Road to 2024 (12): Anies Disambut, Anies Disambit



TintaSiyasi.com -- Rasanya kehadiran Anies Baswedan di Jawa Timur seperti ustaz yang dituding radikal. Muncul spanduk penolakan dan sms blast dari Bawaslu. Kedatangan Anies ke Jawa Timur secara tidak langsung ke kandang banteng dan taman hijau tetangga. Apa mau dikata, publik fans Anies tak mengindahkan itu semua. Anies sementara ini dituding oleh rival politik sebagai politik identitas. Alhasil, semua pun bersiaga dan mengamankan tempat ibadah. Padahal secara konstitusi, Anies belumlah resmi dan terdaftar di KPU sebagai Capres atau Cawapres pemilu 2024.

Tak hanya menuai kontroversi di publik Jawa Timur. Sekjend PDI-P Hasto meyindir jika kunjungan Anies ke Surabaya sepi. Tak banyak sambutan dan kehadiran publik. Sindiran itu pun dibalas partai Nasdem dan menampik tudingan yang tak berdasar. Maklum, dalam politik ini hal yang biasa sebagai bagian dari ‘psywar’ untuk meramaikan opini publik. Tujuannya untuk memenangkan dukungan dan siapa yang lebih peduli kepada urusan ini.

Jawa Timur masih menjadi barometer politik nasional. Hitungan politik di sini masih kuat. Tak heran jika Relawan Ganjar juga turut merumput di Jawa Timur. Apalagi Cak Imin pun sudah menjejakkan kaki di sini lama demi mendapat restu dari ulama. Meraih hati dan publik Jawa Timur dalam kontestasi politik 2024 adalah keniscayaan. Kondisi masyarakat yang taraf politiknya menengah ke atas. Anak mudanya pun cerdas dan cadas dalam menyampaikan pendapat. Serta pengalaman masyarakat Jawa Timur yang berkiprah di dalam dan luar negeri. Sosiologi politik inilah yang tampaknya masih menjadi hitungan politisi dan partai politik untuk meraih suara di sini.

Anies Disambut dan Disambit

Ibaratakan sebuah operasi, Anies disambit ini sabotase. Seolah ingin membungkam gelora rakyat yang menginkan kehadiran sosok pemimpin sepertinya. Hati dan suara rakyat tidak bisa dibohongi, meski kekuasaan sedemikian rupa menggerus gelora hati umat. Buktinya, kemunculan sms blast atas nama Bawaslu pun saling lempar antara Surabaya dan Jawa Timur. Seolah ingin cuci tangan tak ingin mencoreng institusi pengawas pemilu yang tupoksinya memang sudah dikerjakan.

Penolakan Anies ini seolah memaksakan Jawa Timur hanya satu warna. Kalau tidak merah ya hijau. Lantas, di mana jargon Bhineka Tunggal Ika? Serta pluralitas politik dan bebas menentukan pilihan? Terkadang lucu politisi itu. Tak ingin lahannya dimasuki lawan dan mengambil sikap garang untuk menolak. Bahkan kalau bisa diusir. Sungguh permainan politik Machiavelli dalam politik demokrasi yang basi.

Lain halnya penyambutan Anies di beberapa daerah. Bahkan Manis (Madura Anies) menggelar acara bersama ulamanya. Secara geografis Madura masih bagian dari Jawa Timur, namun memiliki ragam pilihan politik yang unik. Peran sentral ulama masih jadi penentu. Hal ini bisa dilihat pada Pilpres 2019 yang ulama Madura condong ke pasangan Prabowo-Sandi. Hasilnya pasangan itu meraih suara terbanyak di Madura.

Penyambutan Anies dengan tangan terbuka oleh elemen masyarakat Jawa Timur bisa dianalisis sebagai berikut:

Pertama, hidupnya kembali elemen yang pada pilpres 2019 berbalik arah mendukung Anies yang dianggap merepresentasikan pemimpin sosok muslim. Harus diakui identitas apapun tidak bisa dihindarkan dari kontestasi politik. Partai politik, secara sadar, memiliki identitas nasionalis, religius, dan agamis. Itu pun kerap terlontar dari ucapan pengurusnya.

Kedua, Anies secara intelektual dan pengalaman politik dianggap cukup mumpuni. Latar belakang keturunan dari seorang pahlawan kemerdekaan (Rasyid Baswedan) menjadi entry poin dari sosio-historisnya. Rakyat menganggap, kepemimpinan ke depan perlu ada pergantian. Tampaknya rakyat merasakan kegetiran yang mendalam selama dua periode kepemimpinan. Ini menjadi alasan wajar.

Ketiga, Anies mampu memikat kelompok muda intelektual. Secara survey Anies masih menjadi primadona dan kuda troya bagi calon lainnya. Keintelektualan Anies ini terwujud dengan hadirnya banyak di forum lokal, nasional, dan internasional. Bahasa Inggrisnya pun sangat mumpuni dan menjadi daya tarik dalam komunikasi. Ini poin kecerdasan berbahasa yang dimilikinya.

Keempat, pilihan orang-orang waras dan cerdas tentu bertumpu pada sosok yang mumpuni dari leadership hingga urusan pemerintahan. Modal kesuksesan Gubernur Jakarta bisa jadi tangga naik ke kelas berikutnya. Meski demikian perlu juga sosok itu diikuti sistem yang baik dan mumpuni.

Publik pun tampaknya tak bisa menahan gelora jika perubahan itu harus segera. Memang setiap masa kepemimpinan ada baik dan buruknya. Jika keburukan itu nyata dan terus bertabur setiap saatnya, lantas apa predikat yang tepat untuk model kepemimpinan seperti itu? Publik pun berharap perubahan melalui jalur pemilihan. Padahal ada perubahan yang tak harus konstitusional dan non-formal, serta tanpa kekerasan. Inilah yang juga perlu diperhatikan.

Pelajaran dari Riuh Kontestasi

Rakyat dalam sub struktural kenegaraan posisinya masih di kelas bawah. Sistem politik demokrasi lebih mengunggulkan pemilik modal. Banyak pula aturan perundang-undangan yang dikangkangi kapitalis. Pun demikian dalam setiap kontestasi oligarki itu menggelontorkan dana tak terbatas untuk sebuah pemenangan.

Okelah sementara ini rakyat berharap pada sosok yang ideal dalam memimpin Indonesia ke depan. Rakyat juga harusnya berfikir sistem apa yang terbaik untuk menghadirkan pemimpin dan pejabat yang baik? Lebih-lebih pemimpin dan pejabat yang takut hanya kepada Allah. Penguasa yang menaati Allah dan Rasul-Nya.

Kondisi ini tidak bisa terlepas dari problematika kebangsaan yang pelik dan penuh polemik. Politisi berebut kekuasaan. Sementara rakyat terus berada dalam ketertindasan. Bukankah rakyat pemilik kekuasaan sejati? Posisi inilah yang harus diambil rakyat agar tidak diam dan terbujuk rayu politisi gadungan yang memperalat kekuasaan. Alhasil, rakyat perlu dipandu dan disadarkan dengan politik dan sistem kenegaraan yang sahih. Syukur-syukur sistem itu berlandaskan keilahian dan menjadikan Allah sebagai sandaran.[]

Oleh: Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar