Penambahan Masa Jabatan Pemimpin KPK Menguatkan Citra Buruk Demokrasi

TintaSiyasi.com -- Kasus korupsi seolah-olah telah menjadi darah dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sekalipun dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata itu tidak bisa membuat tikus berdasi berhenti mengambil hak rakyat untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Terlebih Jumat (26 Mei 2023) lalu Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan keputusan yang kontroversial. Mereka mengabulkan gugatan pimpinan KPK yang meminta perpanjangan masa jabatan selama satu tahun. Karena itu, Ketua KPK Firli Bahuri dan kawan-kawan mendapatkan tambahan setahun sampai 24 Desember 2024. 

Inilah membuat kegaduhan publik, banyak yang mempertanyakan untuk apa penambahan masa jabatan itu? Siapa yang diuntungkan dari penambahan masa jabatan ini? Mengapa MK begitu mudah mengabulkan ajuan penambahan masa jabatan? Ada apa di balik semua ini? Walaupun banyak publik yang mempertanyakan, pemerintah belum memperbaiki aturannya. Ada beberapa catatan terkait penambahan masa jabatan KPK.

Pertama, penambahan masa jabatan berpotensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Dalam demokrasi kapitalisme diciptakan banyak aturan bukan untuk menyejahterakan, tetapi untuk mengamankan kekuasaan mereka. Bahkan, mereka tidak malu-malu untuk membuat aturan baru atau gonta-ganti aturan demi mengamankan kepentingan mereka. Tetapi, ketika ditawarkan aturan Islam sebagai solusi problematik kehidupan, mereka tidak mau menerimanya.

Kedua, penambahan masa jabatan mengonfirmasi keserakahan mereka terhadap tahta yang ingin didapatkan. Spirit berkuasa sejatinya adalah untuk menjalankan amanah rakyat yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Tetapi, mungkinkah itu terwujud jika aturan diciptakan berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan yang berkuasa? Bisa jadi mereka menjabat untuk kepentingan golongannya. Sekarang jika motivasi mereka menjabat adalah untuk rakyat, mengapa mereka tidak ridha ketika harus melepaskan jabatannya?

Ketiga, tidak ada tolok ukur benar ataupun salah dalam demokrasi kapitalisme. Semua standar benar dan salah yang menentukan manusia yang bersepakat. Di sinilah letak akan terjadi praktik persekongkolan, nepotisme, kolusi, dan korupsi demi memenuhi kepentingan golongan. Sekalipun keputusan perpanjangan masa jabatan dikritik banyak pihak, mereka justru bergeming.

Inilah citra buruknya penerapan hukum di negeri ini. Spirit pembuatan dan penerapan hukum sekuler dan liberal kental mewarnai dunia perpolitikan hari ini. Mereka mengidap islamofobia, lebih suka membuat aturan yang bisa diganti-ganti sesuai kepentingan daripada menerapkan sistem Islam yang bisa meminimalisir tindak kejahatan di segala aspek kehidupan. Selain itu, hukum Islam mampu diterapkan di sepanjang zaman.

Meminimalisir Korupsi

Mustahil lahir pejabat pro umat dalam rahim demokrasi. Pasalnya para kandidat tidak bisa dilepaskan dari oligarki dan para pemilik modal. Kontestasi politik yang begitu mahal meniscayakan keterlibatan para pemilik cuan dan dukungan penuh oligarki, terjadinya politik transaksional, yaitu jual beli jabatan dan jual beli kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka. Maka Tak heran kebijakan hanya berputar pada kepentingan korporasi sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa. Sehingga bisa dipastikan bahwa pejabat yang lahir dari sistem demokrasi tidak akan pernah melayani umat kecuali hanya sedikit yang itu pun hanya untuk politik pencitraan.

Sebaliknya mereka akan berusaha memperlama masa jabatan untuk dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya. Karena dalam sistem demokrasi, jabatan dan kekuasaan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri dan memfasilitasi para pengusaha yang menjadi para penguasa sejati untuk mencapai tujuannya sendiri bukan untuk kepentingan rakyat.

Hal inilah yang membuat celah bagi para sponsor atau pemilik modal untuk terlibat dalam memenangkan pemilu tak heran saat terpilih para penguasa berlomba-lomba mengembalikan modal pemilu dengan berbagai cara termasuk korupsi. Uang hasil korupsi tersebut biasanya juga akan dipakai untuk memenangkan pemilu di periode selanjutnya. 

Dalam pemerintahan Islam politik yang diterapkan khilafah adalah politik Islam, yakni mengurus urusan umat dengan menggunakan hukum-hukum syariah. Maka kekuasaan yang ada digunakan untuk melayani Islam sebagaimana yang diminta oleh Rasulullah SAW kepada Allah SWT,

ÙˆَÙ‚ُÙ„ْ رَّبِّ اَدْØ®ِÙ„ْÙ†ِÙŠْ Ù…ُدْØ®َÙ„َ صِدْÙ‚ٍ ÙˆَّاَØ®ْرِجْÙ†ِÙŠْ Ù…ُØ®ْرَجَ صِدْÙ‚ٍ ÙˆَّاجْعَÙ„ْ Ù„ِّÙŠْ Ù…ِÙ†ْ Ù„َّدُÙ†ْÙƒَ سُÙ„ْØ·ٰÙ†ًا Ù†َّصِÙŠْرًا


Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku).
(QS. Al-Isra': 80)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengutip dari Qatadah untuk menjelaskan ayat tersebut beliau mengatakan,

"Nabi SAW amat menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau meminta kekuasaan agar bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudud Allah, menjalankan berbagai kefardhuan Allah dan menegakkan agama Allah."

Dengan kata lain, kekuasaan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari akidah dan syariah bahkan kekuasaan dipandang sebagai metode untuk menerapkan syariat Islam. Karena itu kekuasaan dalam Islam bukan hal yang diperebutkan bahkan dikatakan sebagai kehinaan. Sebab ketika seseorang di baiat untuk menjadi pemimpin kaum Muslimin sedangkan mereka tidak mampu untuk hal itu atau bahkan berbuat kecurangan, maka akan ada pertanggungjawaban kelak di akhirat. 

Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum Muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim)

Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Abu Dzar ra," Wahai Abu Dzar sungguh engkau itu lemah, sungguh jabatan atau kekuasaan itu adalah amanah. Sungguh amanah kekuasaan itu akan menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambil amanah kekuasaan tersebut dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya." (HR. Muslim)

Begitulah dorongan ruhiyah atau kesadaran dari sisi individu ketika ingin mengambil amanah atau saat menjalankan amanah tersebut. Dia tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming duniawi untuk memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Sehingga kekuasaan dalam Islam akan dipegang oleh orang yang kompeten, ahli di bidangnya dan sosok negarawan. Adapun secara mekanismenya, khilafah akan memastikan beberapa hal agar para pegawainya tidak melakukan keculasan, yakni khilafah akan menjamin setiap pegawainya tercukupi kebutuhan pokok mereka secara tidak langsung dan menjamin kebutuhan dasar publik mereka secara langsung.

Khilafah juga akan melakukan monitoring jumlah kekayaan pejabat agar jika ada kelebihan harta tidak wajar dari pejabat, maka khilafah akan menindak dengan cepat dan tegas. Dalam khilafah juga ada mekanisme muhasabah atau mengoreksi penguasa atau pegawai negara. Aktivitas tersebut merupakan aktivitas wajib bagi seorang Muslim. Karenanya masyarakat khilafah adalah masyarakat yang gemar melakukan amar makruf nahi mungkar. Demikianlah khilafah mengatur agar individu, masyarakat dan negara memiliki kesadaran politik yang sahih sehingga terwujud kebaikan dari penerapan syariat Islam secara kaffah.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) dan Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar