Mistisisme Nusantara atau Klenikisme?

TintaSiyasi.com -- Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan suasana "magis-nusantara" dalam simbol kendi Nusantara dalam roadmap sebuah rencana kemah bersama Presiden Jokowi di Kilometer 0 IKN pada tanggal 14 s.dm 15 Maret 2022.  

Suasana magis-nusantara tersebut dimaknai oleh masyarakat secara berbeda. Ada yang memaknai ritual kendi Nusantara (penggabungan tanah dan air dari 34 propinsi dalam satu wadah) sebagai klenikisme. Klenik (di dalam bahasa Jawa) adalah sesuatu yang tersembunyi atau hal yang dirahasiakan untuk umum. 

Klenik identik dengan hal-hal mistis yang cenderung berkonotasi "negatif". Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring menempatkan klenik sebagai sebuah aktivitas perdukunan. Benarkah kita ini bangsa yang lekat dengan klenikisme ataukah sebatas mistisisme (amelioratif). 

Sebagai warga negara Indonesia, apa yang ada di benak kita, ketika kita berada di luar negeri ditanya “siapakah Anda”? Tentu akan kita jawab: “Saya si fulan dari Indonesia”. Mengapa kita tidak mengatakan nama saja? Hal ini tentu terkait dengan adanya kekhususnya asal-usul seseorang dan asal-usul itu bersifat “distinctive”, berbeda dan mestinya membedakan seseorang dengan orang lain. Artinya, mestinya seseorang itu memiliki identitas berupa karakter-karakter khusus. 

Kalau karakter itu tidak ditemukan pada diri seseorang, maka kita juga tidak mampu mengenali identitas orang itu dan kita akan menanyakan lalu apa bedanya seseorang itu dengan orang lainnya? Karakter inilah yang kemudian dalam dunia hukum mempengaruhi bagaimana seseorang dan kelompok orang bahkan suatu bangsa memiliki cara berhukum dan sekaligus akan membedakan antara hukum suatu bangsa dengan hukum bangsa lainnya.

Cicero mengatakan “ubi societas ibi ius”, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Hal ini kemudian secara ilmiah dibuktikan melalui riset pada tahun 1970-an oleh Robert B. Seidman tentang kemungkinan transplantasi hukum suatu bangsa ke bangsa lainnya. Pada akhir penelitiannya Seidman berkesimpulan dan mengajukan sebuah dalil berbunyi: “The law of nontransferability of law”. 

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari riset Seidman itu? Tidak lain adalah ketidakmungkinan mentransfer suatu hukum yang distinctive itu dari suatu bangsa ke bangsa lain begitu saja karena hukum itu memiliki struktur sosialnya sendiri, bahkan sering dikatakan sebagai a peculiar social of life. 

Akhir-akhir ini ada sesuatu yang menggelisahkan saya, yakni adanya krisis indentitas tersebut di atas, baik di dunia sosial, politik, ekonomi dan bahkan dunia hukum.  

Apa bedanya politik kita dengan politik Amerika? Apa bedanya ekonomi kita dengan ekonomi Amerika? Apa bedanya budaya kita dengan budaya Amerika? Apa bedanya hukum kita dengan hukum Amerika? Apa bedanya life style mahasiswa kita dengan mahasiswa Amerika? Kalau jawabnya “mirip”, bahkan “sama”, mengapa negara kita tidak mendeklarasikan diri dan masuk saja sebagai negara bagian ke-sekian (ke-51) dari Amerika Serikat? 

Pertanyaannya kemudian, apakah kemiripan bahkan kesamaan hukum dengan mengkiblat life style ala Amerika itu membuat dan mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan buat bangsa Indonesia? Jawabnya, sebenarnya kita ingin memiliki life style tersendiri sebagai identitas bangsa. 

Bangsa yang menjadikan nilai-nilai universal itu akan kokoh, sebaliknya bangsa yang mengabaikannya akan mengalami keambrukan, cepat atau lambat. Indonesia termasuk negeri Oriental, yang dapat dikatakan memiliki adat ketimuran. 

Adat ketimuran seringkali diwarnai dengan aspek mistik (mystical). Manusia Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aspek mistik tersebut karena hakikat kodratinya manusia diyakini terdiri juga aspek mistis berupa cipta, rasa dan karsa yang bersifat jiwa rohani selain tersusun pula atas aspek badan jasmani. 

Ditinjau dari sifat kodrat manusia, di samping manusia sebagai mahluk individu, ia adalah mahluk sosial. Hal ini berarti hidupnya bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, melainkan penyelenggaraan kepentingan individunya dalam rangka memenuhi kewajibannya terhadap orang lain. 

Apabila manusia Indonesia ditinjau dari aspek kedudukan kodratnya, maka manusia Indonesia di samping berkedudukan sebagai mahluk pribadi---realitas hidup yang mandiri, sekaligus ia adalah mahluk Tuhan yang mestinya tunduk patuh menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 

Menurut Weber setiap masyarakat memiliki "spirit" tersendiri yang berarti kompleks keseluruhan dari nilai-nilai dan kesepakatan-kesepakatan yang dilembagakan dan sekaligus mencerminkan suatu struktur karakter dari sebuah bangsa. 

Dalam hal ini, Indonesia yang berada di belahan timur bumi, juga dapat dikatakan memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat di belahan barat bumi. Menurut Allen M. Sievers dalam bukunya “The Mystical World of Indonesia” (1974:xi) dikatakan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki spirit mistik (mystical spirit). 

Perbedaan antaraTimur dan Barat bukanlah sama sekali baru dan mistisisme sebagai kajian sosial yang sedikit banyak juga dibicarakan dalam berbagai literatur seperti halnya konsep rasionalisme Barat. Istilah "rasionalisme" yang dipertentangkan dengan istilah “mistisisme” dapat berakibat pada pemahaman bahwa Barat itu berbeda dengan Timur, meskipun keduanya memiliki keterkaitan. 

Dapat dikatakan, pengertian rasionalisme Barat mengacu pada prinsip bahwa pemikiran non-Oriental  berbeda dengan mentalitas rasional bangasa Yunani, yang diwariskan oleh bangsa Barat secara meluas pada abad pertengahan dan modern. Hal ini menunjukkan bahwa “manusia” Barat  itu berbeda dengan “manusia” Timur.  

Dalam perspektif ideal, pada dasarnya manusia sebagai mahluk rasional seharusnya mampu mengendalikan perilakunya sendiri baik secara individu maupun sosial dan mampu memahami manusia, alam, dan bahkan Tuhan secara rasionalistik juga. Namun, kenyataannya perspektif ideal tersebut tidak selalu berhasil diwujudkan oleh bangsa Barat. 

Bertahannya pandangan kelompok minoritas di Barat dalam mendukung faham mistisisme tidak mengurangi keseluruhan karakterisasi kaum Barat sebagai bangsa yang rasionalistik. Filsafat hidup (weltanschauung) bangsa Yunani berbenturan dengan bangsa Orient, dan sejak saat itu Barat dibedakan dengan Timur. 

Max Weber khusus meneliti peran mistisisme terhadap pikiran oriental dan lembaga-institusi di dalamnya. Ada beberapa peneliti lain di bidang mistik dan mentalitas oriental sebagai fenomena sosial antara lain, misalnya, Hegel, Jung, Malrux, dan Bertrand Russell. Georg Wilhelm Friedrich Hegel termasuk orang pertama yang mengkaji tentang eksternalisasi moral dan hukum di dalam mentalitas oriental. 

Selain secara bebas menerima sanksi moral yang internal, bangsa Oriental tunduk pada kehendak eksternal sebagai preskriptif yang absolut. Lebih jauh dapat dikatakan, berseberangan bangsa Yunani, bangsa Oriental merasa dirinya sebagai bagian yang menyatu dengan dunia universal (jagad raya). 

Kemuliaan konsepsi Oriental adalah satu individu  sebagai hakikat yang “mengada” bersama keseluruhan (ada kita ada bersama), sehingga tidak ada individu lain yang terpisah keberadaannya.  

Bangsa Yunani menginternalisasikan moralitas dan membuatnya sebagai bagian dari kehendak manusia. Mereka percaya bahwa kebebasan manusia dapat ditemukan dalam heterogenitas dan dalam kebebasan subjektif. Jadi spirit bangsa Yunani adalah berupa sifat individualisme kemanusiaannya, yang memisahkan manusia dari alam dan membuatnya menjadi subjek yang bebas. 

Bagi bangsa Yunani penafsiran dan penjelasan terhadap alam dan tranformasinya adalah tindakan dari spirit subjektif belaka. Manusia dan Tuhan dapat diselaraskan, tetapi  manusia dan tuhan adalah dua hal terpisah.  

Carl Jung, dalam Psychology and Religion, memberikan ciri pada Dunia Timur adalah introvert dan, karenanya, realitas sebagai sesuatu yang mendasar secara psikologis. Dengan perkataan lain bahwa manusia Oriental adalah mistik, di mana ia mengidentifikasi manusia, Tuhan, dan alam. 

Andre Malraux dalam The Temptation of the West, yang memiliki karakter Ling Cina menulis surat kepada korespondennya di Perancis dengan mengatakan: 
"Our universe is not subject, as yours, to the law of cause and effect; or, more exactly, althaough we admit its reality, it has no power over us, since it doesn’t allow for unjustifiable....From this view arises our sense of the importance of sensibility... The eartern mind...gives no value to himself; it contrives to find, in the flow of universe, the thoughts which permit it to break its human bonds. The first (the West) wants to bring the universe to man; the second (the East) offers man up to Universe". 

Bertrand Russell, dalam Mysticism and Logic, mencirikan mistisisme sebagai sebuah fahamke dalam 4 hal, yaitu: 

Pertama, keyakinan terhadap penglihatan batin sebagai lawan pengetahuan yang diskursif dan analitis: kepercayaan terhadap cara hidup dengan kebijaksanaan (wisdom), kejadian tiba-tiba (sudden), kerasukan (penetrating), keterpaksaan (coersive). 

Kedua, karakteristik mistisisme adalah keyakinannya terhadap kesatuan (unity), dan penolakannya untuk mengakui pertentangan atau perpecahan di mana saja. 

Ketiga, dari hampir semua metafisika mistik adalah penolakannya terhadap realitas waktu. 

Keempat, doktrin mistik berkeyakinan bahwa segala kejahatan adalah penampakan belaka, suatu ilusi yang dihasilkan oleh pembagian dan pertentangan dari analisis intelektual. 

Dapat disimpulkan bahwa manusiaTimur itu menghargai persepsi, sikap, pengetahuan batin, dan alam bawah sadarnya jauh melebihi di atas konsep tentang alasan-alasan logis. 

Manusia Timur melihat kaidah ketuhanan sebagai sesuatu yang tetap dan terus menerus melingkupi dirinya sendiridan alam dan maka kehidupannya berada dalam realitas mistik terus menerus. 

Manusia Oriental menekankan kesatuan (unity) di atas segala-galanya. Hal ini berimplikasiterhadap perilaku manusia Oriental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam cara berhukum. 

Banyak penelitian membuktikan bahwa meskipun beberapa bagian dari bangsa Orient telah menjadi kebarat-baratan (westernized), namun secara esensial mereka tetap menggunakan cara Oriental dalam menyikapi kehidupan yang muncul sebagai kearifan-kearifan lokal (local wisdom) dalam menyelesaikan problematika hidup, baik privat atau pun publik. 

Kita mengetahui adanya cara masyarakat menyelesaikan problemnya yang mengandalkan karakter Oriental, misalnya pengutamaan musyawarah. Di masyarakat Banjar dikenal adat badamai, dewan adat (damang dan let adatnya) di masyarakat Dayak, di Aceh dikenal pola penyelesaian konflik dengan di’iet, sayam, suloeh dan pemat jaroe, di Maluku dikenal Dewan Saniri dan Raja, di masyarakat Lombok Utara dikenal adat Wet Tu Telu dengan begundem-nya, di masyarakat adat Lamaholot (Flores NTT) dikenal adat mela sareka. Semua adat tersebut menunjukkan adanya kesamaan bentuk yaitu kemauan untuk mengutamakan musyawarah sebagai proses untuk menyelesaikan konflik. 

Mengklasifikasikan Indonesia dengan budaya-budaya oriental lainnya adalah langkah pertama dalam memahaminya. Sangat mungkin bahwa Indonesia memiliki fitur karakter yang spesifik jika tidak dikatakan unik. Indonesia mungkin lebih mistik dari banyak negara yang lahir kemudian. 

Indonesia memiliki sejarah mistisisme yang kuat dan tak terputus hingga kedatangan bangsa Belanda. Begitu Belanda memasuki wilayah Indonesia, berbagai proses modernisasi telah menggeser jauh karakter asli Indonesia. Tampaknya, rasa frustrasi dan kemunduran di bawah pengaruh hegemoni Belanda mendorong manusia Indonesia untuk menghidupkan kembali dan meningkatkan keyakinan mereka pada mistisisme. 

Karena pengaruh modernitas maka Indonesia dari abad kesembilan belas hingga abad kedua puluh mungkin dapat dikategorikan sebagai bangsa berfaham neo-mystical. 

Soekarno sebagai sosok nasionalis Indonesia memiliki ciri khasyang sangat kuat antara lain melalui pemikirannya tentang ideologi Indonesia. Ideologi yang diajukan oleh Soekarno mencerminkan dan memperkuat keyakinan bahwa Indonesia membutuhkan faham neomystical

Fakta bahwa Soekarno menekankan identitas bangsa Indonesia sebagai pusat ideologinya seharusnya membimbing kita untuk memahami apa yang dilihatnya sebagai kunci bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia. 

Kosakata ideologi revolusioner selama rezim Soekarno sebagian diilhami oleh pengalaman masa lalu manusia Jawa, dan sebagian mencerminkan liberalisme Barat. Kata-kata kunci, simbol-simbol, terma-terma yang terkandung dalam ideologi tersebut mencerminkan adanya respons yang bersifat mistik. 

Dua istilah utama pada masa kepemimpinannya adalah Pancasila (1945) dan USDEK (1959). USDEK jaya pada tahun 1960-an, namun kemudian menghilang sebaliknya Pancasila seperti yang tercantum dalam pembukaanUUD 1945 berlanjut menjadi aturan mendasar (grundnorm) bagi Republik Indonesia. 

Menurut Soekarno, Pancasila mengandung lima kredo nasionalisme Indonesia, yaitu:
1. KetuhananYang Maha Esa,
2. Nasionalisme,
3. Kemanusiaan atauinternasionalisme,
4. Demokrasi, dan
5. Keadilan sosial. 

Identitas bangsa Indonesia itu sendiri terkait dengan prinsip-prinsip tertentu mencirikan watak Indonesia lama dan modern, yaitu bernama persaudaraan, ramah tamah dan gotong royong. Gotong royong memiliki beberapa lapisan makna. Hal ini menunjuk pada tingkat hubungan dengan prinsip simbiosis mutualisme, saling membantu, bekerja sama, berbagi beban, semua untuk semua.

Di samping Pancasila, Gotong royong dan USDEK, Soekarno mengajukan berbagai slogan lainnya, dan slogan tersebut mampu berfungsi sebagai mantra-mantra yang memiliki potensi magis. Mantra itu antara ini adalah tolong menolong, musyawarah dan mufakat. 

Secara ideologis, gagasan Soekarno mengandung penegasan kembali identitas Indonesia sebagai keagungan bangsa yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tradisional masyarakat Indonesia yang tinggi. Hal itu tersirat pada saat mengemukakan tujuan negara modern seperti kemakmuran, keadilan, penghapusan eksploitasi, kedamaian, ketertiban dunia, di saat yang sama juga mengagungkan nuansa nasionalisme.  Uraian di muka menunjukkan faham neomystical yang dianut bangsa Indonesia. 

Apabila sudah mengerti bahwa Pancasila sebagai identitas kehidupan manusia Indonesia, mengapa kita hendak menempuh bidang-bidang kehidupan kita--termasuk bidang hukum--dengan mengidolakan cara hidup  beridentitas ideologi lain yang sekuler? 

Di bidang hukum, alangkah baiknya sebagai bangsa yang besar dan ber-Pancasila, kita membaca Konstitusi tidak hanya secara tekstual. Merujuk apa yang dikemukakan oleh Ronald Dworkin, maka "cara mengeja" konstitusi itu seharusnya dilakukan secara moral (moral reading on constitution). 

Pengejaan pasal dan ayat konstitusi harus dikaitkan dasar hukum yang melatarbelakangi perumusannya sehingga diperoleh "gambar tampilan" hukum yang utuh, tidak hanya berupa fragmen pasal yang pada hakikatnya hanya skeleton atau "bangkainya hukum." 

Indonesia bukan Amerika atau pun Eropah, tapi Indonesia, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). 

Cara bertindak kita tidak sama cara ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak. Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan---- kalo tidak boleh dikatakan mengimitasi--- agar cara kita berhukum, berpolitik, berpolitik hukum sama dengan Amerika dan Eropah yang seringkali menggeluti hukum sebatas rules and logic. 

Jika kita terlalu asyik menggeluti tulang belulang hukum itu, maka yg akan tampil adalah karakter kaku, keras dan dingin yang melambangkan karakter kematian, padahal hukum itu adalah untuk manusia yang hidup yang memiliki harkat dan martabat luhur. Hukum bukan untuk hukum dalam arti hukum hanya untuk keluhuran hukum, melainkan untuk meninggikan harkat dan martabat manusia tersebut. Ini yang kita sebut hukum progresif. 

Dalam pandangan hukum progresif, adagium yang berbunyi: "Fiat justitia ruat coelum" seperti yang dianut oleh  Gubernur Romawi Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, pada tahun 43 SM adalah tidak akan mampu mewujudkan keadilan (substantif), melainkan hanya mengejar aspek (keadilan) prosedural. Jadi, untuk menerapkan peraturan hukum mesti diperhatikan pula konteks sosial di mana peraturan itu hendak diberlakukan serta berorientasi pada searching the truth and justice yang dipayungi oleh prinsip "no law without moral, no moral without religion". 

Itu sejatinya mistisisme Indonesia, khususnya di bidang hukum dan bukan klenikisme (perdukunan) yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari kehidupan bangsa yang di Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 telah mendeklarasikan negaranya berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Tabik...!!!
Semarang, Rabu: 16 Maret 2022



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar