Tiga Pelajaran Penting dari Gempa Turki untuk Indonesia


TintaSiyasi.com — Pengamat Peradaban Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar membeberkan tiga pelajaran penting dari peristiwa gempa dahsyat di Turki untuk Indonesia.

“Saya kira ada tiga yang harus kita kita jadikan pelajaran,” tuturnya ketika menerangkan Kabar Petang: Pelajaran untuk Indonesia dari Bencana Gempa di Turki, di YouTube Khilafah News, Selasa (14/2/2023).

Pertama, di daerah yang teridentifikasi sebagai daerah gempa, semua bangunan harus dibangun dengan konstruksi tahan gempa dan itu tidak ada tawar-menawar. “Gempa itu sebenarnya yang jadi persoalan bukan gempanya, tetapi robohnya struktur bangunan. Robohnya gedung-gedung yang menimpa orang di dalamnya,” paparnya.

Prof. Fahmi, sapaan akrabnya, mengulas terkait gempa di Turki, yaitu ketika banyak gedung-gedung tinggi, apartemen-apartemen yang lebih dari 5 lantai dan 10 lantai roboh semua. "Tetapi, kadang juga tampak di samping gedung yang roboh itu ada gedung yang tidak retak sama sekali," herannya.

“Berarti persoalannya adalah kekuatan dari gedung itu. Jadi, rupanya banyak gedung yang dibangun dengan konstruksi yang tidak tahan gempa. Sama seperti di Cianjur tempo hari. Rupanya, karena
pertimbangan ekonomi ya mungkin, lebih murah, sehingga orang kemudian mengabaikan kekuatan bangunan,” ulasnya.

Lebih jauh Profesor itu menjelaskan, mengabaikan kekuatan bangunan, bila terjadi pada bangunan publik, merupakan suatu pelanggaran. Menurutnya, seharusnya semua bangunan itu tahan gempa. Tetapi lebih penting lagi adalah bangunan publik seperti masjid, sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan.  

“Kita juga melihat di sana (Turki), masjid-masjid tua peninggalan Utsmani itu relatif selamat, tidak roboh. Padahal lebih tua. Kenapa? Karena memang dulu Utsmani itu sangat ketat dalam membangun bangunan publik seperti itu. Sehingga konstruksinya itu luar biasa. Sehingga tidak roboh oleh guncangan gempa yang sangat besar,” tambahnya.

Namun, Profesor tersebut juga mengungkapkan bahwa tidak semua bangunan Utsmani bertahan dari gempa. Terbukti ketika terjadi gempa tahun 1939 ketika kekuatan gempanya sebesar yang sekarang, banyak juga bangunan Utsmani yang roboh. “Jadi, yang bertahan hingga hari ini, adalah yang tidak roboh. Yakni, yang kuat, yang tahan gempa,” simpulnya.

Kedua, membangun masyarakat yang kuat secara ekonomi dengan menerapkan ekonomi yang berbasis akidah Islam, yang disebut dengan ekonomi syariah. “Tadi saya katakan bahwa banyak orang membangun dengan konstruksi yang tidak tahan gempa itu karena alasan ekonomi. Alasan penghasilannya rendah. Nanti kalau dibangun dengan tahan gempa, jadi mahal. Nanti enggak ada yang beli, nanti bangkrut. Oleh sebab itu, menyiapkan sebuah kota, sebuah negeri yang tahan gempa tadi, tahan bencana, juga berarti membangun ekonominya. Membangun supaya mereka jadi masyarakat yang kuat secara ekonomi. Maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan ekonomi yang berbasis akidah Islam, yang disebut ekonomi syariah,“ ulasnya.

Selanjutnya Prof. Fahmi menerangkan bagaimana agar orang memahami ekonomi syariah, sehingga bisa diterapkan. Untuk tujuan tersebut, diperlukan pendidikan syariah yang diselenggarakan oleh negara. Agar negara bisa menyelenggarakan pendidikan syariah, pembiayaan diperoleh dari sumberdaya alam yang dikelola secara syariah. Demikian seterusnya.

Ketiga, basis akidah Islam pada masyarakat Turki perlu dipelajari. Mereka tidak putus asa. Mereka tetap berharap kepada Allah Subhanahu wata'ala, Prof. Fahmi memuji masyarakat Turki yang menjadi korban gempa tersebut. Dalam kepasrahan mereka ketika tertimbun reruntuhan bangunan, terlihat kesabaran mereka. Di sisi lain, nampak juga solidaritas dari masyarakat untuk mengeluarkan korban dari reruntuhan bangunan.

“Ada yang sudah 120 jam, berarti 5 hari ya di dalam reruntuhan, dan masih hidup, masih bertahan. Ketika regu penyelamat mau menolong, yang dia teriakkan pertama itu minta air wudu, coba. Dia masih ingin shalat ya. Selama sekian hari kan dia tidak shalat dengan air, dengan wudu. Kemudian ada ibu-ibu yang pertama kali dia teriakkan, sebelum dikeluarkan dari reruntuhan, minta dimasukkan jilbab. Karena rusak atau roboh rumahnya, dia tidak ingat di mana menaruh jilbabnya. Dia enggak ingin ketika ditolong keluar itu, auratnya kelihatan. Jadi, luar biasa ini,” urainya.

Namun, Prof. Fahmi juga menyayangkan reaksi sebagian masyarakat terhadap peristiwa gempa dahsyat di Turki. Menurutnya, masyarakat harus dididik supaya mereka menjadi orang-orang yang optimis,yang bersangka baik kepada Allah. “Sebab, hari ini ada yang begitu ada bencana, yang muncul hoaks-hoaks yang nggak karuan. Di antaranya hoaks bahwa ini rekayasa Amerika. Ini Amerika yang salahlah, Amerika harus bertanggung-jawab, pakai senjata HAARP (high frequency active auroral research program). Padahal enggak mungkin itu pakai senjata HAARP. Andai kata senjata HAARP ada beneran, Amerika melawan Rusia di Ukraina cukup dengan senjata HAARP. Tapi kan enggak terjadi itu kan ya . Jadi enggak mungkin ya,” ujarnya.

Prof. Fahmi juga menepis anggapan bahwa gempa Turki terse but adalah rekayasa atau buatan. “Tidak mungkin! Karena, untuk menghasilkan energi sebesar gempa itu, seluruh pembangkit nuklir dunia bersatu pun, semua bom atom dikerahkan pun, tidak akan cukup energinya untuk membangkitkan gempa sebesar Turki. Daerah itu sudah sering gempa dari dulu. Jadi daerah itu memang zona aktif. Dan sudah banyak sekali gempa besar yang terjadi di daerah itu. Jadi, kalau sekarang dikatakan itu rekayasa atau dibuat, itu ahistoris,” pungkasnya.[] Binti Muzayyanah

Posting Komentar

0 Komentar