Sengkarut Nasib GTKHNK 35+: Berhakkah Atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Bagi Kemanusiaan?




Kita hidup di negara bangsa yang religius. Meyakini bahwa Alloh, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Manusia memiliki akal serta harkat dan martabat yang membedakan dari makhluk yang lain. Nilai-nilai, harkat, derajat, dan martabat yang dimiliki oleh manusia haruslah dijunjung tinggi dan dilindungi. Dengan demikian, hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusiapun dapat terlindungi juga. Hak yang dimiliki oleh manusia itu biasa disebut hak asasi manusia. 

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bahwa:

"Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjungtinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".

Setiap orang harus memperlakukan sesamanya sesuai hak asasi manusia yang dimiliki. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita terus saja menemui berbagai perbuatan yang melanggar hak asasi orang lain, baik itu yang kita lihat secara langsung, maupun yang kita baca/saksikan melalui media cetak dan elektronik.
Di sisi lain negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fullfil), dan melindungi (to protect), termasuk hak untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan bagi Guru Tenaga Kependidikan Honorer Non Kriteria 35 Tahun Lebih yang selanjutnya disingkat dengan GTKHNK 35+. Artikel ini berusaha mendedah tuntutan dan hak GTKHN 35+ mengingat kelompok ini termasuk kelompok rentan yang perlu advokasi hukum sekaligus perlindungan hukum dari negara. 


Upaya Penghormatan, Pemenuhan dan Perlindungan HAM Bagi GTKHNK 35+ Khususnya Atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Bagi Kemanusiaan

GTKHNK 35+ dapat juga dikelompokkan sebagai pekerja pada umumnya. Mereka bukan pegawai BUMN atau Aparatur Sipil Negara. Mereka berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Berikut latar belakang adanya hak atas pekerjaan harus dilindungi. 

a. Hak atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia karena:

(1) Kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan arena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia. (2) Kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka dengan bekerja manusia menjadi manusia yang seutuhnya, melalui bekerja manusia dapat menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
(3) Hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bukan atas hidup yang layak. Hak atas pekerjaan ini tercantum dalam UUD Tahun 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

b. Hak atas upah yang adil

Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut oleh seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya :
(1) Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar. (2) Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
(3) Bahwa prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada seluruh pekerja, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama bagi pekerjaan yang sama.

Bicara tentang nasib GTKHNK 35+, Forum Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non-Kategori usia 35 Tahun ke Atas (GTKHNK 35+) sempat melakukan perjuangan yang diwakili oleh 19 honorer menggugat ketentuan di Undang-Undang ASN (Aparatur Sipil Negara) ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun akhirnya mengalami kegagalan. Judicial review terhadap Pasal 6, Pasal 58 ayat 1 dan Pasal 99 ayat 1 dan ayat 2 UU ASN ditolak 9 hakim MK dalam sidang putusan 9/PUU-XVIII/2020, di gedung MK pada Selasa (19/5/2020).

Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang menyatakan, amar putusan mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Majelis menilai permasalaan pemohon bukan terletak pada pasal-pasal yang digugat, melainkan di Permenpan No. 36 Tahun 2018 dan PP No. 49 Tahun 2018 yang antara lain mengatur batas usia minimal 35 tahun bagi pelamar CPNS. Namun demikian, GTKHNK 35+ tampaknya tidak putus semangat. Para honorer nonkategori berurusia 35 tahun ke atas yang sudah ke MK dan gagal telah bersama-sama untuk meminta Keppres pengangkatan PNS tanpa test. 

Ada Enam daftar inventaris masalah yang dihadapi GTKHNK 35+, antara lain:

1. Tidak bisa daftar CPNS karena terkendala usia 35 tahun keatas.
2. Gaji GTT/PTT dari dana BOS sangat rendah rata-rata dibawah 300 ribu rupiah.
3. Sulit untuk pree tes PPG bagi guru honor yang induk di sekolahan negeri sehingga tidak ada peluang untuk sertifikasi.
4. Gaji insentif daerah sangat kecil.
5. Susah untuk mensapatkan SK Kepala Daerah,
6. Kesulitan membuat NUPTK.

Tuntutan GTKHNK 35+ atas Penghormatan, Pemenuhan dan Perlindungan HAM Khususnya Terhadap Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Bagi Kemanusiaan

Forum GTKHNK 35+ menggelar rapat koordinasi nasional (rakornas) di Jakarta yang dihadiri lebih dari 2.000 anggota dari berbagai daerah di Tanah Air. Dalam forum itu mereka mengharapkan ​​​​​​Presiden Joko Widodo untuk dapat segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait pengangkatan GTKHNK 35+ untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) tanpa tes. Nasrullah, Ketua Forum GTKHNK 35+ mengatakan sampai saat ini gerakan tersebut telah mendapatkan dukungan dari hampir 100 pemerintah daerah/pemerintah provinsi/ketua DPRD provinsi maupun Kota.

Secara lengkap tuntutan GTKHNK 35+ adalah : Pertama, menuntut kepada Pemerintah Pusat untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) agar semua GTKHNK 35+ dapat diangkat menjadi PNS 2020 tanpa tes, sebagaimana Presiden mengeluarkan Keppres kepada Bidan, PTT dan Aparatur Desa. Kedua, bayar gaji UMK bagi tenaga Honorer GTKHNK diatas umur 35 dari disekolah Negeri dan dibayar secara bulanan diambil dari APBN Pusat.

Jadi, para GTKHNK 35+ berdalih bahwa untuk sektor kesehatan sudah diambil kebijakan dengan melakukan peningkatan status menjadi pegawai negeri, maka mereka juga berharap agar para guru pun diberi kesempatan yang sama, dengan mengharapkan bantuan dari Presiden, semoga dapat memenuhi harapan para guru honorer yang telah berusia diatas 35 tahun, dapat menjadi PNS.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa mereka pun sudah lama berkiprah dan telah memberikan kontribusi di dunia pendidikan. Jadi, wajar kalau pemerintah daerah memberikan dorongan. Untuk Pemerintah Daerah sebenarnya tidak keberatan jika wewenang peningkatan status PNS ini adanya di daerah. Barangkali sudah dilakukan sejak awal, tapi karena ini adanya di pusat, maka kita tunggu kebijakan dan pemenuhan rekomendasi yang masih dikumpulkan secara nasional.

Tuntutan-tuntutan para GTKHNK 35+ diajukan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.


Cara Islam Menghormati, Memenuhi dan Melindungi serta Memperlakukan Guru dan Tenaga Kependidikan

Terlepas dari permasalahan kesenjangan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh GTKHNK 35+ seperti dalam pembahasan di muka, sejatinya hal tersebut adalah buah dari penerapan sistem demokrasi-sekularisme. Yang tidak menjadikan Islam sebagai landasan dalam mengatur segala mekanisme dunia pendidikan termasuk upah/gaji bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.

Sistem sekulerisme mengkotak-kotakan golongan guru di antaranya honorer, kontrak/swasta dan pegawai negara. Biasanya ada perbedaan dua golongan antara guru honorer dan pegawai negara, yang ditentukan berdasarkan lama atau belumnya waktu seorang guru tersebut dalam menjalankan pengabdiannya, sebagai guru atau pengawai dalam sebuah sekolah tempatnya mengabdi. Selain dari itu penggolongan ini juga ditentukan melalui hasil dari tes penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) oleh negara. Jika ia dinyatakan lulus dalam tes, maka status dari guru atau pegawai honorer bisa berubah menjadi guru atau pegawai tetap yang terjamin oleh negara atas segala haknya. 

Berbeda dengan Islam, dalam Islam kesejahteraan bagi para pengajar atau tenaga kependidikan lainnya begitu sangat diperhatikan dan dimuliakan. Islam tidak mengkotak-kotakkan status antara yang lama ataupun yang baru. Yang berbeda dalam Islam hanya penggolongan dalam masing-masing skill yang dikuasai setiap pengajar atau pegawai kependidikan tersebut.

Islam sangat memperhatikan pemenuhan hak yang setara pada setiap amanah atau tanggung jawab yang dijalankan oleh setiap guru ataupun tenaga kependidikan. Agar dengan itu juga, tujuan dari keberadaan lembaga pendidikan yang bervisi mulia, dapat dilaksanakan dengan baik seperti yang diharapkan. Yakni upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia atau generasi yang memiliki: kepribadian Islam; menguasai pemikiran Islam dengan handal; menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); serta memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna. Yang akan mampu melahirkan para peserta didik yang bertaqwa menjadi penerus para ilmuwan dan ulama yang keberadaannya sangatlah penting dalam kehidupan suatu negara.

Adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam pabila dibayarnya upah yang sangat murah atau tidak sebanding dengan jerih payah atau sesuai dengan jenis pekerjaannya. Maka iklim upah murah terhadap para guru dan pegawai kependidikan honorer yang dipraktikkan di Indonesia saat ini sangatlah harus dibenahi dan membutuhkan solusi. Diatasi melalui akad ijarah atau kontrak/sewa , Ijaarah didefinisikan sebagai aqdu ‘ala al manfaah bi iwadin, aqad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajir/pekerja) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujrah dari musta’jir/pengusaha). 

Dengan sejumlah ketentuan ataupun syaratnya dalam Transaksi (akad) ijaarah yang telah ditetapkan syara' di antaranya:
(a) Bentuk dan jenis pekerjaan,
(b) Masa Kerja, 
(c) Upah Kerja dan 
(d) Tenaga yang dicurahkan saat bekerja.

Jika keempat ketentuan tersebut jelas dan disepakati maka kedua belah pihak resmi terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam kesepakatan tersebut. Hadits Rasulullah saw;

اذا استأجر احدكم اجيرا فليعلمه أجره

“Apabila salah seorang diantara kalian mengontrak tenaga seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad Daruquthni)

Jadi terkait guru dan pegawai kependidikan dalam islam statusnya adalah kontrak bukan tetap. Tidak ada perbedaan status seperti halnya honorer ataupun PNS seperti yang terjadi pada sistem hari ini. Kesemua guru atau tenaga kependidikan lainnya yang sudah dikontrak oleh negara akan terus melaksanakan profesinya masing-masing selama antara yang mengontrak dan yang dikontrak dalam hal ini antara pemerintah dan para guru dan tenaga kependidikan tersebut, masing-masing sama-sama masih mampu dan menjaga amanah dalam menjalankan ketentuan dalam pekerjaannya seperti yang telah disepakati dalam akad di awal.

Melalui sistem kontrak akad ijarah ala Islam ini akan menghindarkan segala macam kesenjangan dan ketidakadilan dalam dunia segala macam profesi atau pekerjaan, baik khusus ataupun bersama. Tidak akan ada ceritanya ada guru atau tenaga honorer yang menuntut untuk dinaikkan statusnya jadi PNS atau pegawai tetap negara. Karena semua ditempatkan sesuai dengan akad atau status yang sama dan diberi upah sesuai dengan skill yang dimiliki masing-masing. 

Apabila terjadi persengketaan atas penentuan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang akan menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

قال الله ثلاثة انا خصمهم يوم القيامة ….ورجل إستأجر عجيرا فاستوفى منه ولم يعط اجره

“Allah swt berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi pada hari kiamat… seseorang yang mengontrak pekerja, lalu pekerja tersebut menunaikan transaksinya, namun dia tidak memberikan upahnya.” (Hadits Qudsi riwayat Imam Al-Bukhari)

Upah dalam pandangan Islam merupakan kesepakatan antara ajir (pekerja) dan mustajir (yang memberi upah). Standar yang digunakan untuk menetapkan upah tersebut adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) sesuai dengan skill atau bidang yang diambil oleh tenaga pekerja. Dengan begitu, tidak akan terjadi eksploitasi guru dengan diberi upah yang sangat jauh di bawah standar dan tidak sebanding dengan skill dan pengabdiannya. Semua guru atau tenaga kependidikan akan mendapatkan upah yang sepadan sesuai dengan standar yang berlaku di tengah masyarakat yang telah ditetapkan oleh negara.

Adapun hak-hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak sebagai pegawai negara seperti fasilitas kesehatan atau pendidikan, adalah fasilitas yang memang akan dipenuhi oleh negara atas haknya sebagai warga negara. Fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis akan diberikan oleh negara tanpa memandang status apakah pegawai negara ataukah bukan, pun tidak membedakan apakah beragama Islam atau bukan. Siapapun yang menjadi warga negara dalam sistem Islam Khilafah, maka ia akan mendapatkan berbagai hak yang sama di mata negara dalam pemenuhan dan perlindungan terhadap haknya sebagai manusia. 

Jadi, hanya dengan sistem Islam polemik kesenjangan terhadap guru dan tenaga kependidikan ini akan hilang, karena mereka dapat mendapatkan hak yang sama atas pengabdian dan kontribusinya yang merupakan bagian dari elemen terpenting dalam mencerdaskan anak bangsa.


Dari paparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Nasib yang tidak menentu atas masa depan para GTKHNK 35+ mendorong mereka untuk terus menuntut pemenuhan atas hak asasi manusia khususnya dalam hal pekerjaan (agar diangkat sebagai PNS tanpa test) dan penghidupan (honor dan atau gaji yang setidaknya sama dengan UMK) yang layak bagi kemanusiaan. 

Kedua. Secara lengkap tuntutan GTKHNK 35+ adalah : Pertama, menuntut kepada Pemerintah Pusat untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) agar semua GTKHNK 35+ dapat diangkat menjadi PNS 2020 tanpa tes, sebagaimana Presiden mengeluarkan Keppres kepada Bidan, PTT dan Aparatur Desa. Kedua, bayar gaji UMK bagi tenaga Honorer GTKHNK diatas umur 35 dari disekolah Negeri dan dibayar secara bulanan diambil dari APBN Pusat.

Tuntutan untuk diangkat sebagai PNS, sebenarnya tidak ditolak oleh Pemerintah Daerah, namun Pemda tidak bisa berbuat apa-apa karena pengangkatan PNS menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Ketiga. Cara Islam dalam Memperlakukan guru dan pegawai kependidikan yakni dengan sistem akad ijarah yang statusnya adalah kontrak bukan tetap. Tidak ada perbedaan status seperti halnya honorer ataupun PNS seperti yang terjadi pada sistem hari ini. Melalui sistem kontrak akad ijarah ala Islam ini akan menghindarkan segala macam kesenjangan dan ketidakadilan dalam dunia segala macam profesi atau pekerjaan, baik khusus ataupun bersama. Tabik.[]


Oleh:. Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., (Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar