TintaSiyasi.com -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menilai negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka.
"Negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka," tuturnya dalam Perss Conference | Demi Investasi, Rakyat dan Tanah Melayu Dikorbankan, di kanal YouTube LBH Pelita Umat, Ahad (17/9/2023).
Ia menilai bahwa Pemerintah yang mengutamakan investasi dengan mengorbankan rakyat dan tanah melayu Rempang adalah kebijakan kapitalistik dan kebijakan zalim serta melanggar hukum ini harus segera dihentikan. "Kami mendesak pemerintah agar proyek Rempang Eco-City dicabut sebagai proyek strategis nasional (PSN)," tegasnya.
Dia merasa heran dengan Pemerintah yang terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengorbankan masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang. "Kebijakan dzalim bertentangan dengan konstitusi yang memerintahkan negara untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pemerintah Negara Indonesia mesti melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia," paparnya.
Chandra mengatakan seluruh komponen harus dilindungi mulai dari rakyatnya, kekayaan alam Indonesia, kebudayaan, sampai nilai-nilai negara Indonesia harus dipertahankan. Hal-hal tersebut masuk ke dalam tujuan negara Indonesia berupa perlindungan.
Ia menyampaikan, mengutuk keras bilamana ada tindakan represif, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh tim gabungan terhadap masyarakat Pulau Rempang dan Galang, sehingga masyarakat mengalami cedera, trauma dan kerugian materi.
"Dinamika pengerahan alat negara berupa aparat keamanan dalam kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat menunjukkan dukungan penuh negara terhadap investasi, serta tidak adanya keberpihakan pada masyarakat yang telah menempati tanah tersebut lintas generasi," urainya.
Lebih jauh dia memaparkan, rakyat Melayu Rempang memiliki hak atas tanahnya. Mereka telah menempati ratusan tahun lamanya, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Hal ini berdasarkan dari Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit/Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
"Dalam Perang Riau I (1782 - 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah ( salah seorang Pahlawan Nasional ). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan. Hal ini juga diuangkap dalam sejumlah arsip kolonial Belanda berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930)," paparnya.
"Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930. Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah untuk menghormati hak tanah ulayat adat melayu (kampung tua) dan memberikan kemudahan bagi rakyat untuk mengurus administratif dan pengelolaan. Sebagaimana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria," pungkasnya.[] Alfia Purwanti
0 Komentar