Keterpilihan Penguasa Bukan Berdasarkan Kualitas tetapi Isi Tas



TintaSiyasi.com -- Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana, S. P., M. E. blak-blakan soal keterpilihan penguasa dalam demokrasi tidak berdasarkan kualitas melainkan isi tas.

"Keterpilihan mereka bukan berdasarkan kualitas tetapi berdasarkan isi tas. Enggak peduli isi kepalanya apa yang penting isi tasnya banyak. Isi kepalanya kosong enggak masalah, yang penting tasnya berisi. Kita lihat penguasa hari ini apa isi kepalanya?" ujarnya di YouTube Khilafah News,  Kabar Petang: Semahal apa Ongkos Jadi Presiden? Rabu (06/09/2023).

Dia pun menyinggung realita pemimpin sekarang di mana kualitasnya nampak dengan keplonga-plongoannya itu dengan segala macam persoalan. Hal itu terbukti ketika pemimpin sering mengatakan Yo ndak tahu kok nanya saya. Erwin menyebut urusan masyarakat saja enggak tahu dan sama sekali enggak mau mengerti. Pemimpin yang tidak mengerti tentang urusan orang banyak menunjukkan kriteria pemimpin yang sangat tidak capable.

"Minta didemo, giliran didemo dia malah foto-foto dengan selebritis, foto-foto dengan bebek ke Kalimantan ketika masyarakatnya mengunjungi dia," ujar dia.

Tidak hanya kebetulan saja, Erwin mengungkap keberadaan pemimpin itu disokong oleh orang-orang yang memiliki isi tas penuh kemudian dia menjadi pemimpin dengan segala macam keplonga plongoanmya. Namun semua ini akibat sistem politik demokrasi.

Menurutnya, dalam demokrasi siapa saja yang mampu membiayai orang-orang yang mempunyai popularitas di tengah-tengah masyarakat maka dia akan jadi.

"Jadi politik itu dibebankan berdasarkan uang, bukan berdasarkan konsep, bukan berdasarkan moral. Enggak penting dia punya moral atau tidak punya moral, punya pengetahuan atau tidak punya pengetahuan enggak penting. Yang penting punya uang," tegas Erwin.

Kemudian, lanjutnya, mereka membangun citranya sedemikian rupa sebagai wong ndeso, sebagai wong cilik yang berpihak kepada masyarakat. Dengan sudut kamera yang tepat dengan momentum-momentum yang pas.

"Dengan mimik-mimik yang bisa direkayasa sedemikian rupa mereka mencitrakan dirinya sebagai orang yang pro kepada masyarakat tetapi sekali lagi itu hanya citra," ungkapnya.

Politik Kemunafikan

Direktur PAKTA mengatakan hakikat dari pencitraan adalah kemunafikan.

"Jadi, politik demokrasi itu politik kemunafikan. Berbuat harus ada kameranya, bahkan ingin shalat pun itu disorot dengan kamera. Enggak peduli cara shalatnya salah atau betul. Cara tayamumnya juga harus direkam, enggak peduli cara tayamumnya benar atau salah. Tujuannya adalah meraih dukungan manusia dengan segala macam ketidakmampuan, dengan segala macam kekosongan isi kepala. Enggak peduli benar atau salah tanpa ada rasa malu sama sekali," ujar Erwin.

Erwin menegaskan mengurus masyarakat itu harus dengan basis kapasitas, kapabilitas dan ikhlas. Bukan berdasarkan kepada pencitraan. Akhirnya siapa yang bisa melakukan pencitraan, dia yang berkuasa. Popular, populis, terkenal di tengah-tengah masyarakat akan jadi penguasa. Ya akhirnya banyak dari kalangan selebritis yang sangat pandai main akting di depan kamera, dia mengerti apa yang dia perankan tanpa dia paham cine drama yang ia lakoni, ia betul-betul boneka saja, betul-betul hanya wayang saja di depan kamera, tanpa dia paham apa yang ia lakukan.

"Orang-orang seperti ini kalau terkenal akhirnya menjadi politisi, menjadi anggota dewan menjadi kepala daerah itu mudah. Ngeri lagi kalau dia sebagai anggota dewan sekaligus sebagai kepala daerah dia akan memainkan peran panggung tanpa dilandasi oleh kesadaran penuh untuk mengurus masyarakat yang akan dimintai pertanggungjawaban dunia dan akhirat," tandasnya. 

Ia menyebut praktek politik yang menyadari pertanggungjawaban dunia dan akhirat seperti di atas adalah politik nilai. Yaitu politik yang dibangun di atas nilai ideologi yakni ideologi islam," tutupnya.[] Heni

Posting Komentar

0 Komentar