Kekeringan Ekstrem Melanda, Antara Faktor Alam dan Serakahnya Kapitalisme


TintaSiyasi.com - Seakan sudah menjadi tradisi tahunan, bencana kekeringan kembali melanda banyak wilayah di Indonesia, dalam pembahasan ini terkhusus dari wilayah Jawa Barat, Kabupaten Karawang. Kini, tercatat dalam wilayah kekeringan tersebut sudah semakin meluas hingga melanda 13 desa yang tersebar di empat kecamatan sekitar Karawang. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah! (BPBD) Karawang, Ferry Muharam, di Karawang, Minggu, 10 September 2023.

Sepekan sebelumnya, dilaporkan terdapat 8 desa yang dilanda kekeringan. Namun kini jumlah desa yang dilanda kekeringan kian meluas, hingga 13 desa. Ferry menyampaikan di 13 desa yang tersebar di empat kecamatan itu tercatat 6.301 keluarga atau 16.289 jiwa yang terdampak bencana kekeringan. Adapun upaya tindak lanjut yang dilakukan dari BPBD Karawang berserta PMI dan Perumdam Tirta Tarum Karawang, dikabarkan kini masih terus mendistribusikan air bersih ke daerah yang dilanda kekeringan.

Kendati demikian persoalan ini akhirnya menimbulkan pertanyaan yang juga selalu berulang setiap tahunnya yang ikut menghinggapi benak kita, mengapa bencana kekeringan hingga berdampak pada krisis air untuk berbagai sektor kebutuhan penting masyarakat ini selalu terjadi? Terlebih di wilayah Karawang yang notabene daerah berlimpah sumber cadangan air seperti sungai, bendungan dan irigasi, seharusnya dapat berpengaruh pada pasokan air yang juga berlimpah. Apakah ini murni faktor alam ataukah justru ada faktor lain yang mempengaruhinya lebih dari itu?


Mengulik Dampak dan Akar Masalah

Sebagaimana dalam pembahasan di muka, kian meluasnya wilayah kekeringan di kabupaten Karawang ini menimbulkan dampak yang cukup signifikan pada berbagai sektor kehidupan masyarakatnya. Diantaranya berdampak besar pada sektor pertanian, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menyebutkan lebih dari 1.000 hektare areal persawahan mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang, (republika.id). Sebagaimana juga diketahui Karawang terkenal dengan sebutan sebagai kota lumbung padi, maka artinya dampak kekeringan terhadap pertanian ini dapat mengancam sumber ketahanan pangan, maupun kondisi perekonomian masyarakat, baik secara material maupun secara finansial.

Selain dari itu, dampak lain juga dilaporkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menyebutkan desa-desa yang tersebar di empat kecamatan dilanda kekeringan atau krisis air bersih akibat kekeringan di musim kemarau panjang ini, dilanda kekeringan atau mengalami krisis air bersih, yakni Desa Parungmulya Kecamatan Ciampel dan di Desa Wanakerta Kecamatan Telukjambe Barat. Kemudian tiga desa di Kecamatan Pangkalan, yakni Desa Tamanmekar, Jatilaksana dan Desa Kertasari serta tiga desa lagi di Kecamatan Tegalwaru, yakni Desa Cigunungsari, Cintalanggeng, Desa Kutalanggeng dan beberapa desa lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di desa-desa tersebut BPBD Karawang melakukan pengiriman air bersih setiap hari, dengan menggunakan mobil tangki.

Sungguh ironis untuk disaksikan, Karawang yang sejatinya sangat kaya akan sumber air seperti: sungai, danau, bendungan, padang rumput (pada kawasan industri), waduk, irigasi bahkan pengunungan Loji dan pesisir laut yang terbentang ini, setiap tahun harus menghadapi krisis air yang cukup parah untuk kebutuhan sehari-hari penduduknya. Lantas apa yang menyebabkan segala potensi tersebut tidak mampu menopang kebutuhan akan pasokan air pada musim kemarau seperti sekarang? Selain berdampak mempersulit kebutuhan mandi, cuci dan minum, kondisi kekeringan ini juga dapat meningkatkan polusi udara Karawang yang akhir-akhir ini sudah menunjukkan kondisi yang tidak sehat, sebab kekeringan juga berdampak matinya banyak tanaman yang berfungsi sebagai agen yang memproses gas karbondioksida untuk dijadikan oksigen bagi kehidupan manusia.

Sejatinya jika kita ulik secara mendalam, kekeringan adalah salah satu masalah cabang yang diciptakan oleh penerapan ideologi kapitalisme di negeri ini, sebab dalam paradigma sistem kapitalisme sumber daya alam boleh dikelola atau diprivatisasi oleh pihak swasta, demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Termasuk sumber-sumber air seperti hutan, padang dan lahan-lahan lainnya sebagai tempat terbaik bagi resapan air, dan penguasaan sumber mata air oleh swasta dengan cara masif melalui legalisasi penguasa, dan atas nama investasi. 

Padahal sumber daya alam seperti hutan memiliki peranan penting dalam mengatur kondisi iklim di bumi, melalui siklus karbon hutan yang ada di bumi mampu menyerap sebanyak 30% dikontribusikan dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, namun kini habitat hutan di Indonesia makin berkurang meski laju deforestasi berhasil ditekan. Inilah bentuk nyata liberalisasi dan kapitalisasi berbagai sumber daya alam yang menyebabkan perubahan suhu iklim menjadi lebih panas.

Pada realitasnya pemerintah Kabupaten Karawang tampak jor-joran dalam memberikan izin investasi kepada para investor swasta/asing, melalui masifnya berbagai pembangunan pabrik-pabrik, perumahan, mall dan pembangunan gedung di Karawang, yang mengakibatkan kian habisnya wilayah resapan air yang tidak lagi dapat menyimpan cadangan air di dalam tanah. Hal tersebut tentu juga mempengaruhi iklim Karawang yang semakin sulit mendapatkan hujan. Belum lagi ditambah sejumlah pembuangan limbah pabrik di sembarang tempat, yang kemudian mengakibatkan kurangnya pasokan air bersih terhadap kelangsungan hidup ekosistem alam, kehidupan masyarakat dan aktivitas pertanian. 

Kondisi ini diperparah dengan minimnya DAS (Daerah Aliran Sungai) yang idealnya tersedia dan kosong bangunan yang berjarak sekian meter dari aliran sungai, fungsinya sebagai cadangan air yang terserap ketika musim hujan dan banjir tiba, sehingga sungai-sungai yang mengalir di Karawang akan tetap memiliki cadangan air yang cukup ketika musim kemarau melanda. Adapun keberadaan irigasi-irigasi yang ada, juga sangat bergantung pada jumlah ketersediaan air di aliran sungai citarum yang dimanfaatkan untuk pengairan sawah, tambak dan pembangkit tenaga listrik di Kabupaten Karawang. Maka ketika musim kemarau datang pasokan air yang ada di irigasi sangat terbatas pada jumlah dan kondisi air dari sungai dan waduk sebagai sumber pemasoknya. Jadi persoalan kekeringan ini bukan lagi sekadar dipengaruhi oleh faktor alam, namun lebih dari itu yakni tata kelola yang bermasalah, liberalisasi dan kapitalisasi sumber daya alam merupakan pemicu utamanya. Oleh karena itu, musibah kekeringan parah dan berakibat pada krisis air ini akan terus melanda wilayah dan masyarakat Indonesia hingga dunia, selama mereka masih diurus dengan sistem kapitalisme yang diterapkan.


Islam Solusi Tunggal Atasi Masalah Kekeringan

Memang, dalam teorinya kekeringan terjadi bisa karena beberapa faktor yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, Indonesia misalnya dengan letak geografis di antara dua benua dan juga dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsun tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim el nino yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Jika kondisi suhu permukaan laut di Pasifik ekuator bagian tengah hingga Timur menghangat, maka kecenderungan akan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah, bergesernya awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan. (Sumber MMC video)

Untuk menangani masalah kekeringan ini, Pemerintah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan tengah melakukan berbagai langkah dan upaya, selain penyaluran air bersih ke desa-desa yang terdampak, untuk sektor pertanian pemerintah daerah juga melakukan penambahan pengairan, pompanisasi, percepatan masa tanam, hingga penanaman varietas unggul tahan kekeringan. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Asep Hazar mengatakan dampak kemarau dan adanya fenomena El Nino tidak terhindarkan, namun pemerintah mengatasi sebaik mungkin agar petani tetap dapat menanam dan memanen padi. Namun, dalam pandangan penulis kesemua langkah tersebut lagi-lagi hanya bersifat parsial dan bentuk dari solusi tambal sulam, artinya tidak akan mampu menjadi solusi tuntas dalam menghadapi permasalahan kekeringan ini.

Lantas solusi apa yang seharusnya dan terbaik dan dalam sudut pandang Islam, yang benar-benar akan menjadi solusi hakiki dalam mengatasi bencana kekeringan ini? 

Islam sebagai pembanding ideologi kapitalisme mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan kekeringan ini secara tuntas, mengakar dan menyeluruh, sebab Islam diturunkan bukan sekedar sebagai agama ritual melainkan sebagai sistem kehidupan yang mempunyai aturan lengkap yang diterapkan secara praktis oleh sistem pemerintahan yang bernama khilafah. Islam memandang bahwa bumi dan seisinya diciptakan oleh Allah ta'ala untuk kepentingan manusia. Hutan dan sumber-sumber mata air, sungai danau dan lautan secara umum dipandang sebagai sarana milik umum. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:

“Kaum Muslim berserikat dalam 3 perkara yaitu padang, rumput atau hutan air, dan api” (hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad).

Jadi, dalam pandangan Islam status hutan dan sumber-sumber mata air danau sungai dan laut sebagai harta milik umum, sehingga tidak dibenarkan diserahkan kepada dan dimiliki oleh individu ataupun swasta. Akan tetapi tiap individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatannya. Negara tidak berwenang memberikan hak konsesi atau pemanfaatan secara istimewa khusus atas hutan sumber-sumber mata air, sungai danau dan laut kepada individu/swasta, karena konsep seperti itu tidak dikenal di dalam Islam. Negara wajib hadir sebagai pihak yang diamanahi Allah subhanahu wa Ta'ala yakni bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pengelolaan harta milik umum, yang hasilnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Imam atau khalifah adalah raain dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya“ (hadis riwayat al-bukhari).

Dengan Islam, fungsi hutan sebagai stabilitator iklim dunia akan berjalan secara maksimal, selain itu dalam tatanan pandangan Islam negara berkewajiban mendirikan industri air bersih yang sedemikian rupa agar terpenuhinya kebutuhan air bersih bagi setiap individu. Negara akan melarang pembangunan maupun eksploitasi lahan industrialisasi yang berlebihan dan tidak memperhatikan lingkungan. Sebab kaum muslimin menyadari bumi memiliki Qadar/sifat yang akan mengalami bencana alam akibat siklus alamnya, maka untuk mengantisipasi kekeringan akibat faktor alam khilafah akan mengambil tindakan secara teknis akademis dan keahlian. 

Secara teknis, tindakan yang dilakukan oleh negara yaitu melibatkan badan meteorologi klimatologi dan geofisika. Negara khilafah akan memilih tim terbaik yang terdiri dari para ahli dan pakar yang diberdayakan untuk melakukan kajian menyeluruh, cepat dan akurat. Melakukan pemetaan wilayah sesuai dengan iklim serta kondisi cuacanya. Melakukan pengkajian atas faktor-faktor penyebab kekeringan, seperti; apakah karena faktor adanya penyimpangan iklim, adanya gangguan keseimbangan hidrologis, atau berupa kekeringan agronomis, maka negara akan memerintahkan para ahli untuk merancang mitigasi dan solusi yang dibutuhkan untuk menghadapi kondisi ekstrem. Baik bersifat jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang dalam bentuk hasil kajian riset dan direkomendasi tim ahli.

Selain penyelesaian secara teknis, khalifah juga bertindak non-teknis, yakni Khalifah akan memimpin dan mengajak rakyatnya untuk memohon kepada Allah ta'ala, mendekatkan diri pada Allah, bertaubat dengan meninggalkan berbagai kemaksiatan agar pertolongan Allah segera datang. Baik melalui shalat istisqa' bersama, dan berdoa di waktu-waktu mustajab agar Allah menurunkan hujan untuk kemaslahatan manusia. Hal itu pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu a'laihi wasallam ketika Madinah mengalami kekeringan, begitu pun di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab saat musim kemarau parah yang mendatangkan kelaparan, beliau mengajak penduduk Madinah untuk memperbanyak istighfar dan bertaubat dari kemaksiatan, serta melakukan salat istisqa' di lapangan yang kini dibangun masjid, untuk berdoa agar Allah segera menurunkan pertolongan dengan diturunkan-Nya hujan. Seketika itu, hujan langsung turun begitu deras mengguyur kota Madinah.

Dengan demikian maka para penguasa negeri yang bermayoritaskan muslim ini seharusnya dapat mengambil jalan serupa, menjadikan Islam sebagai landasan jalannya sistem pemerintahan negara. Agar segala macam persoalan termasuk masalah kekeringan ini mampu diselesaikan dengan solusi tuntas, menyeluruh, dan hakiki.

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al-A'raf: 96).

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Liza Burhan
Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar