allah SWT menyebutnya dengan kata "as-sariqu" dan "as-sariqatu" sebagaimana Allah SWT berfirman :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْۤا اَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَـكَالًا مِّنَ اللّٰهِ   ۗ  وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

"Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 38).

Sementara untuk menyebut demokrasi, Allah SWT menggunakan kata "at tahkim bi ghoiri anzalallah (berhukum dengan selain yang diturunkan Allah)" sebagaimana Allah SWT berfirman :

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ 

"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 48)

Atau menyebut demokrasi dengan sebutan "hukmul jaahiliyyah (hukum jahiliyah)" sebagaimana Allah SWT berfirman :

اَفَحُكْمَ  الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ  وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)

Pemilihan pemimpin hanya bagian dari demokrasi dan pemilihan oleh rakyat itu juga bukan hanya milik demokrasi. Substansi demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat adalah sumber hukum, bukan Allah SWT.

2. Baik pencuri maupun demokrasi sama-sama menghabiskan uang masyarakat.

Untuk pesta demokrasi saja, uang puluhan trilyun rupiah melayang. Pasca pesta demokrasi, kemudian para pejabat berlomba untuk korupsi agar modal yang mereka keluarkan saat pesta demokrasi dapat kembali. Uang masyarakat digelapkan dengan modus yang beragam. Bukan hanya korupsi yang menjamur, penggelapan uang dan kekayaan juga dilakukan para pejabat dengan memberikan SDA milik rakyat pada konglomerat dan korporasi-korporasi besar. 

Penyerahan gunung emas di Papua, blok Cepu ke Exxon Mobile, itu hanyalah contoh yang sangat gamblang. Beribu-ribu trilyun rupiah uang masyarakat dijarah. Akibatnya, rakyat hidup dalam penderitaan, padahal kekayaannya melimpah. Karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa rakyat Indonesia seperti "semut mati di gudang gula".

Bahkan sistem demokrasi lebih jahat dibanding pencuri. Kalau pencuri dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dan korbannya hanya seorang atau beberapa orang. Sementara sistem demokrasi, pencurinya adalah lembaga dan korbannya adalah hampir semua orang, hampir semua rakyat. Berjuta-juta orang jadi korbannya, ini baru di Indonesia belum di negara lain.

Ada yang mengatakan bahwa kita makan, minum, dan hidup di sini karena diberi demokrasi, karenanya kita harusnya berterima kasih pada demokrasi. Pernyataan ini sebenarnya sangat aneh jika diucapkan seorang Muslim. Kita makan, minum, dan hidup bukan karena diberi demokrasi tetapi diberi oleh Allah SWT. Bangsa Indonesia, nenek moyang kita, sebelum menerapkan demokrasi seperti zaman sekarang, mereka tetap makan, minum, dan hidup. Kalau yang memberi hidup adalah demokrasi, tentu bangsa ini sudah musnah dari zaman dulu, karena zaman dulu tidak menerapkan demokrasi.

Dengan demikian, apakah kita pantas memberi ucapan terima kasih kepada demokrasi atau pencuri hanya karena memberi kebebasan kepada kita? 

Sistem demokrasi adalah sistem kufur. Bukan karena demokrasi berbicara tentang pemilihan penguasa, sehingga hal itu bukan masalah yang mendasar. Tetapi perkara yang mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Tuhan alam
semesta.

Apalagi demokrasi juga menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan untuk murtad dan berpindah-pindah agama tanpa ikatan. Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. 

Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion), bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan orang-orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan disebut sebagai para pahlawan.

Sungguh nyata, demokrasi adalah sistem yang rusak dan merusak. Tak layak rakyat memperjuangkan, apalagi mempertahankannya. Rentetan peristiwa jatuh korban dalam pesta demokrasi harusnya membuat kita sadar dan mawas diri. Bahwa memang sistem ini telah membawa petaka, bahkan bagi para pejuangnya sendiri.

Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain dalam menghadapi sistem demokrasi selain ikut berjuang dan berusaha dengan segala daya upaya untuk menggantikan sistem demokrasi yang rusak dengan sistem yang mewujudkan kehidupan berbasis syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.

Mengapa kita harus menggantikan demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam? Karena salah satu bentuk keagungan khilafah yang tidak dimiliki peradaban lainnya adalah kesempurnaan dan jaminan kehidupan terbaik bagi rakyatnya. Sejarah telah membuktikan secara jelas akan hal ini yang bertahan hingga seribu empat ratus tahun lebih yang pada akhirnya diruntuhkan pada 03 Maret 1924 M.

Jaminan kesejahteraan era khilafah dapat terwujud bukan karena kebetulan, namun karena khilafah memiliki seperangkat aturan atau kebijakan. Aturan maupun kebijakan ini bersumber dari Islam. Karena sejatinya khilafah adalah representasi dari penerapan Islam secara menyeluruh dan utuh. Aturan-aturan ini mencakup ranah individu, keluarga, masyarakat dan negara. Sehingga secara sederhana semua keagungan khilafah terwujud karena Islam diterapkan secara penuh.

Beberapa bentuk aturan atau kebijakan dalam khilafah sehingga ada keterjaminan kesejahteraan bagi rakyat antara lain: 

1. Khilafah adalah sebuah negara yang Islam diterapkan menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk bekerja guna memberikan nafkah baginya dan bagi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Islam mengatur ketika masih ada kekurangan atau kemiskinan yang menimpa seseorang, maka tanggung jawab itu menjadi tanggung jawab sosial. Maksudnya keluarga dan tetangga turut dalam membantu mereka yang masih dalam kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam seperti zakat, sedekah dan lainnya.

3. Khilafah melalui pemimpin tertingginya yaitu seorang khalifah adalah pihak yang mendapatkan mandat untuk mengayomi dan menjamin kesejehteraan rakyat. Dia yang akan menerapkan syariah Islam, utamanya dalam urusan pengaturan masyarakat seperti sistem ekonomi dan lainnya.

Dalam sistem ekonomi, khilafah memiliki kebijakan dalam mengatur kepemilikan kekayaan negara sesuai Islam. Ada kepemilikan individu, umum dan negara yang semua diatur sedemikian rupa untuk kemakmuran rakyat. Pengaturan tersebut kemudian akan masuk dalam Baitul Mal yang menjadi pusat kekayaan khilafah.

Arahnya adalah untuk menjamin kehidupan per-individu rakyat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan dan papan. Serta untuk mewujudkan jaminan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya.

Secara rinci akan dijumpai dan merujuk dalam aturan Islam mengenai pengaturan ekonomi dalam negara yang disebut dengan sistem ekonomi Islam. Dan dalam era khilafah dulu ataupun yang akan tegak nantinya, sistem ekonomi Islam menjadi salah satu paket dari sistem lainnya seperti politik-pemerintahan, hukum dan sebagainya yang akan diterapkan secara utuh dan menyeluruh.[]

Oleh: Achmad Mu’it
Analis Politik Islam

REFERENSI
Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005)
Abdul Qadim Zallum, Demokrasi : Sistem Kufur (1990)
Michael Ross, "Is Democracy Good for the poor?"American Journal of Political Science , 2006, vol. 50, terbitan 4, 860-874


Posting Komentar

0 Komentar