Menurutnya, hal itu patut ditelusuri. Ia mempertanyakan, dengan penghasilan sebagai pegawai negeri dengan berbagai tingkatan eselon, apa mungkin punya kekayaan sefantastis itu?
Lebih lanjut ia mengatakan, gaji mereka berasal dari pungutan harta rakyat, kaya maupun miskin. Sekalipun itu bisa jadi hasil nafkah mereka, tapi mestinya ada kode etik yang dipahami kalau hal itu menyakiti hati publik selaku pembayar pajak.
Ia menjelaskan, "Negara ini sudah punya kelengkapan aparat untuk mencegah abuse power di sektor keuangan; ada PPATK, ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPK, belum lagi audit internal. Mestinya peluang terjadinya korupsi dan gratifikasi bisa dicegah. Belum lagi ada mekanisme LHKPN yang harusnya dilakukan dengan ketat, ada sanksi yang dijatuhkan bila ada pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaan mereka."
"Sayangnya sejauh ini masih banyak pejabat negara termasuk anggota dewan yang tidak melaporkan harta kekayaan mereka. Lalu, harta kekayaan ini harusnya ditelusuri asal muasalnya. Nah, apakah mekanisme itu dilakukan atau tidak?" imbuhnya.
"Namun, sebagus apapun mekanisme dan aturan yang ditegakkan akan percuma kalau para pejabat yang berwenang masuk dalam kultur kolusi dan korupsi. Yang muncul adalah saling melindungi, atau menumbalkan satu atau dua orang untuk menyelamatkan jejaring kolusi itu," pungkasnya.[] Witri Osman
0 Komentar