Perspektif Rempang dari Segi Agraria, Begini Akar Masalahnya


TintaSiyasi.com -- Menjawab pertanyaan bagaimana perspektif Rempang dari segi Agraria? Intelektual Muslim Prof. Fahmi Amhar mengatakan, “Akar masalahnya adalah kapitalisme agraria,” sebutnya di You Tube Fordok 58: Konflik Rempang Investor Diundang Rakyat Ditendang, (21 September 2023).

Ia menyebut, semua ini terjadi karena suka tidak suka, Agraria atau politik pertanahan di negeri ini bukan Pancasila, tetapi kapitalis. Sehingga, tanah yang tidak bersertifikat otomatis menjadi tanah negara, soal ada tidaknya penduduk itu bukan urusan mereka,” tuturnya

“Jadi, negara melalui BPN dapat memberikan hak guna usaha atau hak guna bangunan kepada siapa pun, selama kurang lebih waktu tertentu. Jikalau sudah lewat 80 tahun, balik ke negara lagi, kecuali IKN itu 190 tahun. Karena undang-undang Pokok Agraria sudah diubah menjadi Undang-undang Cipta Kerja," terangnya.

Kemudian ia menjelaskan, negara melalui kementerian dan kehutanan juga berwenang menyatakan sebuah area sebagai kawasan hutan. Jadi bumi ini kalau enggak ada yang punya enggak ada legalitasnya, artinya milik negara semua. Yang kawasan hutannya nanti bisa konsesi.

"Seharusnya waktu menggarisi mana kawasan hutan dan mana kawasan yang bukan, itu melihat sosiologisnya. Maka, hari ini ada 25.863 desa yang berada di dalam atau perbatasan dengan kawasan hutan. Desa kita itu cuman ada kira-kira 84.000. Jadi Rempang ini lebih dari seperempat desa di Indonesia ini, itu kalau di dalam kawasan hutan tersebut dia tidak punya sertifikat," jelasnya.

Ia menyesalkan, nelongso nasib mereka yang ada di berbagai hutan itu. Dan pemerintah pun juga enggak bisa membangun karena itu kawasan harus dilepas dulu ribet lagi lah,”. ungkapnya

Ia memaparkan, pada tahun 2004 PT Makmur Elok Graha  milik Tomy Winata sudah dapat konsesi pengembangan pulau Rempang. Dan itu didukung serta mendapat rekomendasi DPRD setempat. PT MEG ini diberi HGB selama 30 tahun yang bisa diperpanjang hingga 80 tahun. Mereka membayar HGB ini dengan biaya 3,6 triliun. 

“Jadi kalau luasnya kira-kira 16.000 hektar ini sama dengan 160 juta M2, dari 16.000 hektar kalau biayanya 3,6 triliun selama 30 tahun praktis hitungan sewanya Cuma Rp. 750 per meter persegi per tahun,” imbuhnya

Ia menyebutkan, luar biasa murahnya, tetapi sayangnya proyek ini tidak jalan. Pada tahun 2007 terindikasi ada korupsi setelah diperiksa Bareskrim, selanjutnya kasus berakhir menguap. Kemudian, tahun 2023 proyek ini tiba-tiba masuk Program Strategi Nasional (PSN) yang tadinya berjudul Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif (KWTE), ini diubah namanya menjadi Rempang Eko city. Dan Tommy berjanji sampai 2040 di tahap kedua dia siap menggelontorkan 29 triliun dari total 389 triliun, dan dia berjanji 186.000 tenaga kerja. 

“Entah tenaga kerja dari mana itu. Katanya, Tomy mengaku sudah meyakinkan perusahaan Tiongkok Xinyi International untuk berinvestasi kurang lebih 175 triliun. Pada 28 Juli ada mou  menteri investasi di Cina disaksikan oleh presiden Jokowi dan tahap awal 16.000 sekian tadi Xinyi itu minta 1154 hektar clear and clean maka pemerintah memaksa  pembebasan lahan," ungkapnya.

Menurutnya, clear and clean itu ada deadline-nya. Kalau membaca dokumen di Rempang Eko City, secara administrasi pulau Rempang itu masuk ke kota Batam. Dan banyak pulau yang lain itu masuk administrasi kota Batam. Akibatnya apa? masyarakat melawan karena mereka sudah tinggal di sana sejak lebih dari 150 tahun.

"Selanjutnya mereka protes melawan karena enggak ada kompensasi. Katanya mau di relokasi dikasih tanah 500 meter dan rumah tipe 45, tetapi tidak ada tanda-tanda sudah mulai dibangun. 2600 kepala keluarga dipaksa tinggal sementara di rumah susun di kota Batam. Mereka dijanjikan dapat jaminan hidup kurang lebih 1 juta per orang, dan hanya untuk 3 orang per KK, itu pun belum tentu lancar. Sedangkan rencananya, Tomy ini akan menjadikan Rempang menjadi pusat hilirisasi pasir kuarsa untuk produksi kaca dan panel surya. Anehnya harus mengosongkan seluruh pulau," mirisnya.

Ia menambahkan, mintanya cuman 1000 sekian hektar? Nah cuman memang jadi lucu, mereka itu kan sudah tinggal di situ sebelum NKRI ada. Termasuk di Rempang itu? Dan tiba-tiba bisa mereka harus kehilangan semuanya, karena direnggut oleh pemegang hak atau pemegang konsesi. Jadi, ketika pemerintah memberikan izin konsesi kepada PT MEG tahun 2004 itu sudah melanggar hak individu atas tanahnya yang diduduki sudah turun temurun. Nah itu sekarang penghuni asli dipaksa mengosongkan tanah demi investor. Dan itu tanpa keputusan pengadilan. Ini zalim! Hanya penduduk sana belum mengerti soal legalitas tanah. Dan itu PT MEG 19 tahun tidak diapa-apain tanahnya. 

“Di dalam fiqih Islam, dikasih tanah bila dalam tiga tahun tidak digunakan harusnya ditarik lagi, ini sudah 19 tahun? Apakah yang 3,6 Triliun itu dulu sudah dibayar lunas di depan atau enggak ya,” tanyanya.

Ia mengatakan, nanti ke depannya dilihat dari sisi Agraria aturan mainnya harus diubah dan ditambah. Dari sisi teknis negara itu wajib membangun dari sistem informasi seluruh wilayah Indonesia secara adil dan transparan, kata kuncinya ini adil dan transparan. Kalau adil itu tidak boleh terjadi ada desa-desa di dalam hutan lindung. Kawasan hutan enggak boleh ada pembangunan, mereka sampai sekarang tidak mendapatkan listrik. Karena enggak boleh bangun jalan.

“Jadi, kalau masalah Rempang ini dibiarkan nanti saudara-saudara kita di sekian ribu desa tadi tiba-tiba kehilangan eksistensi mereka. Ruang habitat mereka direnggut secara zalim karena mereka tidak punya legalitas,“ pungkasnya. []Titin Hanggasari

Posting Komentar

0 Komentar